Kaum muda membuktikan mereka tak hanya sibuk dengan urusan pribadi dan akademik, tetapi juga peduli terhadap lingkungan sekitar.
Oleh
Evy Rachmawati
·4 menit baca
Kaum muda membuktikan mereka tak hanya sibuk dengan urusan pribadi dan akademik, tetapi juga peduli terhadap lingkungan sekitar. Dalam ASEAN Camp di Thailand, sebagai generasi Z, perwakilan mahasiswa dari sejumlah negara di kawasan ASEAN menyuarakan kepedulian terhadap kondisi Bumi sekaligus melahirkan solusi berkelanjutan atas persoalan lingkungan.
Pisey, mahasiswi CamEd Business School di Phnom Penh, Kamboja, mengusap peluh di dahinya, Sabtu (24/8/2019). Kedua tangan gadis berperawakan mungil yang memakai sarung tangan tersebut mengangkat pipa hitam dan merakitnya dengan pipa lain.
Pagi itu, bersama beberapa rekannya dari sejumlah negara di kawasan ASEAN yang tergabung dalam satu tim, ia membuat rumah ikan di tepi pantai di Distrik Rangyon, Thailand. Rumah ikan berfungsi sebagai habitat ikan-ikan di daerah wisata tersebut.
Terik matahari tak menyurutkan semangat para peserta Sharing the Dream ASEAN Camp merakit pipa-pipa polyethylene (PE100) menjadi rumah ikan. Pembuatan beberapa rumah ikan itu bertujuan meningkatkan hasil tangkapan ikan oleh nelayan. ”Ini melelahkan, tetapi seru,” kata Pisey.
Menurut Akbar Ghifari, mahasiswa Jurusan Teknologi Informasi Institut Teknologi Bandung, hal tersulit adalah mengebor pipa-pipa PE100 berukuran kecil dan panjang itu. Pipa PE100 umumnya untuk menyalurkan gas dan air serta ramah lingkungan. ”Yang paling sulit adalah pengeboran karena bahaya jika asal pencet,” ujarnya.
Aksi nyata para pemuda lintas negara itu tak berhenti di situ. Para mahasiswa juga merakit limbah karet menjadi puluhan alat penyemprot air untuk membantu para penyandang disabilitas menyiram area kebun pisang di pusat komunitas penyandang disabilitas di Rangyon, Thailand.
Selama ini, penyandang disabilitas kesulitan menyiram tanaman pisang di areal itu karena keterbatasan fisik. Hasil panen pisang yang dipasarkan di jaringan toko ritel di Rangyon dan sekitarnya membuat mereka bisa hidup mandiri.
Para mahasiswa itu diajak menjadi bagian dari solusi atas soal lingkungan dan menumbuhkan kepedulian sosial. Sejumlah peserta mengaku senang terlibat dalam pembuatan rumah ikan untuk menambah populasi ikan serta membantu para penyandang disabilitas.
Berkolaborasi
Pertemuan pada Kamis sampai Minggu (22-25/8) itu diikuti 73 mahasiswa Indonesia, Thailand, Laos, Myanmar, Kamboja, Filipina, dan Thailand. Mereka menjadi penerima beasiswa PT SCG, perusahaan semen, bahan kimia, dan pengemasan asal Thailand.
Dari Indonesia, ada 10 mahasiswa yang mengikuti pertemuan itu. Mereka adalah mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.
Selain mengikuti rangkaian aktivitas daur ulang, perwakilan mahasiswa dari sejumlah negara di ASEAN juga memaparkan solusi mengatasi masalah lingkungan dengan konsep ekonomi sirkular. Sejumlah isu diangkat pada pertemuan itu, Minggu (25/8), di Bangkok, antara lain buruknya mutu air minum, deforestasi, pencemaran udara, limbah tekstil, dan sampah. Mereka membuat proyek untuk mengatasi itu.
Ekonomi sirkular adalah model pembangunan ekonomi berkelanjutan yang mengedepankan lingkungan dan sosial. Fokus ekonomi sirkular antara lain daur ulang produk, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, perpanjangan masa pakai produk, kesejahteraan warga, dan pengurangan sampah (Kompas, 23 Oktober 2018).
Tim dari Kamboja mengusulkan proyek air bersih lewat edukasi kepada anak-anak dan orangtua serta pemakaian filter air. ”Diare menjadi penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun di Kamboja. Perlu kolaborasi pemerintah dan organisasi nonpemerintah memasok air bersih,” kata Samnang, mahasiswa dari Kamboja.
Daur ulang
Akbar Ghifari mengatakan, pertemuan itu membuatnya lebih paham masalah sosial dan lingkungan sekitar. Tim Indonesia memaparkan soal limbah tekstil sebagai salah satu sumber pencemaran secara global. Pemanfaatan limbah tekstil untuk memberi nilai tambah ekonomi jadi usulan mereka.
Di Desa Padasuka, Kabupaten Bandung, 70 persen warga bekerja di industri tekstil dan menghasilkan 22,4 ton limbah per hari. ”Kami mengusulkan limbah tekstil didaur ulang menjadi tas dan mebel,” ujar Okta Widianti, mahasiswi Jurusan Jurnalistik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.
Sebelumnya, mereka menyosialisasikan rencana daur ulang itu dan direspons positif warga setempat. ”Kami melibatkan pemuda setempat dan bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk mendesain produk daur ulang limbah tekstil agar sesuai selera pasar,” ujarnya.
Kasem Wattanachal, Direktur dan Ketua Komite Tanggung Jawab Sosial Perusahaan untuk Pembangunan Berkelanjutan SCG, menyambut positif inovasi dari kaum muda membenahi mutu lingkungan. ”Dalam konsep ekonomi sirkular, tindakan berskala lokal bisa berdampak global,” katanya.
Dalam konsep ekonomi sirkular, tindakan berskala lokal bisa berdampak global.
Penerapan konsep itu butuh kolaborasi dengan pihak terkait, termasuk pemerintah, komunitas, dan organisasi nonpemerintah. Berbagai produk dari daur ulang limbah mesti bernilai tambah agar memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Sebagai generasi Z, pada simposium internasional ekonomi sirkular di Bangkok, para mahasiswa di kawasan ASEAN mendesak para pemangku kepentingan berkolaborasi mengatasi soal lingkungan. Saatnya mendengarkan suara mereka demi menyelamatkan Bumi.