Bank Dunia: Beban Utang Negara Berkembang Makin Berat
Bank Dunia memperingatkan risiko peningkatan beban utang luar negeri di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi itu dipengaruhi perlambatan pertumbuhan penerimaan negara, baik dari pajak maupun nonpajak.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia memperingatkan tentang risiko peningkatan beban utang luar negeri negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi itu dipengaruhi perlambatan pertumbuhan penerimaan negara dari pajak ataupun nonpajak.
Bank Dunia dalam laporan statistik utang internasional tahun 2020 yang dirilis pada Rabu (2/10/2019) menyebutkan, total utang luar negeri kelompok negara berkembang tumbuh 5,3 persen menjadi 7,8 triliun dollar AS tahun 2018. Utang itu berasal dari 29 negara berpendapatan rendah dan 91 negara berpendapatan menengah.
Beban utang luar negeri di negara-negara berkembang, kecuali China, juga semakin berat. Hal itu tecermin dari rasio utang terhadap pendapatan nasional bruto (gross domestic income/GNI) yang rata-rata sebesar 35 persen pada 2018. Hanya sekitar 30 negara berkembang yang memiliki rasio utang terhadap GNI di bawah 30 persen.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, Indonesia memiliki rasio utang terhadap GNI di atas rata-rata negara berkembang, yaitu 37 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan China (14 persen), India (19 persen), Thailand (35 persen), dan Brasil (30 persen). Indonesia juga termasuk 10 negara berkembang yang memiliki utang luar negeri tertinggi.
Utang luar negeri Indonesia juga melonjak lebih dari dua kali lipat sepanjang 2008-2018. Bank Dunia menyebutkan, utang luar negeri Indonesia naik dari 157,916 juta dollar AS pada 2008 menjadi 369,840 juta dollar AS tahun 2018. Utang luar negeri itu terdiri dari utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan kredit dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Peringatan risiko utang luar negeri kepada Indonesia sebelumnya disampaikan lembaga pemeringkat investasi internasional, yakni Moodys Investor Service dan Fitch. Mereka menyoroti kemampuan pembayaran utang korporasi di tengah kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjamin gagal bayar utang tidak akan terjadi. Utang dikelola hati-hati, apalagi saat ini kondisi perekonomian global dan domestik cukup menantang. Penarikan utang luar negeri juga digunakan untuk kegiatan produktif.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjamin gagal bayar utang tidak akan terjadi.
”Pemerintah terus mempelajari berbagai peringatan dari lembaga-lembaga Internasional. Utang akan dikelola hati-hati,” ujar Luky, di Jakarta, Senin.
Strategi pengelolaan utang yang hati-hati ditempuh dengan menjaga defisit APBN 2019 dan 2020 di bawah 2 persen produk domestik bruto (PDB). Pertumbuhan utang baru juga terus ditekan agar tidak membebani fiskal. Selain itu, basis investor domestik diperluas untuk memperkecil risiko tekanan global.
Luky mengatakan, pemerintah juga mengantisipasi risiko gagal bayar utang korporasi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan pendapatan korporasi yang berimbas terhadap kemampuan pembayaran utang. Untuk itu, kinerja keuangan korporasi akan dipantau secara berkala.
”Risiko gagal bayar juga dicegah melalui transaksi lindung nilai atau hedging di Bank Indonesia,” kata Luky.
Tidak produktif
Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, Rabu, berpendapat, Indonesia memiliki rasio utang terhadap GNI relatif tinggi. Hal itu patut menjadi perhatian karena penambahan utang belum sejalan dengan kenaikan pendapatan negara, baik dari pajak maupun nonpajak.
”Rasio utang terhadap GNI yang tinggi mengindikasikan tidak semua utang digunakan untuk belanja produktif,” ujar Bhima.
Di APBN, lanjut Bhima, beberapa jenis belanja tidak memiliki dampak berganda cukup besar bagi perekonomian. Porsi belanja pegawai dan belanja barang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan belanja modal. Selain itu, belanja bunga utang pemerintah setiap tahun cukup besar, yakni sekitar Rp 200 triliun.
Selain itu, penerbitan utang yang dilakukan korporasi, terutama di sektor komoditas, digunakan untuk pembiayaan utang jatuh tempo. Kondisi ini dinilai berbahaya karena penarikan utang untuk pembayaran utang akan meningkatkan pembiayaan bunga utang. Untuk itu, penerbitan utang korporasi berdenominasi valuta asing mesti dikendalikan.
”Risiko naik, maka bunga utang juga naik, sementara penerimaan korporasi terus menurun seiring koreksi pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima.
Presiden Bank Dunia David Malpass menuturkan, penggunaan utang harus transparan agar daya tarik investasi tidak berkurang. Pemerintah di seluruh negara berkembang harus berkomitmen meningkatkan transparansi utang, baik secara eksplisit maupun implisit. Transparansi utang juga untuk membangun alokasi modal yang efisien.