Cerita Mahasiswa di Balik Unjuk Rasa
Sepekan terakhir, unjuk rasa mahasiswa serentak digelar di beberapa daerah dengan massa yang besar dan tuntutan serupa.
Sepekan terakhir, unjuk rasa mahasiswa serentak digelar di beberapa daerah dengan massa yang besar dan tuntutan serupa. Ada yang bilang unjuk rasa itu dirancang dadakan. Apa benar begitu? Yuk, kita dengar cerita beberapa aktivis mahasiswa yang ikut menggerakkan unjuk rasa.
Senin (23/9/2019) siang, ribuan mahasiswa memenuhi gerbang depan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat, Tangerang Selatan. Mereka lantas bergerak ke DPR menggunakan bus, sepeda motor, dan truk untuk bergabung dengan ribuan mahasiswa dari kampus lain yang menolak pengesahan revisi UU KPK dan beberapa RUU lain yang isinya dianggap kontroversial.
Milzan, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Jakarta Bidang Hubungan Antarlembaga, tidak menyangka mahasiswa UIN yang ikut berunjuk rasa begitu besar. ”Ekspektasi kami tidak sebesar itu karena konsolidasi yang kami lakukan darurat,” ucap Milzan, Jumat (27/9), di Ciputat.
Konsolidasi massa di tingkat kampus, lanjut Milzan, baru digulirkan pada Jumat (20/9). Saat itu, aktivis mahasiswa mulai dari tingkat jurusan, fakultas, hingga universitas menyosialisasikan rencana aksi kepada mahasiswa lain. ”Hari Minggu baru kami membahas teknis lapangan, menyiapkan perangkat aksi dan pamflet yang isinya lucu, tetapi menohok. Senin, sebelum demo, kami sempat diserang massa enggak jelas. Mereka menimpuki dan memukul beberapa mahasiswa, tetapi kami enggak mau terpancing. Siangnya, kita bergerak secara bergelombang ke DPR dengan peserta aksi yang sebagian newbee (aktivis pendatang baru),” katanya.
Ketua BEM Universitas Negeri Jakarta Abdul Basit menceritakan, koordinasi antar-BEM universitas baru terjadi pada Minggu (22/9/2019) malam. Agendanya menentukan teknis unjuk rasa dan isu di lapangan. Pada hari yang sama, rekan-rekannya di kampus merancang perangkat aksi dan mengajak mahasiswa UNJ untuk turun ke lapangan.
”Kita buat tulisan-tulisan tentang kuliah di jalan atau kuliah diliburkan, ya, ini propaganda saja. Paling enggak mahasiswa yang tadinya enggak tahu jadi tahu,” katanya.
Awalnya, ia memperkirakan peserta demo 1.000 orang. Ternyata yang datang sekitar 7.000 orang. ”Lalu kami bingung bagaimana membawa massa sebanyak itu ke DPR. Akhirnya, kami pakai transportasi umum, seperti angkot dan metromini. Sebagian bawa sepeda motor.”
Di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, konsolidasi aksi di tingkat internal Keluarga Mahasiswa UII baru dilakukan tiga hari sebelum aksi. Sekretaris Jenderal Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII Bagas Wahyu Nursanto menceritakan, yang dibicarakan terutama soal tuntutan yang akan dibawa dalam aksi Gejayan Memanggil.
Setelah konsolidasi internal selesai, para aktivis mahasiswa mengajak mahasiswa lain dari berbagai fakultas ikut dalam aksi. Ajakan disebar melalui DPM dan Eksekutif Mahasiswa (LEM) di tingkat fakultas serta media sosial yang ditangani tim media.
Di Bandung, Presiden BEM Telkom University Yusuf Sugiyarto menceritakan, sejak 16 September 2019, mereka telah mengeluarkan ultimatum kepada DPR dan Presiden agar tidak menyetujui revisi UU KPK karena dianggap akan memperlemah lembaga antirasuah itu. Selanjutnya, mereka membuat unggahan mosi tidak percaya kepada Presiden dan DPR melalui Instagram, Minggu (22/9/2019).
”Ternyata banyak yang suka. Jumlah like-nya lebih dari 4.000,” ujarnya.
