Otonomi daerah juga memunculkan ekses negatif yang membuatnya kerap ditinjau ulang, bahkan sampai ada pemikiran mengembalikan beberapa model ke sistem sebelumnya yang sentralistik. Pemikiran ini umumnya dipicu realitas pemilihan kepala daerah dan korupsi yang masif.
Meskipun langkah yang nanti akan dilakukan tidak berupa mengembalikan pilkada ke tangan DPRD, tampaknya sejumlah revisi tetap harus dilakukan. Rasanya sulit menampik adanya perubahan jika kita melihat kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam realitas pemerintahan daerah hasil otonomi.
Merujuk pada data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlah kepala daerah dan anggota DPRD yang tertangkap karena korupsi memang mencengangkan. Sejak 2004 hingga Juni 2018, KPK mencatat 19 gubernur, 87 bupati/wali kota, dan 205 anggota DPR/DPRD diproses hukum karena dugaan korupsi.
Data ini belum termasuk tertangkapnya 41 anggota DPRD dari Kota Malang, 4 anggota DPRD dari Kalimantan Tengah, dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang juga belakangan ditangkap KPK. Jumlah bupati/wali kota yang tertangkap setelah Juni pun terus bertambah. Berdasarkan cacatan Kompas, dalam kurun Januari-Oktober 2018, terdapat 26 bupati/wali kota yang tertangkap KPK. Tren korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD cenderung meningkat.
Berdasarkan analisis terhadap data tahun 2018, kasus korupsi terbanyak yang melibatkan kepala daerah adalah suap terkait proyek pembangunan, baik pembangunan infrastruktur milik pemda maupun swasta (12 kasus). Berikutnya adalah kasus jual-beli jabatan, alokasi APBD, dana otonomi khusus, izin proyek, dan izin operasi.
Lainnya adalah lelang proyek dan pemerasan terhadap bawahan. Pemerasan dilakukan oleh kepala daerah kepada jajaran pejabat birokrasi di bawahnya karena membutuhkan dana untuk maju kembali dalam pilkada.
Selain persoalan korupsi, otonomi daerah dan pilkada langsung juga menciptakan kepala daerah sebagai ”raja” kecil yang sulit dikontrol pemerintah di atasnya. Presiden/pemerintah pusat ataupun gubernur tidak bisa langsung menerapkan kebijakan hingga ke level paling bawah karena terkendala bupati/wali kota yang menjalankan kekuasaan menurut kepentingan sendiri.
Gubernur juga kian sulit dikontrol setelah putusan Mahkamah Konstitusi menghentikan upaya Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan provinsi yang bertentangan dengan pusat. Banyaknya kepala daerah dari unsur partai yang berbeda-beda ikut menyulitkan sinkronisasi kebijakan. Setiap partai berusaha memberi pengaruh atas kebijakan kepala daerahnya, yang membuat kepentingan pemerintah pusat tak serta-merta dituruti pemerintah daerah.
Kebijakan yang ditekankan pemerintah pusat agar setiap daerah menerapkan kebijakan satu pintu untuk perizinan usaha, misalnya, belum diterapkan semua daerah. Celah-celah perizinan justru dibiarkan tidak transparan sehingga dapat dimainkan. Peluang-peluang negosiasi di bawah tangan ini pada akhirnya menjadi ladang korupsi. Praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah biasanya berhubungan dengan izin dan proyek pembangunan yang akan dijalankan.
Pilkada langsung juga mempunyai implikasi, siapa saja dari kalangan apa pun dapat terpilih menjadi kepala daerah asalkan memiliki elektabilitas yang baik. Maka, aspek popularitas dan kekuatan materi terkadang lebih penting daripada kapabilitas kepemimpinan. Di beberapa daerah, bekas koruptor tetap dapat menduduki jabatan kepala daerah atau anggota DPRD. Petahana, meskipun belum tentu telah berhasil memajukan daerahnya, dapat tetap bercokol untuk jabatan kedua lewat pilkada langsung.
Pada pilkada serentak 2018 lalu, misalnya, dari total 171 pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati, terdapat 64 kepala daerah petahana yang menang. Mereka meliputi dua gubernur petahana, 46 bupati petahana, dan 16 wali kota petahana. Jika ditelisik lebih jauh latar belakang peserta pilkada, tampak bahwa kualitas calon cukup meragukan, termasuk calon yang sebelumnya pernah memimpin daerah. Hal ini, misalnya, terjadi pada level pilkada provinsi.
