Segala hal berbahaya tidak selalu harus digambarkan dalam visual yang mengerikan dan menakutkan. Dengan bekal kuas, kanvas, beragam warna, maka kengerian itu bisa berganti rupa, dan sulit ditemukan jejaknya.
Auntora Mehrukh Azad, salah seorang pelukis asal Nangladesh, membuktikannya. Di tangannya, Gunung Merapi yang hingga kini berstatus waspada dan berbahaya –karena bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan status- tiba-tiba kehilangan aura “garangnya”. Semua potensi bahaya erupsi yang seolah terhapus dan terlupakan karena dia menggambar Gunung Merapi sebagai pemandangan cantik dari salah satu rumah warga di DI Yogyakarta. Gunung Merapi terlihat asri, berwarna hijau dengan semburat jingga. Adapun pemandangan itu terlihat dari satu jendela yang berada di tembok bercat merah jambu. Seketika, Merapi yang membawa potensi erupsi, terlihat manis sekali….
Lukisan Azad tentang Gunung Merapi yang diberinya judul Phoenix, adalah satu dari 70 lukisan, karya dari 35 pelukis dari 19 negara yang ditampilkan dalam Borobudur International Art Exhibition 2019 di Limanjawi Art House di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 16-30 September 2019. Eksibisi ini mengambil tema perdamaian dan persahabatan. Semua karya dibuat setelah para perupa mengikuti workshop dan berjalan-jalan di Yogyakarta.
“Gambaran yang indah akan menyenangkan dan lebih bisa diterima semua orang.”
Azad mengatakan, banyak hal di dunia memang tidak selalu secantik seperti gambaran visualnya. Namun, saat melukis, dia memang ingin menggambarkan banyak hal dengan penuh keindahan. “Gambaran yang indah akan menyenangkan dan lebih bisa diterima semua orang,” ujarnya.
Oleh karena ingin menonjolkan keindahan tersebut, maka dalam lukisannya yang lain yang berjudul Archipelago, Azad menggambarkan kemacetan perkotaan tanpa melukis kendaraan atau pengguna jalan. Dia hanya menggambar banyak lampu lalu lintas yang bengkok tak tentu arah. Semua lampu lalu lintas tersebut berada di jalan yang berwarna merah cerah.
Menyesuaikan dengan tema pameran, maka hampir semua karya lukis pun terlihat menampilkan tema yang ringan dan bersahabat. Jika Azad menampilkan Gunung Merapi dalam sensasi pink, maka Simanta Jyoti Baruah, pelukis dari India, menggambarkan Gunung Merapi dengan tampilan penampakan jarak dekat. Sekalipun berwarna hitam legam dan terlihat berasap, di bagian bawahnya dia mencoba bermain kata-kata dengan menuliskan volcano, dan pada baris berikutnya menebalkan huruf can, dan pada baris berikutnya menuliskan kata no.
“Saya cuma menggambarkan probabilitas. Bahaya erupsi bisa terjadi, bisa tidak,” ujarnya sembari tersenyum.
Di lukisan lainnya yang berjudul The Voyage, dia memakai warna-warni lebih cerah. Dalam lukisan tersebut, dia menggambarkan tradisi larung, menghanyutkan baju ke laut, dalam sebuah acara festival di Yogyakarta.
Dalam pameran ini, 32 pelukis yang berasal dari luar Indonesia, menggambarkan beragam hal yang dilihatnya di Yogyakarta. Maka, banyak hal yang tergambar dalam lukisan adalah sesuatu yang biasa dilihat dalam keseharian masyarakat Jawa. Selain Gunung Merapi dan tradisi larung, pelukis lainnya juga yang menggambarkan kebiasaan wanita Jawa di desa, yang mengenakan kebaya dan memangku anaknya di halaman rumah.
Adapun, pelukis asal Jepang, Fujita Chacos, melukis beragam hidangan di meja makan. Dalam lukisan yang diberinya judul Satisfaction tersebut, ada cething (tempat nasi yang terbuat dari logam), urap sayur dan tahu tempe, yang tergambar di sana.
“Masing-masing pelukis menampilkan keindahan perdamaian dan persahabatan dengan gaya mereka masing-masing.”
Umar Chusaeni, pemilik Limanjawi Art House, mengatakan, semua keindahan dalam lukisan dari 35 pelukis tersebut, semuanya dibuat dalam bingkai tema perdamaian dan persahabatan. Oleh karena itu, tidak ada hal yang berat atau pun suram di sana. “Masing-masing pelukis menampilkan keindahan perdamaian dan persahabatan dengan gaya mereka masing-masing.”
Aktivitas berkarya bersama dalam eksibisi ini, Umar mengatakan, diharapkan juga dapat mendekatkan hubungan mereka. Tidak antar mereka saja, relasi yang terbangun lewat seni ini diharapkan juga dapat mendorong kerjasama-kerjasama lain, dan juga dapat berkontribusi pada kedekatan hubungan antar negara.
Kurator seni rupa, Oei Hong Djien, mengatakan, dalam acara seni berskala internasional seperti Borobudur International Art Exhibition, penggunaan bahasa Inggris, atau bahasa internasional, tidaklah penting.
“Hal terpenting dalam event seperti ini (Borobudur International Art Exhibition), adalah seni visual internasional, dan bukan bahasa internasional,” ujarnya.
Menurut dia, seni adalah hal yang selalu menarik untuk dibahas atau dikerjakan bersama karena setiap manusia membutuhkan seni. Beragam kepentingan dan tujuan, bisa dicapai, dilakukan dengan memulainya dari seni.
Maka, 35 pelukis pun kemarin berkesenian dengan tujuan, berkarya atas nama perdamaian dan persahabatan.