Para Pemburu ”Si Kuping Lebar”
Liga Champions, diakui banyak pelatih hebat, merupakan kompetisi sepak bola tersulit sejagat. Setiap musim, trofi itu diperebutkan hampir 80 klub. Ribuan klub lain bahkan bermimpi untuk sekadar tampil di babak utama.
Dua pekan lalu, suporter Paris Saint-Germain dilanda euforia. Tanpa barisan pemain termahal sejagat, seperti Neymar Junior dan Kylian Mbappe-Lottin, PSG menghancurkan Real Madrid 3-0 di penyisihan Grup A Liga Champions Eropa musim 2019-2020. Padahal, lawannya itu berstatus ”raja Eropa” berkat koleksi 13 trofi Liga Champions, yaitu terbanyak sepanjang sejarah.
Alih-alih jemawa, ekspresi wajah Pelatih PSG Thomas Tuchel terlihat sangat datar di konferensi pers seusai laga itu. ”Saya ingin mengingatkan satu hal sebelum ada yang bertanya hari ini. Jika ada pertanyaan, apakah kami akan juara (Liga Champions) musim ini, saya akan meninggalkan ruangan ini. Sungguh,” tuturnya di hadapan sejumlah wartawan saat itu.
Jika menyaksikan film-film seperti ini dan masih enggan mendaki ke puncak gunung, ada yang salah dengan Anda.
Tuchel agaknya bosan dengan retorika favorit juara yang selalu melekat di timnya setiap kali menyambut musim baru Liga Champions. Bukan lagi rahasia bahwa PSG sangat berambisi meraih ”Si Kuping Lebar”, julukan trofi Liga Champions. Klub itu telah menghabiskan lebih dari 1 miliar euro atau puluhan triliun rupiah untuk memenuhi ambisi itu sejak PSG dibeli Qatar Sports Investment, 2011 silam.
Hasilnya? Langganan juara Liga Perancis itu hanya mampu mencapai perempat final. Tiga musim terakhir, mereka bahkan hanya mentok di babak yang lebih dini, yaitu 16 besar. Liga Champions memang dikenal sebagai kompetisi yang sangat ketat, bahkan sengit. Nyaris setiap tahun trofi juara itu selalu berpindah tangan. Tidak satu pun klub atau pelatih yang berani mendeklarasikan dirinya favorit juara, sekalipun Carlo Ancelotti dan Zinedine Zidane, dua pelatih aktif tersukses di Liga Champions saat ini.
”Menembus final, apalagi memenangi Liga Champions, dewasa ini jauh lebih sulit ketimbang beberapa dekade silam. Lebih banyak laga yang kini harus ditempuh sebelum ke final. Persaingannya pun kian ketat. Maka itu, saya menilai, Liga Champions adalah kompetisi terbaik sejagat,” ujar Ancelotti, pelatih pemilik tiga trofi Liga Champions, kepada UEFA.com.
Rekor menawan Ancelotti, yang meraih Si Kuping Lebar bersama AC Milan dan Real Madrid, tidak berarti di hadapan lawan-lawannya di kompetisi itu. Musim lalu, bersama klub barunya, Napoli, Ancelotti gagal prematur, yaitu di babak penyisihan grup. Namun, di musim baru ini, mereka memulai dengan lebih kuat. Di laga pertama penyisihan grup dua pekan lalu, Napoli membekap juara bertahan, Liverpool, 2-0, pada laga di Italia.
Menjuarai Liga Champions adalah hal yang rumit.
Kematangan Ancelotti, menurut pelatih legendaris Italia, Arrigo Sacchi, bisa menjadi salah satu daya tarik di Liga Champions musim ini. Napoli pun berpotensi menjadi salah satu tim kuda hitam musim 2019-2020. ”Ancelotti hanya terlihat kalem di permukaan. Namun, di dalam, darahnya mendidih. Saya yakin Napoli bisa membuat orang-orang terkesan musim ini, mungkin di Liga Champions,” kata Sacchi, dikutip Football-Italia.
Perjudian
Selain Ancelotti, Si Kuping Lebar juga menjadi buruan utama pelatih berpengalaman lainnya, Pep Guardiola. Pelatih atau manajer yang namanya tenar seusai membawa Barcelona meraih tiga gelar sekaligus, termasuk Liga Champions pada 2009 silam, itu penasaran dengan trofi tersebut. Setelah meninggalkan Barca pada 2012 lalu, karismanya di Eropa mulai memudar.
Guardiola tidak lagi pernah juara, bahkan menembus final Liga Champions sejak saat itu, meskipun membela klub-klub yang tidak kalah kaya, yaitu Bayern Muenchen dan saat ini Manchester City. Seperti para pelatih lain, ia mengakui sulitnya meraih trofi prestisius itu. Bahkan, baginya, Liga Champions ibarat sebuah meja kasino alias perjudian.
”Menjuarai Liga Champions adalah hal yang rumit. Itu bisa ditentukan dari satu laga atau insiden kecil, seperti satu inci offside, keputusan wasit, dan cedera pemain. Kompetisi ini memang sangat penting. Namun, saya tidak akan pergi ke kasino dan mempertaruhkan semua yang saya punya hanya untuk beberapa laga,” ujar Guardiola kepada The Guardian.
