Minimnya penonton pada Kejuaraan Dunia Atletik 2019 di Stadion Internasional Khalifa, Doha, Qatar, mengancam peluang Doha untuk menjadi tuan rumah pada ajang olahraga dunia lainnya.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Tim Amerika Serikat membatalkan victory lap setelah menjuarai dan memecahkan rekor dunia estafet 4 x 400 meter campuran di Stadion Internasional Khalifa, Doha, Qatar, Minggu (29/9/2019) malam. Mereka langsung meninggalkan lintasan melihat sepinya penonton pada hari ketiga Kejuaraan Dunia Atletik itu.
Malam itu, hanya sekitar 1.000 kursi yang terisi di stadion berkapasitas 40.000 penonton, namun dikurangi menjadi 21.000 selama kejuaraan, 27 September-6 Oktober. Sebagian besar yang hadir adalah ofisial tim dan keluarga atlet.
Sekitar 45 menit sebelum digelar final estafet campuran, pelari putri Jamaika, Shelly-Ann Fraser-Pryce, merayakan gelar juara dunia nomor 100 m untuk keempat kalinya. Tak peduli stadion sepi penonton, dia melakukan putaran kemenangan, menggendong putranya yang baru berusia dua tahun, dan melambaikan tangan pada orang-orang di tribun yang terdiri atas suporter, ofisial tim Jamaika, dan keluarganya.
Sepinya sambutan untuk para juara berbanding terbalik dengan ingar bingar musik dan laser, bagai konser musik rok, saat panitia memperkenalkan para finalis. Satu per satu nama atlet ditampilkan di lintasan saat lampu stadion dipadamkan.
“Saya tak terlalu memperhatikan kalau stadion tak penuh. Meski hanya ada seribu orang di sana, dua orang paling penting dalam hidup saya ada di sini untuk melihat aksi saya,” kata Fraser-Pryce.
Sepinya penonton di salah satu stadion yang akan digunakan untuk menggelar Piala Dunia 2022 itu menjadi sorotan atlet, media internasional, dan Federasi Atletik Internasional IAAF. Bahkan, pada hari kedua, pada final nomor paling favorit 100 m putra, hanya ada 13.288 penonton di stadion. Setelah itu, jumlahnya terus menurun.
”Stadionnya kosong, sangat mengecewakan. Penontonnya bahkan lebih sedikit dari Kejuaraan Nasional Atletik di Yunani,” kata peloncat galah putri asal Yunani, Katerina Stefanidi, yang mendapat medali perunggu, Minggu.
”Saya sebenarnya senang ketika atletik dibawa ke Timur Tengah, ke lingkungan yang berbeda. Tetapi mungkin promosinya kurang bagus atau mungkin tak tepat sasaran. Menyedihkan,” kata peraih emas Olimpiade Rio 2016 itu.
IAAF turut menyayangkan situasi tersebut. Namun, tak banyak yang bisa diperbuat karena mereka sendiri yang memilih Doha sebagai tuan rumah pada 2014, alih-alih Barcelona (Spanyol) atau Eugene (AS).
Presiden IAAF Sebastian Coe tak dapat menyalahkan Lamine Diack, pendahulunya yang memimpin organisasi itu saat memilih Doha. Saat itu Coe tak hanya wakil Presiden IAAF, tetapi duduk di komisi evaluasi calon tuan rumah.
Dengan salah satu jaminan dari Qatar bahwa penonton akan selalu penuh, Doha pun dipilih setelah dikalahkan London (Inggris) pada 2017. Setahun setelah memilih Qatar, Coe berbicara pada parlemen Inggris bahwa dia tak yakin pencalonan Qatar ”bersih”.
Pencalonan Qatar menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Atletik 2017 dan 2019 masih di bawah investigasi kriminal di Perancis. Tuduhan, pada Mei, ditujukan pada pebisnis Qatar, Nasser Al-Khelaifi. Dia adalah pemimpin Grup Media beIN, Qatar Sports Investments, Presiden klub sepak bola Paris Saint-Germain (PSG), dan Federasi Tenis Qatar.
Dalam tuduhan dinyatakan, ofisial IAAF menerima suap 3,5 juta dollar AS (sekitar Rp 49,75 miliar) meski dibantah tim pengacara Al-Khelaifi. Beberapa jam sebelum final 100 meter putri, anggota Athletic Integrity Unit (AIU) membicarakan kasus tersebut di stadion. ”Kasus ini menjadi perhatian kami,” kata ketua AIU Brett Clothier.
Terlalu malam
Panitia lokal beralasan, jadwal yang terlalu malam menjadi salah satu penyebab minimnya penonton datang ke stadion. ”Penonton pada Jumat dan Sabtu cukup banyak. Untuk Minggu, di bawah ekspektasi kami karena ini adalah hari kerja pertama di Qatar,” demikian pernyataan resmi panitia lokal. Boikot empat negara tetangga yang menyebut Qatar mendukung terorisme, yaitu Arab Saudri, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir, dinilai turut menjadi penyebab minimnya penonton.
Kondisi itu dinilai akan mempersulit Qatar jika ingin mencalonkan diri lagi menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 atau 2036. Salah satu sumber di Komite Olimpiade Internasional (IOC), seperti dikutip Daily Telegraph, mengatakan, minimnya penonton atletik adalah bencana jika Qatar kembali menjadi tuan rumah Olimpiade. Sebelumnya, Qatar dua kali gagal menjadi tuan rumah Olimpiade 2016 dan 2020.
Mantan Direktur Pemasaran IOC Michael R Payne mengatakan, jumlah penonton Kejuaraan Dunia Atletik yang sedikit menjadi sinyal ketidakmampuan Doha menjadi tuan rumah ajang besar. Secara kontroversial pula, Qatar dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Namun, FIFA yakin ketertarikan penduduk lokal pada Piala Dunia akan tinggi.
“Anda dapat membangun stadion besar dan anggaran besar untuk acara penyelenggaraan. Tetapi, Anda juga memerlukan penonton di stadion. Atlet juga tak bisa paham ketika mereka tampil dalam Kejuaraan Dunia, tetapi dengan stadion yang kosong,” kata Payne.
Peraih medali emas saptalomba Olimpiade Sydey 2000, Denise Lewis bahkan menilai, minimnya penonton sama dengan merendahkan kerja keras para atlet yang mereka lakukan sejak masa persiapan. (AP/AFP)