Menimba “Air Jurnalistik” Sumur Jakob
Pembangunan Taman Yakopan diinisasi oleh Sindhunata sebagai refleksi sekaligus harapan besar agar Kompas tetap menjadi penunjuk arah bagi bangsa Indonesia.
Sumur Jakob dibangun di tengah Taman Yakopan di Omah Petruk, Sleman. Sumur ini menjadi pralambang bahwa siapapun bisa menimba visi humanisme dan roh jurnalistik Kompas.
Hampir sebulan, para tukang menggali sebuah sumur di tengah Taman Yakopan, Omah Petroek, Karangkletak, Dusun Wonorejo, Kelurahan Hargobinangun, Pakem, Sleman, DIY. Penggalian sumur itu sangat sulit. Secara manual, pekerja harus menggali di tengah sedikitnya oksigen, ruang sempit, dan bebatuan penghalang.
Inilah sumur Jakob, sebuah pralambang agar orang tak mudah putus asa untuk senantiasa menggali dan terus menggali sampai menemukan air jernih yang diharapkan.
Di hadapan sumur itu berdiri patung pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, karya Wilman Sanur. Pak Jakob tampak sedang memegang tali timba dan ember. Ia mempersilahkan siapapun untuk menimba air dari sumurnya.
“Ini mengingatkan, agar kita mau selalu menimba roh dan inspirasi Kompas, bagaikan kita menimba air dari sumur. Roh dan inspirasi itu tak akan kering, seperti sumber air yang tak mengenal asat. Maka setiap kali kita menimba air dari Sumur Jakob itu, kita diajak untuk sekaligus menimba kembali roh dan inspirasi, yang pernah diletakkan oleh Pak Jakob bagi Kompas,” kata jurnalis senior GP Sindhunata SJ saat pendirian Taman Yakopan sekaligus peringatan ulang tahun Jakob Oetama ke-88 dan peringatan ulang tahun ke-37 Bentara Budaya, Senin (30/9/2019).
Maka setiap kali kita menimba air dari Sumur Jakob itu, kita diajak untuk sekaligus menimba kembali roh dan inspirasi, yang pernah diletakkan oleh Pak Jakob bagi Kompas.
Di sumur Jakob ini, siapapun diharapkan bisa menimba visi humanisme dan air jurnalistik. Air jurnalistik yang boleh mengalir dari Sumur Jakob ini adalah mata hati, amanat penderitaan rakyat, dan penghiburan yang meringankan beban dan penderitaan yang papa, sekaligus teguran yang mengingatkan mereka yang kaya dan mapan.
“Itulah kegembiraan dan penghiburan yang sedari dulu hendak diberikan Kompas dalam tugas jurnalistiknya. Haurietis aquas in gaudio, marilah kita menimba air dengan gembira dari Sumur Jakob ini,” ucapnya.
Di sisi selatan sumur Jakob, duduk seorang simbah tua bernama Nyi Resep. Itulah patung karya seniman Ong Hari Wahyu. Dengan kepercayaan yang sederhana, orang boleh mengharap, semoga Nyi Resep ini ikut merestui, agar air sumur ini terus ngresep, tak pernah kering, dan terus meresapkan inspirasi, kreativitas serta rejeki bagi siapa pun yang datang menimba air dari Sumur Jakob ini.
Pesan bahwa Kompas harus terus kukuh dan kuat juga disampaikan oleh karya perupa patung Komroden Haro. Ia membuat patung seekor gajah dengan belalainya tengah memegang koran Kompas.
Patung tersebut menyimbolkan, pimpinan, redaksi dan para wartawan Kompas harus sekuat gajah itu dalam mempertahankan eksistensi Kompas. “Peganglah Kompas dengan belalai gajah, agar jurnalisme media cetak tak bisa direbut oleh kekuatan apa pun, juga oleh kemajuan dunia. Kuping gajah itu diberi huruf-huruf. Menyusun huruf menjadi berita adalah pekerjaan wartawan. Namun lebih penting dari itu, wartawan harus membuka kupingnya lebar-lebar, agar ia selalu bisa mendengar tentang peristiwa yang bisa ditulisnya Dan perlu diingat, hanya bila mau berendah hati dan menerima, dialah orang yang pandai mendengar,” papar Sindhunata.
