Masyarakat Adat Desa Sihaporas Melapor ke Komnas HAM
Masyarakat adat Desa Sihaporas Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, meminta perlindungan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Masyarakat adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, meminta perlindungan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dua warga ditangkap Kepolisian Resor Simalungun karena konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari. Polisi pun menyisir permukiman dan ladang untuk mencari warga yang membuat warga takut.
”Kasus hukum yang kami hadapi adalah perkelahian antara warga dan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Akan tetapi, polisi bertindak berlebihan menangani kasus ini. Mereka menyisir desa hingga ke ladang dengan membawa senjata. Mereka juga menggunakan drone untuk mencari warga. Ini menciptakan ketakutan warga,” kata Risnan Ambarita dari masyarakat adat Desa Sihaporas.
Risnan mengatakan, perwakilan masyarakat adat Desa Sihaporas telah melaporkan hal itu kepada Komnas HAM di Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mereka berharap Komnas HAM bisa melindungi masyarakat adat dalam penanganan kasus perkelahian dan konflik lahan itu.
Kasus hukum yang kami hadapi adalah perkelahian antara warga dan karyawan PT Toba Pulp Lestari. Akan tetapi, polisi bertindak berlebihan menangani kasus ini. Mereka menyisir desa hingga ke ladang dengan membawa senjata. Mereka juga menggunakan drone untuk mencari warga. Ini menciptakan ketakutan warga. (Risnan Ambarita)
Risnan mengatakan, perkelahian bermula saat masyarakat adat Desa Sihaporas menanam pisang dan jagung di hutan tanaman industri eukaliptus yang telah dipanen TPL. Masyarakat adat mengklaim lahan itu sebagai tanah ulayat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).
Konflik pun pecah pada 16 September saat petugas keamanan dan humas TPL datang saat warga sedang bertani di lahan itu. Pihak TPL dan masyarakat adat pun sempat berdialog. Namun, karena situasi memanas, perkelahian tidak bisa terelakkan. Baik TPL maupun masyarakat adat melaporkan dugaan penganiayaan ke Polres Simalungun setelah perkelahian itu.
”Dua orang masyarakat adat Desa Sihaporas, yakni Thomson Ambarita dan Jhonni Ambarita, pun langsung ditangkap saat diperiksa sebagai saksi di Polres Simalungun pada Selasa (24/9/2019). Namun, laporan kami tidak diproses,” kata Risnan.
Risnan mengatakan, setelah penangkapan itu, aparat kepolisian masuk ke desa mereka untuk mencari warga desa lainnya yang diduga ikut juga melakukan penganiayaan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Simalungun Ajun Komisaris Muhammad Agustiawan mengatakan, mereka masuk ke desa untuk menangkap satu warga lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk daftar pencarian orang. ”Kami melakukan pemeriksaan, penangkapan, dan pencarian orang sesuai dengan prosedur,” katanya.
Agustiawan mengatakan, mereka bersikap netral menangani kasus itu dengan memproses laporan dari masyarakat dan TPL. Warga melaporkan dugaan pemukulan yang dilakukan karyawan TPL terhadap anak berusia tiga tahun. ”Namun, hasil visum menunjukkan tidak ada tanda-tanda kekerasan pada anak itu,” katanya.
Kami melakukan pemeriksaan, penangkapan, dan pencarian orang sesuai dengan prosedur. (Muhammad Agustiawan)
Sebelumnya, Direktur PT TPL Mulia Nauli dalam jawaban tertulis mengatakan, lahan yang diklaim masyarakat adat Desa Sihaporas merupakan konsesi mereka yang sudah empat periode ditanam eukaliptus. ”Oknum masyarakat adat Desa Sihaporas melakukan pemukulan yang menyebabkan seorang karyawan TPL luka berat dan delapan lainnya luka ringan,” katanya.
Mulia mengatakan, sebelum pemukulan terjadi, humas TPL melakukan upaya dialog dan menyampaikan kepada warga agar kegiatan penanaman jagung diberhentikan dulu. TPL juga mengajak warga untuk bermusyawarah dan berbicara secara baik-baik. Namun, suasana memanas hingga terjadi pemukulan.
Menurut Mulia, areal di Desa Sihaporas itu merupakan konsesi TPL yang telah memiliki izin dan telah memasuki rotasi tanam eukaliptus yang keempat. Perusahaan itu memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman-hutan tanaman industri melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS II/1992 juncto SK 179/Menlhk/Sedjen/HPL.0/4/2017. Konsesi itu tersebar di beberapa kabupaten di Sumut.
Menurut anggota masyarakat adat Lamtoras, Baren Ambarita, masyarakat adat mempunyai hak ulayat seluas 2.000 hektar di desanya. Nenek moyang mereka yang bermigrasi dari Pulau Samosir ke Simalungun sudah mengusahakan lahan sejak tahun 1.800-an. Ketika itu, lahan dimanfaatkan untuk bertani, mencari hasil hutan, dan tempat pemakaman.
Namun, pada 1910-an, lahan itu diambil oleh penjajah Belanda dari masyarakat adat dan menanam pinus di sana. Ketika Indonesia merdeka, Belanda meninggalkan lahan itu dan pemerintah memasukkan sebagai kawasan hutan. ”Masyarakat tidak protes karena masih bisa memanfaatkannya untuk mencari hasil hutan dengan sistem hukum adat,” katanya.
Namun, pada 1990-an, pemerintah memberikan lahan itu sebagai konsesi hutan tanaman industri kepada TPL. Sejak saat itu konflik lahan antara masyarakat adat dan TPL berulang kali terjadi.