Pergerakan nilai tukar rupiah di sisa akhir tahun 2019 masih akan berada di bawah bayang-bayang sejumlah sentimen eksternal. Kendati demikian, rupiah tetap berpotensi menguat
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pergerakan nilai tukar rupiah di sisa akhir tahun 2019 masih akan berada di bawah bayang-bayang sejumlah sentimen eksternal. Kendati demikian, rupiah tetap berpotensi menguat karena fundamental ekonomi Indonesia masih terjaga.
Berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Rabu (2/10/2019), rupiah berada di posisi Rp 14.207 per dollar Amerika Serikat (AS) atau melemah 11 poin dari posisi hari sebelumnya yakni Rp 14.196 per dollar AS.
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan pasar tampak tidak memiliki bayangan cukup jelas terkait kelanjutan perang dagang antara AS dan China yang telah berlangsung setahun terakhir.
Baca juga : Persepsi Terganggu, Dana Pasar Saham Pindah ke Obligasi
“Pasar sudah tidak ada bayangan lagi negosiasi perdagangan akan dibawa ke arah mana, kedua belah pihak saling tarik ulur memberikan sentimen ketidakpastian kepada pasar,” ujarnya.
Ariston memprediksi di sisa tahun ini, rupiah akan dipengaruhi tiga sentimen negatif yakni tidak jelasnya kesepakatan dagang antara AS dan China, kelanjutan pemangkasan kembali suku bunga acuan BI, serta proyeksi The Fed yang tidak akan memangkas suku bunga pada sisa tahun ini.
Sementara itu, Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai dari sisi fundamental ekonomi Indonesia, rupiah berpotensi untuk berbalik menguat. “Pergerakan rupiah saat ini masih belum mencerminkan fundamental yang sebenarnya relatif baik,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks harga konsumen pada September 2019 mengalami deflasi sebesar 0,27 persen. Deflasi tersebut dinilai dapat menjadi dorongan untuk meningkatkan daya beli karena harga yang cenderung rendah.
Selain itu, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan II-2019 mencatatkan surplus 85,1 juta dollar AS, walaupun defisit transaksi berjalan tercatat mencapai 8,4 miliar dollar AS atau 3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Indeks harga konsumen pada September 2019 mengalami deflasi sebesar 0,27 persen
“Pelemahan rupiah kali ini lebih dibayangi kekhawatiran pasar akan terjadinya perlambatan ekonomi global sehingga meningkatkan ancaman resesi,” kata Josua.
Infrastruktur keuangan
Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar sekaligus memperkuat pembiayaan domestik, Bank Indonesia (BI) berupaya mengakselerasi pendalaman pasar keuangan. Dalam kurun paling lama 2,5 tahun mulai Juni 2020, Bank Indonesia akan menyelenggarakan Counter Counterparty (CCP) untuk transaksi derivatif suku bunga.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia BI Agusman menjelaskan, CCP adalah lembaga yang melakukan novasi dengan cara menempatkan dirinya antara pihak-pihak yang bertransaksi.
“Lembaga ini nantinya yang akan melaksanakan tugas kliring, penjamin transaksi, dan proses manajemen risiko transaksi pasar keuangan,” ujarnya.
Agusman menilai CCP diperlukan untuk mendukung pengembangan pasar keuangan dengan menurunkan risiko kredit karena mengambil alih risiko yang dihadapi penjual maupun pembeli dan meningkatkan efisiensi transaksi derivatif.