Peganglah Kompas dengan belalai gajah, agar jurnalisme media cetak tak bisa direbut oleh kekuatan apa pun, juga oleh kemajuan dunia.
Kesungguhan dalam menghayati profesi juga ingin ditampilkan dalam karya terakota “Sengguh Ora Mingkuh” karya perupa Hardi yang menggambarkan beksan lawung, kreasi tari yang diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792). Tari ini ingin menampilkan filsafat Jawa, yang bunyinya nyawiji, greget, sengguh ora mingkuh. Nyawiji, berarti berfokus pada tujuan hidup. Greget adalah semangat dan gairah. Sengguh, kokoh kuat. Dan ora mingkuh adalah sikap pantang mundur dan pantang menyerah.
Sengguh ora mingkuh kiranya juga bisa menjadi pegangan para pekerja pers, di tengah hadangan kesulitan di era digital ini. Apa pun kesulitannya, mereka tak boleh menyerah jika tetap menghidupi semangat sengguh ora mingkuh dalam tugas kewartawanan. Sikap ini telah ditunjukkan pimpinan Kompas, Jakob Oetama, dalam saat-saat yang sulit, lebih-lebih di zaman Orde Baru. Dan Kompas ternyata bisa melewatinya dengan selamat karena sikap sengguh ora mingkuh itu.
Apa pun kesulitannya, mereka tak boleh menyerah jika tetap menghidupi semangat sengguh ora mingkuh dalam tugas kewartawanan.
Di Taman Yakopan masih banyak lagi karya-karya seni rupa yang merefleksikan perjuangan jurnalistik Jakob Oetama bersama Harian Kompas yang dirintisnya bersama PK Ojong. Selain menikmati karya-karya seni rupa, di taman ini orang juga bisa mengakses data apa saja di Ndalem Yakopan yang telah dilengkapi dengan perangkat Pusat Informasi Kompas. Ndalem Yakopan sekaligus menjadi tempat kerja bagi mereka yang memerlukan data-data yang terkumpul dalam Kompas, dan lembaga penelitiannya.
Lahir kembali
Pembangunan Taman Yakopan diinisasi oleh Sindhunata sebagai refleksi sekaligus harapan besar agar Kompas tetap menjadi penunjuk arah bagi bangsa Indonesia. Kegelapan dan kesulitan yang mengancamnya karena disrupsi yang disebabkan dunia media elektronik dan digital kiranya justru boleh menjadi alasan dan kesempatan bagi Kompas untuk lahir kembali dan memperbaharui dirinya lagi.
Menurut Sindhunata, kesulitan dan kegelapan itu adalah khairos, waktu yang mengandung janji dan potensi, saat yang tepat dan pas bagi Kompas untuk melakukan renaissance, melahirkan diri kembali untuk melakukan pembaharuan yang dituntut zaman. Renaissance harian Kompas di tengah tantangan media digital, elektronik dan internet inilah kiranya pesan yang boleh memancar dari Taman Yakopan, yang pembukaannya jatuh bersamaan di saat pendirinya Jakob Oetama memasuki usia yang kesebelas windunya.
Renaissance harian Kompas di tengah tantangan media digital, elektronik dan internet inilah kiranya pesan yang boleh memancar dari Taman Yakopan.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Rikard Bagun meyakini, sampai kapanpun Kompas akan berjuang sekuat tenaga untuk tetap memberikan arah. “Taman Yakopan ini adalah ekspresi hati dan upaya untuk tetap menjaga nilai-nilai Kompas. Semoga dari tempat ini kita mendapatkan kekuatan,” kata dia.
Peresmian Taman Yakopan dimeriahkan dengan Pameran Seni Rupa “Pantang Mundur alias Maju Tak Gentar”, pemberian penghargaan Bentara Budaya kepada jurnalis kebudayaan Kochil Birowo dan pasar seni murah Pasarela #2. Hadir dalam acara ini CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama, Komisaris Kompas Gramedia Irwan Oetama, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Rikard Bagun, CEO Gramedia Pustaka Utama Priyo Utomo, serta Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.