Yusuf dan beberapa presiden BEM dari perguruan tinggi lain kemudian menyerukan aksi turun ke jalan dengan tema ”Sakratul Maut Demokrasi”. Aksi besar pun berhasil digelar, Senin (23/9/2019), di DPRD Jabar dengan peserta sekitar 3.000 mahasiswa dari belasan perguruan tinggi.
Kajian
Beberapa kampus sebenarnya telah turun ke jalan mempersoalkan isu pelemahan KPK sejak pertengahan September. Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, misalnya, mendatangi pimpinan DPR di Senayan untuk menyampaikan protes. ”Kami mulai aksi pada 10 September ketika DPR mengadakan fit and proper test calon pimpinan KPK. Kami persoalkan capim KPK yang bermasalah,” kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dinno Adriansyah.
Namun, protes itu tidak didengar. RUU KPK yang dianggap melemahkan KPK malah disahkan pada 17 September 2019. ”Itu membuat kami sangat kecewa,” ucap Dinno.
Tanggal 19, mereka unjuk rasa lagi dengan peserta sekitar 800 mahasiswa. Setelah itu, Dinno dan teman-temannya belum punya rencana apa pun. Namun, saat melihat masyarakat mengapresiasi aksi mahasiswa, semangat mereka bangkit kembali. ”Saya kemudian ngobrol lewat medsos dengan para pengurus badan mahasiswa di kampus lain. Dari situ kami sepakat membuat demo serentak.”
Meski terkesan dadakan, sesungguhnya unjuk rasa itu tidak instan. Nailendra yang terlibat dalam unjuk rasa mahasiswa dengan bendera Aliansi Rakyat Bergerak menjelaskan, tiga hari sebelum menggelar unjuk rasa pertama, para aktivis Aliansi Rakyat Bergerak mengkaji berbagai persoalan yang muncul dari revisi UU KPK. Mereka juga menganalisis berita-berita media massa. Hasil kajian jadi dari tuntutan mereka.
”Kami mengkaji itu siang dan malam. Kami meneliti permasalahan-permasalahan yang akan muncul. Baru setelah itu kami menggelar aksi,” kata Nailendra. Pengkajian melibatkan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Hal yang sama dilakukan aktivis mahasiswa UIN, Trisakti, Telkom University, UNJ, dan lain-lain. Karena itu, mereka menolak tuduhan dari beberapa pihak bahwa mahasiswa bergerak tanpa mengerti apa yang ingin dituntut.
”Enggak ngerti bagaimana. Tujuan kami jelas, yakni meminta Presiden mengeluarkan perppu atas UU KPK sehingga UU itu tak berlaku dan menolak pengesahan semua RUU bermasalah, seperti RUU KUHP,” kata Dinno tegas.
Resah dan gelisah
Mengapa mahasiswa bisa bergerak bersama dalam jumlah besar? Para aktivis mahasiswa menegaskan, mereka memiliki keresahan yang sama, yakni negara, buat mahasiswa, sedang tidak baik-baik saja; perang terhadap korupsi dihambat dan proses pembuatan undang-udang dilakukan tanpa mendengar suara rakyat.
”Itu jadi kesadaran bersama, termasuk di kalangan mahasiswa yang enggak pernah demo. Jadi, gampang banget menarik mahasiswa newbee lewat grup WA untuk ikut demo. Kami sama-sama merasa kondisi politik kita sumpek. Kita sama-sama melihat koruptor menggerogoti duit rakyat tiap hari,” kata Milzan.
Para aktivis mahasiswa mengaku mereka sebenarnya lelah berunjuk rasa setiap hari. Namun, itu yang harus dilakukan demi demokrasi yang lebih baik. ”Saya enggak tahu apakah idealisme ini akan tetap ada di saya 10 tahun lagi. Makanya, mumpung masih muda dan idealisme tinggi, saya akan terus menyuarakan keresahan anak muda,” kata Abdul Basit.
Kalau semua tuntutan sudah dipenuhi, tambah Milzan, mahasiswa akan kembali ke kampus. ”Bagaimanapun kami harus kuliah.” (TAM/NCA/BSW/*)