Pemerintah Jepang akhirnya menaikkan pajak penjualan dari 8 persen menjadi 10 persen setelah tertunda dua kali. Sebuah langkah untuk memperbaiki keuangan negara itu, tetapi dapat membawa Jepang ke arah resesi.
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
Pemerintah Jepang akhirnya menaikkan pajak penjualan dari 8 persen menjadi 10 persen setelah tertunda dua kali. Sebuah langkah untuk memperbaiki keuangan negara itu, tetapi dapat membawa Jepang ke arah resesi.
TOKYO, SELASA — Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan, kondisi saat ini tidak terhindarkan untuk menaikkan pajak penjualan itu setelah dua kali ditunda. Meski dibayang-bayangi resesi dalam jangka pendek, kebijakan itu diharapkan meningkatkan jaminan sosial masyarakat Jepang secara menyeluruh.
”Kami sedang melakukan upaya reformasi jaminan sosial untuk memastikan semua orang terlindungi, bahwa semua generasi mulai dari anak-anak hingga warga lanjut usia dapat merasa aman. Ini akan menjadi langkah besar pertama,” kata Abe kepada pers, Selasa (1/10/2019), di Tokyo.
Tekanan ekonomi jangka pendek bagi Jepang diantisipasi oleh jajaran pemerintahan Abe. Stabilisasi keuangan di masa depan menjadi tujuan di tengah populasi negara itu yang menua dengan cepat dan menyusut.
Dalam jangka pendek, ekspansi negara dengan perekonomian terbesar ketiga global itu mungkin tidak dapat dilakukan. Merujuk pada pengalaman, kenaikan pajak sebelumnya—kenaikan 2 poin menjadi 5 persen pada 1997 dan kenaikan serupa menjadi 8 persen tahun 2014—menyebabkan resesi bagi Jepang.
Hasil industri Jepang pada Agustus turun. Namun, pengangguran tetap pada level terendah dalam 26 tahun, yakni 2,2 persen. Ekonomi Jepang tumbuh secara tahunan 1,8 persen pada periode April-Juni, lebih cepat daripada yang diperkirakan. Akan tetapi, ekspor yang melambat dan kenaikan harga minyak diperkirakan akan menyeret pertumbuhan lebih rendah dalam beberapa bulan mendatang.
Sejumlah analis memperingatkan, kenaikan pajak berisiko membuat ekonomi Jepang mengalami deflasi. Hal itu terkait juga dengan kondisi tidak menentu akibat perang dagang antara AS dan China, dua negara pasar ekspor terbesar Jepang. Konflik dagang antara Jepang dan Korea Selatan juga diperkirakan menjadi faktor penekan lain.
Kenaikan pajak penjualan mencakup sebagian besar barang dan jasa, mulai dari pakaian, barang-barang elektronik, hingga transportasi dan biaya pengobatan. Pemerintah berusaha melunakkan dampak kenaikan pajak dengan memberikan keringanan pajak untuk pembelian rumah dan mobil, meluncurkan program hadiah untuk kartu kredit dan pembelian nontunai lainnya di restoran berukuran kecil hingga menengah dan pengecer lain, terhitung hingga Juni mendatang.
Pajak untuk barang-barang grosir tidak berubah untuk rumah tangga berpenghasilan rendah. Selain itu, pemerintah juga menyediakan pendidikan prasekolah gratis bagi keluarga dan pembayaran satu kali saja bagi para pensiunan berpenghasilan rendah.
Ekonomi seimbang
Menteri Keuangan Taro Aso menekankan bahwa jumlah pembelian tambahan yang terbatas di tengah kenaikan pajak menunjukkan, dampaknya mungkin tidak separah di masa lalu. Pada masa-masa sebelumnya, warga cenderung berburu barang-barang mereka sebelum pajak dinaikkan.
Abe berupaya keras agar ekonomi Jepang seimbang. Setelah beberapa dekade mengalami defisit fiskal yang menjadikan utang lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan ukuran ekonominya, Abe memasang target keseimbangan akan tercapai pada 2025. Hal itu akan membutuhkan pertumbuhan yang berkelanjutan dengan kecepatan yang sehat.
Kenaikan pajak penjualan kali ini bertepatan dengan rilis data yang menunjukkan bahwa sentimen bisnis di kalangan produsen besar di Jepang pada September memburuk ke level terendah sejak tahun 2013. Hasilnya memang lebih baik dari yang diharapkan. Namun, prospek selanjutnya diperkirakan semakin melemah pada Desember.
”Yang paling terpengaruh adalah produsen bahan dasar sebagai cerminan pergerakan pasar komoditas serta produsen mesin secara umum dan mesin produksi. Mereka terpapar risiko eskalasi perang dagang AS-China baru-baru ini,” kata tim ekonomi Oxford Economics dalam analisis tertulisnya. (AP/AFP)