Praktik suap, gratifikasi, ataupun nepotisme masih ditemukan di lembaga-lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal tersebut setidaknya menunjukkan, rangkaian program pencegahan belum berhasil menihilkan korupsi.
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
Hasil Survei Penilaian Integritas 2018 mengungkap, praktik suap, gratifikasi, dan nepotisme masih terasa kental di pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik suap, gratifikasi, ataupun nepotisme masih ditemukan di lembaga-lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa rangkaian program pencegahan belum berhasil menihilkan korupsi.
Masih adanya suap, gratifikasi, dan nepotisme terungkap dalam hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2018 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di 26 kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil survei yang diluncurkan di Jakarta, Selasa (1/10/2019), itu menunjukkan, sebanyak 25 persen responden pengguna layanan (pemerintahan) melihat atau mendengar bahwa pegawai menerima suap/gratifikasi. Sementara sekitar 22 persen responden internal mendengar atau melihat keberadaan calo.
Survei mencakup empat dimensi, yakni budaya dan sistem antikorupsi serta pengelolaan sumber daya manusia dan anggaran. Responden survei berasal dari kalangan internal lembaga, masyarakat pengguna layanan, dan ahli.
Lebih jauh hasil survei menunjukkan, sebanyak 21 persen responden internal percaya bahwa suap/gratifikasi memengaruhi kebijakan karier di lembaganya. Sekitar 25 persen responden internal juga mendengar atau melihat keberadaan nepotisme dalam penerimaan pegawai. Lalu, 5,6 persen responden internal mendengar atau melihat keberadaan suap dalam kebijakan promosi.
Dari survei tersebut, rata-rata penilaian integritas berada pada skor 68,75. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memegang skor tertinggi, yakni 78,26, diikuti Pemprov Jawa Timur (74,96), Kementerian Kesehatan (74,75), Pemprov Sumatera Barat (74,63), dan Pemprov Gorontalo (73,85). Sementara itu, skor terendah, antara lain, ada di Mahkamah Agung (61,11), Pemprov Riau (62,33), Pemprov Sulawesi Selatan (63,85), dan Pemprov Aceh (64,24).
”Hasil ini tidak banyak berubah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Artinya, perbaikan harus simultan dilakukan di tiap lembaga. Sebab, angka-angka yang muncul ini tetap tak menutup potensi korupsi. Keseriusan dan tingginya komitmen dibutuhkan karena demi pelayanan publik yang lebih baik,” kata Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana.
KPK bekerja sama dengan BPS telah tiga kali melakukan SPI, yakni pada 2016, 2017, dan 2018. Dalam survei kali ini, satu lembaga yang menjadi obyek survei, yakni Kepolisian Negara RI, kembali tak mengantongi skor seperti pada 2017. Hal ini disebabkan tak satu pun pihak internal bersedia disurvei.
Pelapor tak dilindungi
Dari hasil SPI juga diketahui bahwa keberadaan whistleblowing system tak berjalan optimal. Pasalnya, orang yang berupaya melaporkan tindakan korupsi justru dikucilkan.
Hal ini terungkap ketika dua orang dari 10 pengguna layanan cenderung tidak percaya bahwa melaporkan korupsi akan mendapatkan perlindungan. Sementara dua dari 10 pegawai (internal lembaga) menyaksikan pelapor praktik korupsi di unit kerja dikucilkan, diberi sanksi, atau kariernya dihambat dan sejenisnya dalam 12 bulan terakhir.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan, capaian SPI diharapkan dapat membantu meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi secara keseluruhan. Capaian itu kemudian diintegrasikan dengan capaian pencegahan.
”Sinkron atau tidak. Kalau ternyata nilai koordinasi, supervisi, pencegahan tinggi, tetapi nilai SPI rendah, bisa jadi administratif saja yang baik, tetapi pelaksanaannya belum,” katanya.
Hasil dari SPI sendiri menunjukkan, pencegahan saja belum tentu mampu menopang sebuah negara bisa bebas dari korupsi. Pengajar hukum di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, berpandangan, pencegahan dan penindakan harus berjalan secara beriringan dalam tataran hukum.
Sementara peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpendapat, hasil survei tersebut perlu dilihat lebih mendalam dan dikaitkan dengan kondisi KPK saat ini yang berada di ujung tanduk pascapengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Alih-alih menguatkan pencegahan, regulasi baru itu justru menghambat kerja KPK secara keseluruhan.