PNBP Pertambangan Mineral dan Batubara Rawan Praktik Korupsi
Kenaikan PNBP pertambangan mineral dan batubara bukan semata-mata karena harga, nilai, dan volume ekspornya naik, melainkan juga karena ada penegakan hukum.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penindakan korupsi di sektor pertambangan dan batubara turut memperbaiki setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Administrasi pengelolaan, pengawasan, kepatuhan, dan penegakan hukum jadi tantangan utama sektor ini.
Realisasi PNBP dari pertambangan mineral dan batubara sepanjang 2014-2019 memang cenderung fluktuatif. Hal itu sejalan dengan perkembangan harga komoditas global. Namun, realiasi PNBP dari sektor ini terbilang tinggi meski produksi, nilai ekspor, dan volume ekspornya relatif rendah.
Mengutip data Kementerian Keuangan, realisasi PNBP dari pertambangan mineral dan batubara meningkat dari Rp 35,47 triliun pada 2014 menjadi Rp 39,61 triliun pada 2017 dan Rp 60 triliun pada 2018. Adapun realisasi PNBP pertambangan mineral dan batubata per Agustus 2019 sebesar Rp 21,5 triliun.
Faisal Basri, pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, berpendapat, selama ini sektor pertambangan mineral dan batu bara jadi lahan basah tindak pidana korupsi. Hal itu tecermin dalam pencabutan, pemblokiran, dan atau penertiban 5.000 izin usaha pertambangan (IUP) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
”Kenaikan PNBP pertambangan mineral dan batubara bukan semata-mata karena harga, nilai ekspor, atau volume ekspornya naik, melainkan karena ada penegakan hukum,” kata Faisal di Jakarta, Senin (30/9/2019).
Kenaikan PNBP pertambangan mineral dan batu bara bukan semata-mata karena harga, nilai ekspor, atau volume ekspornya naik, tetapi karena ada penegakan hukum.
Kebocoran PNBP sektor pertambangan mineral dan batubara kerap menjadi sorotan. Persoalan itu ditengarai perbedaan data ekspor batubara antarinstansi pemerintah, seperti Kementerian ESDM, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Article 33 Indonesia, terdapat selisih volume 432 juta ton batubara yang seharusnya masuk ke dalam penerimaan negara senilai Rp 10,9 triliun sampai Rp 23,7 triliun dalam kurun 10 tahun terakhir. Selisih volume itu diperoleh data pemerintah yang dibandingkan dengan data dari negara pengimpor batubara asal Indonesia.
Selain data, masalah tata kelola dinilai memperbesar potensi kebocoran. Riset Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) menyebutkan, 94 persen PNBP sektor mineral dan batubara tahun 2016 hanya disumbang oleh 112 perusahaan dari total ribuan perusahaan mineral dan batubara di Indonesia.
Potensi kebocoran penerimaan negara kini ditanggulangi secara bertahap melalui sistem elektronik penerimaan negara bukan pajak (e-PNBP). Perusahaan batubara diminta melaporkan komponen royalti melalui e-PNBP, antara lain, harga jual, kualitas batubara, volume dan lokasi penjualan, serta dokumen pengapalan.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah sedang menyusun aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP. Aturan turunan itu akan berisi tentang ketentuan tarif, proses penyetoran, dan tata kelola PNBP di setiap kementerian/lembaga.
”Saat ini sedang dilakukan evaluasi dan jenis tarif PNBP. Ini menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintah untuk memetakan mana saja pos tarif yang harus dijaga dan disederhanakan,” ujarnya.
Penyederhanaan jumlah dan tarif PNBP, kata Suahasil, sejalan dengan upaya perbaikan administrasi dan optimalisasi aplikasi e-PNBP. Strategi yang akan diterapkan pada setiap kementerian/lembaga berbeda bergantung pada besaran dan jenis kontribusinya terhadap penerimaan negara. Selain penyederhanaan tarif dan jumlah, optimalisasi PNBP ditempuh melalui sinergi program.
Korupsi pertambangan
Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Senin, mengatakan, korupsi di industri pertambangan mineral dan batu bara marak terjadi di Indonesia. Risiko korupsi terbesar terjadi saat pemberian izin pertambangan dan penentuan lokasi tambang, misalnya, melalui pertukaran pengaruh, campur tangan politik, hingga korupsi peraturan.
Di Indonesia, pemilik badan usaha tambang yang sebenarnya acap kali tidak diketahui sehingga memungkinkan pemilik usaha melakukan tindakan monopoli dan kartel. Sejauh ini tidak ada peraturan yang secara jelas mewajibkan perusahaan industri ekstraktif untuk mengungkapkan pemilik yang sebenarnya.
”Sejumlah elite politik di Indonesia masuk ke bisnis batubara. Mereka memainkan pengaruh politik dalam pertambangan batubara,” kata Tata.
Sejumlah elite politik di Indonesia masuk ke bisnis batubara. Mereka memainkan pengaruh politik dalam pertambangan batubara.
Menurut Tata, enam perusahaan penghasil batubara terbesar menghasilkan lebih dari 50 persen produksi batubara di Indonesia. Pengoperasian keenam perusahaan batubara itu melibatkan sejumlah elite politik nasional dan pensiunan aparat negara.
Mereka kerap memengaruhi kepala daerah untuk melancarkan bisnisnya. Untuk mengakhiri lingkaran setan korupsi politik di industri ekstraktif, penegakan hukum dalam operasi pertambangan mineral dan batubara harus diperkuat.
”Keterlibatan elite politik (politically exposed persons/PEP) dalam kepemilikan dan kepemimpinan perusahaan batu bara menjadi kelemahan Indonesia saat ini,” ujarnya.