Guardiola berkata seperti itu karena masih kecewa dengan hasil musim lalu, yaitu tersingkir di perempat final karena kalah produktivitas gol kandang-tandang dari Tottenham Hotspur. City sebetulnya bisa lolos jika saja gol Raheem Sterling di injury time laga kedua di Stadion Etihad saat itu tidak dianulir akibat intervensi teknologi video wasit (VAR). Insiden itu masih melukai Guardiola dan timnya.
Titik balik
Menariknya, kekalahan, kekecewaan, dan luka masa lalu justru kerap menjadi batu loncatan sejumlah tim untuk menjuarai Liga Champions. Itu setidaknya dibuktikan Liverpool yang sukses meraih trofi Liga Champions keenamnya pada Juni 2019 lalu di Madrid. Sukses itu tidak terlepas dari kegagalan mereka di final setahun sebelumnya, yaitu di Kiev, Ukraina. Mereka kalah 1-3 dari Real Madrid asuhan Zidane menyusul cederanya Mohamed Salah dan blunder kiper Loris Karius.
Hati Manajer Liverpool Juergen Klopp merasa remuk bukan hanya karena kekalahan itu, melainkan juga melihat orang-orang yang dicintainya merasa hancur di laga itu. Sebelum peluit panjang dibunyikan, ia melihat samar-samar istrinya, Ulla, yang tengah menenangkan ibu dari Karius. Keduanya menangis di tribune penonton, menyaksikan Karius yang terpukul dan dijadikan olok-olok seusai melakukan dua blunder fatal di laga itu.
Seusai laga berakhir, Klopp juga terluka melihat Alex Oxlade-Chamberlain menangis di telapak tangannya sambil menjatuhkan tongkat berjalannya. Saat itu, Chamberlain tidak ikut bermain menyusul cedera lutut ligamen. Ia merasa tidak berdaya untuk membantu ”The Reds” menghindari kekalahan di laga itu. Di saat sama, Salah hanya bisa menatap nanar hasil laga itu sambil memakai penyangga di lengannya yang mengalami dislokasi akibat dilanggar bek Madrid, Sergio Ramos.
”Pengaruhnya (kekalahan dari Madrid) sangat besar. Saya ingat ketika kami berdiri di bandara dan mengantre (masuk pesawat). Kami semua tertunduk. Anda bisa membayangkan emosinya. Kami semua frustrasi dan kecewa. Namun, saat itu, kami bertekad tampil kembali dan itu terbukti,” ujar Klopp kepada The Guardian.
Kekalahan itu, termasuk di final Liga Europa 2016, mempertebal mental dan motivasi Liverpool serta Klopp untuk menjadi juara. ”Rasa pedih kekalahan di final tidak akan pernah hilang. Namun, manajer (Klopp) menjanjikan satu hal untuk menghibur kami saat itu. Bakal ada final-final berikutnya untuk dimenangi. Terkadang, kekalahan membuat kita lebih banyak belajar ketimbang memenangi sesuatu,” tutur Daniel Sturridge, mantan striker Liverpool.
Film Rocky Balboa
Perjuangan panjang Klopp dan Liverpool pun terbayar 1 Juni lalu. Mereka akhirnya menggenggam Si Kuping Lebar seusai membekap Spurs 2-0 di final dengan penampilan yang lebih matang dari sebelum-sebelumnya. Dalam testimoninya yang dimuat di Player’s Tribune, pekan lalu, Klopp bercerita, ia banyak terinspirasi dari film Hollywood, seperti Rocky Balboa. Kisah perjuangan Rocky, yang diperankan aktor Sylvester Stallone, bisa membakar semangat juang anak-anak asuhnya.
”Jika menyaksikan film-film seperti ini dan masih enggan mendaki ke puncak gunung, ada yang salah dengan Anda. Kami adalah Rocky. Kami mungil, tetapi bertekad besar. Saya kira 98 persen dari sepak bola adalah tentang mengatasi kegagalan dan tetap bisa tersenyum dan bergembira di laga berikutnya,” ucap Klopp dalam testimoni terbarunya itu.
Tekad besar Klopp dan Liverpool itu kini menjadi inspirasi manajer-manajer lain, tidak terkecuali Ernesto Valverde. Pelatih 55 tahun itu masih dipercaya petinggi Barca untuk mengakhiri lima tahun puasa trofi Liga Champions. Dua musim terakhir, Barca kandas secara tragis di perempat final dan semifinal setelah menang telak dari lawan-lawannya pada pertemuan pertama di Camp Nou.
Dalam kehidupan, tiada juara tanpa penderitaan yang dilalui, seperti dinyanyikan Queen dalam lagunya, We Are The Champions. ”Kesalahan-kesalahan buruk telah kulakukan. Jalan terjal pun menghadang. Namun, telah aku lewati. Kita adalah sang juara, kawan. Kita bakal terus berjuang hingga akhir”, demikian lirik lagu itu.