Pelepasliaran Ratusan Burung Dilindungi Tunggu Observasi
Sebanyak 524 ekor burung dilindungi menunggu dilepasliarkan. Nasib burung hasil rampasan dari perusahaan penangkaran ilegal itu akan ditentukan berdasarkan hasil observasi perilaku.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Sebanyak 524 ekor burung dilindungi menunggu dilepasliarkan. Nasib burung hasil rampasan dari perusahaan penangkaran ilegal itu akan ditentukan berdasarkan hasil observasi perilaku. Apabila tidak memenuhi syarat pelepasliaran, burung akan dijadikan indukan.
Ratusan burung dilindungi itu saat ini ditempatkan di kandang transit Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur yang berlokasi di Sidoarjo dan Jember. Kondisi satwa-satwa liar itu sehat, bahkan sebagian mampu berkembang biak dengan baik.
“Jumlah burung yang disita dari pelaku perdagangan satwa ilegal sebenarnya hanya 420 ekor. Namun, karena sebagian burung berkembang biak, jumlahnya menjadi 524 ekor,” ujar Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jatim Nandang Prihadi, Selasa (1/10/2019).
Nandang mengatakan, sebanyak 524 ekor burung dilindungi ini berstatus barang rampasan milik negara. Burung itu disita dari perusahaan penangkaran satwa CV Bintang Terang. Perusahaan yang berlokasi di Kabupaten Jember, Jawa Timur, itu nekat beroperasi meski izinnya habis sejak tahun 2015.
Pengungkapan kasus penyimpangan penangkaran satwa oleh CV Bintang Terang dilakukan oleh tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur pada Oktober 2018. Namun, proses hukumnya memakan waktu panjang. BBKSDA Jatim harus menunggu putusan pengadilan untuk menentukan nasib burung-burung tersebut.
Sebanyak 524 ekor burung itu terdiri dari 15 jenis, di antaranya kakatua raja, nuri bayan, kakatua jambul kuning, nuri ternate, dan kakatua gofin. Burung-burung ini diperdagangkan secara ilegal karena harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah per ekor.
Untuk menentukan nasib burung-burung dilindungi ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengirimkan tim ke Jatim. Tim ini bertugas mengkaji kondisi masing-masing satwa apakah memenuhi syarat pelepasliaran. Syarat pelepasliaran di antaranya masih memiliki sifat liar sehingga diharapkan mampu beradaptasi di alam liar.
Berdasarkan Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, satwa yang tidak memenuhi syarat untuk dilepasliarkan dijadikan indukan penangkaran atau satwa koleksi lembaga konservasi. Pilihan lainnya adalah dilakukan eutanasia atau dimusnahkan.
Peminjaman gajah
Sementara itu, Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya (BBKP) mengawasi proses peminjaman satwa dilindungi oleh sebuah lembaga konservasi di Australia. Satwa berupa empat ekor gajah itu dipinjam untuk kepentingan pengembangbiakan dan upaya pelestarian.
Pengiriman gajah itu dilakukan melalui Bandara Udara Juanda, Senin (30/9), malam. Keempat gajah yang diberi nama Megawati, Raflesia, Widya, dan Christina itu semuanya betina.
Kepala BBKP Surabaya Musyaffak Fauzi mengatakan, gajah-gajah itu merupakan koleksi Taman Safari Indonesia Prigen di Kabupaten Pasuruan. Satwa dipinjam oleh Australia Zoo untuk dikembangkan. Artinya, satwa ini dipinjam sampai bereproduksi di negara peminjam. “Anak hasil reproduksi akan diserahkan ke negara asal untuk tujuan pelestarian,” ujarnya.
Peminjaman satwa dilindungi atau breeding loan lazim dilakukan dan diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 83 Tahun 2014. Berdasarkan Pasal 2, peminjaman satwa dilindungi kepada lembaga konservasi luar negeri dimaksudkan untuk pengembangbiakan dan pelestarian nonkomersial, perbaikan genetik atau penambahan darah baru (fresh blood) bagi satwa sejenis yang menjadi koleksi lembaga konservasi luar negeri.
Sebelum dikirim ke Australia, gajah-gajah tersebut dikarantina sejak November 2018 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) PT Taman Safari Indonesia. Selama masa karantina, pihak karantina dari Indonesia dan Australia mengamati serta memeriksa secara rutin kondisi kesehatan gajah.
Berdasarkan hasil pemeriksaan selama setahun itu, kondisi keempat gajah dinyatakan sehat dan aman untuk dilalulintaskan. BBKP Surabaya pun akhirnya menerbitkan sertifikat kesehatan sebagai jaminan agar satwa bisa diterima oleh karantina Australia.