Dua Sosok Perempuan di Pusaran Politik Senayan
Puan Maharani dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas menjadi dua sosok perempuan yang menarik perhatian saat pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Selasa (1/10/2019). Keduanya termasuk figur yang digadang-gadang bisa menjadi pucuk pimpinan parlemen di Senayan, Jakarta.
Mengenakan kebaya merah, Ketua DPR terpilih Puan Maharani berjalan menuju ruang rapat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Lantai 7 Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan. Bersamanya, sejumlah kolega dari PDI-P berjalan mendampingi, antara lain Vanda Sarundajang, Diah Pitaloka, dan Yulian Gunhar.
Dengan wajah semringah, Puan optimistis akan terpilih sebagai ketua DPR perempuan pertama di Indonesia bila semua pihak konsekuen menjalankan ketentuan mengenai komposisi pimpinan DPR yang diatur dalam revisi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). UU itu mengatur posisi ketua DPR diduduki perwakilan partai politik peraih suara terbanyak dalam pemilu.
Ketua DPR didampingi empat wakil ketua yang berasal dari parpol peraih suara terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Pada akhirnya, Puan Maharani terpilih sebagai Ketua DPR, sedangkan GKR Hemas tak berhasil menjadi pimpinan DPD karena terganjal regulasi.Pada Selasa malam, Puan dilantik sebagai Ketua DPR, bersama empat wakilnya, yakni Aziz Syamsuddin (Golkar), Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra), Rachmat Gobel (Nasdem), dan Muhaimin Iskandar (Partai Kebangkitan Bangsa).
Tidak ada penolakan dan keberatan dari peserta sidang paripurna ketika pimpinan sidang menanyakan apakah komposisi itu bisa dipenuhi.
Munculnya Puan sebagai Ketua DPR pun disambut gembira para kader karena Puan dipandang memiliki kapasitas yang cukup untuk memimpin lembaga legislatif itu. Ia sudah pernah terpilih sebagai anggota DPR 2009-2014 dan 2014-2019. Namun, Puan hanya sebulan menjadi anggota DPR 2014-2019 karena ia ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Jalan politik Puan seolah mulus-mulus saja karena ia memiliki modal sosial besar sebagai putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, dan sekaligus cucu proklamator, Soekarno. Namun, anggapan itu ditampik Puan karena untuk sampai pada posisi sekarang, ia bekerja keras.
”Setiap pemilu, saya selalu mendapatkan raihan suara yang tinggi. bahkan, ketika saya sudah menjadi menteri, saya masih merawat konstituen saya di Jawa Tengah. Jadi, tidak tiba-tiba saja saya sampai di posisi ini. Untuk Pemilu 2019, misalnya, saya mendapatkan 404.034 suara. itu raihan suara tertinggi,” katanya.
Representasi perempuan
Puan menganggap pelantikan dirinya sebagai perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR bukan hanya dianggap sebagai capaian pribadinya, melainkan juga kebanggaan dari perempuan lain di Indonesia.
Pada saat yang sama, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR hasil Pemilu 2019 tercatat sebagai yang tertinggi sejak Pemilu 1999.
Sebanyak 20,9 persen dari 575 anggota DPR hasil Pemilu 2019 ialah perempuan. Sebagai pembanding, pada Pemilu 1999 (9 persen), Pemilu 2004 (11,1 persen), Pemilu 2009 (18 persen), dan Pemilu 2014 (17,3 persen). Sementara itu, di DPD, sebanyak 36 persen dari 136 anggota DPD 2019-2024 ialah perempuan. Angka ini naik dari hasil Pemilu 2014, yakni 31 persen (Kompas, 3/8/2019).
Meski demikian, penelitian Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia juga menunjukkan, sebagian dari anggota legislatif perempuan di Pemilu 2019 merupakan bagian dari politik kekerabatan.
Puan menuturkan, keterwakilan perempuan di DPR juga menjadi salah satu perhatiannya. ”Kita memang punya kouta keterwakilan perempuan, tetapi saat ini jumlah 30 persen itu belum terpenuhi. Ke depan, pasti ada hal-hal yang kita dorong supaya kesetaraan jender itu lebih baik dari sebelumnya,” kata Puan.
Di posisi yang lain, perempuan politisi lainnya, yakni GKR Hemas, menapaki jalan politik yang berbeda. Sebagai anggota DPD 2019-2024 terpilih dari Daerah Istimewa Yogyakarta, GKR Hemas sebenarnya memiliki peluang yang sama dengan anggota lainnya untuk berkompetisi kembali sebagai pimpinan DPD.
Sebelumnya, Hemas pernah menjabat sebagai pimpinan DPD bersama Farouk Muhammad dan Irman Gusman pada awal masa baktinya pada periode 2014-2019. Seiring penetapan Irman sebagai tersangka kasus korupsi, posisinya digantikan oleh Mohammad Saleh pada 2016. Tetapi, pada April 2017, polemik terjadi di DPD yang didasari perubahan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 sehingga jabatan pimpinan hanya berlaku 2,5 tahun.
Meski Mahkamah Agung tidak mengesahkan tata tertib DPD itu, pimpinan DPD tetap berganti. Oesman Sapta Odang, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis memimpin lembaga itu pada 2017-2019.
Dampak dari polemik itu, Hemas diberhentikan melalui keputusan Badan Kehormatan DPD dengan alasan tidak pernah memenuhi jumlah kehadiran dalam rapat-rapat DPD. Meski demikian, Hemas kembali terpilih untuk keempat kalinya sebagai senator setelah meraih 984.234 suara.
”Memang saya akan maju menjadi pimpinan. Dalam kesempatan ini saya memiliki kesempatan untuk maju dan tak harus dibatasi dengan apa pun,” ujar Hemas di sela rapat paripurna DPD, Selasa siang.
Ia pun mengatakan telah melakukan sejumlah lobi untuk meraih kembali kursi pimpinan DPD. Namun, keinginannya itu harus kandas karena rapat paripurna DPD memutuskan Tata Tertib Nomor 2 Tahun 2019 yang menutup kesempatan Hemas untuk kembali memimpin DPD.
Hal itu tertuang dalam Pasal 55 Ayat (1) huruf b terkait syarat pencalonan pimpinan DPD. Salah satunya, calon pimpinan DPD tidak melanggar pelanggaran tata tertib dan kode etik yang ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan.
Penentuan Tata Tertib itu sempat hujan interupsi karena pimpinan sementara DPD yang memimpin sidang paripurna tidak lengkap. Pengambilan keputusan hanya dihadiri salah satu pimpinan sementara, yaitu Jialyka Maharani.
Terlepas dari hal itu, Puan dan Hemas menjadi gambaran politisi perempuan yang berada dalam pusaran politik di parlemen. Pada masa depan, keterlibatan perempuan dalam politik diharapkan menjadi pembuka bagi makin diakomodasinya kepentingan perempuan dalam pengambilan kebijakan. Semoga....