Ada 17 pilkada provinsi yang melibatkan 96 calon gubernur atau wakil gubernur. Sebagian besar dari mereka (49 orang) merupakan sosok yang pernah menjadi bupati, wali kota, atau wakilnya. Berdasarkan kajian Litbang Kompas, hanya 2 (4,1 persen) dari 49 bupati, wali kota, atau wakilnya yang mencalonkan diri sebagai gubernur itu yang terbukti mampu meningkatkan rata-rata PDRB per kapita dan IPM tahunan di atas capaian daerah lain ataupun provinsi di wilayahnya.
Sementara itu, hanya 15 orang (30,6 persen) yang mampu meningkatkan rata-rata PDRB per kapita tahunannya di atas capaian daerah lain ataupun provinsi di wilayahnya. Adapun hanya 13 orang (29,5 persen) yang mampu meningkatkan rata-rata IPM tahunannya di atas capaian daerah lain ataupun provinsi di wilayahnya.
Terdapat 15 sosok kepala daerah yang sebenarnya belum mampu membuktikan kepiawaian dirinya dalam persoalan peningkatan ekonomi ataupun kualitas kesejahteraan warga. Bahkan, ada empat sosok yang tergolong baru menduduki kursi bupati tetapi berani mengambil peluang ”naik jabatan”.
Bacaleg koruptor
Setali tiga uang dengan calon kepala daerah, para calon anggota DPRD yang akan menjadi mitra kepala daerah juga sering kali memiliki kualitas yang kurang mumpuni. Bahkan, sejumlah mantan koruptor tetap berpeluang mengisi jabatan sebagai wakil rakyat.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada Juli 2018 mengemukakan, terdapat 199 eks koruptor yang ikut mendaftar sebagai anggota DPRD. Dari jumlah itu, 30 eks narapidana korupsi terdaftar sebagai bakal caleg DPRD di 11 provinsi, 148 eks napi korupsi terdaftar sebagai bakal caleg DPRD di 93 kabupaten, dan 21 eks napi korupsi terdaftar di 12 kota.
Pencantuman bacaleg oleh parpol itu melanggar peraturan KPU. Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 Pasal 4 Ayat (3) berbunyi, ”Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
Namun, putusan Mahkamah Agung (MA) menganulir peraturan KPU tersebut. MA menyatakan, peraturan PKPU bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dengan putusan uji materi tersebut, eks koruptor bisa mencalonkan diri sebagai caleg dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu, yaitu setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg, tetapi wajib mengumumkannya ke publik.
Beberapa partai kemudian merevisi pencalonan bacaleg yang pernah terlibat korupsi dan menggantinya dengan orang baru. Namun, hingga KPU menetapkan calon legislatif pada September lalu, masih terdapat 38 eks koruptor yang tercantum di daftar caleg tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Partai terbanyak yang mengusung caleg mantan koruptor adalah Partai Gerindra enam calon. Sebaliknya, partai yang sama sekali tak mengusung caleg mantan koruptor adalah PKB, PPP, dan PSI.
Solusi
Meskipun tidak harus berupa mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah kepada DPRD, mengubah sistem pemilihan kepala daerah sudah saatnya dilakukan. Perubahan bisa dilakukan lewat mekanisme penjaringan calon, misalnya menerapkan standar baku mutu bagi bakal calon kepala daerah.
Penerapan persyaratan yang fundamental bagi calon kepala daerah, seperti mengerti alur administrasi birokrasi dan mengerti konsekuensi hukum terkait misadministrasi, juga semakin penting untuk diwujudkan.
Selain itu, dapat pula diterapkan perluasan transparansi alur perizinan dengan teknologi informasi yang bisa diakses publik dan dikontrol oleh sistem secara ketat. Beberapa kewenangan kepala daerah yang kontraproduktif terhadap kepentingan nasional sudah sewajarnya dapat dikontrol. Pemberian sanksi bagi mereka yang tak mampu menyejahterakan masyarakat juga perlu mulai dipraktikkan.
(Bambang Setiawan, Litbang Kompas)