Ujian Soliditas PDI Perjuangan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan fenomena demokrasi Indonesia pascareformasi. Dari partai minoritas yang mampu bertahan lalu berbalik menjadi partai pemenang pemilu.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan fenomena demokrasi Indonesia pascareformasi. Dari partai minoritas yang mampu bertahan lalu berbalik menjadi partai pemenang pemilu. Dari partai yang terpecah karena tekanan penguasa, kini PDI-P dikenal soliditasnya.
Sang Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat ini ditengarai sebagai pemimpin terkuat partai politik di Indonesia. Dia mampu mengendalikan partai banteng itu selama hampir tiga dekade meskipun suara-suara untuk suksesi kepemimpinan sudah mulai disuarakan beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, faktanya, kongres partai senantiasa berakhir dengan suara bulat mendukung kembali kepemimpinan Megawati.
Transformasi menjadi partai besar yang solid itu terekam jelas dari gesture dan isi pidato politik Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pada pembukaan Kongres V PDI-P di Bali, 8-10 Agustus 2019. ”Enak jadi partai pemenang, semua maunya mendekat,” kata Megawati lantang di depan para tamu undangan dan kader partai yang memenuhi tempat pembukaan kongres.
Mega bahkan berani lugas menuntut jatah menteri kabinet yang paling tinggi dibandingkan dengan ”jatah” untuk partai lainnya. Tuntutan itu disampaikan langsung di depan Presiden RI Joko Widodo.
Jika dibandingkan dengan era Orde Baru yang penuh berbagai masa sulit, periode reformasi tampaknya menjadi ”ladang panen” politik bagi PDI-P meski perolehannya belum pernah mayoritas mutlak. Raihan suara pemilu memang sempat melejit tinggi pada 1999 saat partai banteng meraih 35,6 juta suara atau 33 persen suara pemilu. Saat itu PDI-P mendapat limpahan suara sebagai dampak dari kemarahan publik atas perilaku para pejabat Orde Baru yang dianggap banyak tersangkut KKN alias korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sikap tegas antikoruptor dan citra partai nasionalis membuat simpati publik tertuju kepada PDI-P selepas lengsernya kekuatan politik Soeharto. Tak sekadar simpati, pemilih PDI-P yang banyak merupakan pengagum Soekarno bahkan terkenal militan, tak hanya dalam memilih pada pemilu, tetapi juga dalam berbagai langkah politik yang diserukan Megawati.
Selepas 1999, nostalgia publik agaknya mulai pudar. Sejumlah kasus membelit kader PDI-P yang duduk di kursi eksekutif dan legislatif, baik di pusat maupun daerah. Kepuasan publik meredup.
Bulan madu publik berakhir, simpati publik perlahan bergeser dan perolehan suara PDI-P menurun. Pada Pemilu 2004 dan 2009, posisi PDI-P melorot ke posisi kedua dan ketiga peringkat suara.
Jika dicermati, raihan kursi di DPR selama periode 2004-2009 terpangkas sekitar sepertiga jumlah dari periode sebelumnya. Pada masa ”gamang” ini agaknya PDI-P tak mengendurkan strategi sebagai partai nasionalis Soekarnois. Pada masa yang mulai sulit ini, secara berani PDI-P justru menjalankan sikap politik oposisi selama satu dekade (2004- 2014) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sikap politik yang berani beda ini ternyata mampu mengikat sebagian besar pemilihnya tetap dalam rumah besar partai banteng.
Daya tarik Jokowi
Namun, yang mengangkat kembali pamor PDI-P tak semata pilihan sikap oposisi terhadap pemerintah. Kemunculan sosok sangat biasa dan sederhana, Joko Widodo, yang kontras dengan corak kepemimpinan pada zamannya, ternyata mampu memikat perhatian publik. Nama Joko Widodo semakin terkenal setelah kemampuannya memecahkan persoalan-persoalan sosial pelik saat
menjadi Wali Kota Solo ataupun saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Bersamaan dengan membesarnya pamor politik Joko Widodo, raihan suara PDI-P kembali naik pada Pemilu 2014 menjadi 23,6 juta suara dan merupakan 18,9 persen suara. Banyak analis menyatakan, besaran suara pemilu yang diraih PDI-P itu banyak tertolong oleh sosok Jokowi. Bahkan, tak hanya PDI-P, sejumlah parpol pengusung pun menggunakan daya tarik Joko Widodo sebagai upaya mendapatkan simpati pemilih parpol.
Kemenangan ketiga PDI-P pada Pemilu April 2019 lalu memiliki jalan cerita berbeda. Meski pada akhirnya mampu mempertahankan kemenangan suara partai, pertarungan PDI-P tergolong berat. Nama Joko Widodo sebagai petahana presiden mendapat serangan dan hoaks dari lawan politik. Lawan politik agaknya sadar, lebih sulit mengikis suara PDI-P jika tak mengurangi daya pikat sang petugas partai yang kini menjadi sosok nasional.
Dengan demikian, dapat dikatakan kemenangan ketiga PDI-P dengan raihan suara pada Pemilu 2019 sebenarnya jauh lebih berat daripada Pemilu 1999 atau 2014. Ada tambahan lebih 4 juta suara pada Pemilu 2019 dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Jumlah sebanyak 27,5 juta suara yang diraih itu juga banyak dilihat menjadi semacam jumlah sosial kapital basis massa partai nasionalis ini.
Meski dua pemilu terakhir proporsi perolehan suara PDI-P relatif stagnan di angka 19-an persen, itu sudah mampu menempatkan partai banteng tersebut menjadi kekuatan politik dominan di DPR. Apalagi, koalisi yang dibangun bersama Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP membuat proporsi kekuatan dengan kubu lawan menjadi 60 persen berbanding 40 persen.
Hal ini berkebalikan dengan kondisi hasil Pemilu 2014, di mana Koalisi Indonesia Hebat (KIH) milik PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI hanya mencakup sekitar 40 persen suara Parlemen.
Namun, apakah dengan keunggulan itu partai banteng akan mampu terus berjaya dalam pemilu mendatang? Apakah keunggulan politik dan sosok ketua umum yang saat ini dimilikinya dapat mengatasi tuntutan dinamika politik yang makin sektarian, ketat, dan bercorak transisional?
Mengacu pada motivasi pemilih terhadap PDI-P dalam survei Litbang Kompas, terekam bahwa alasan terbesar memilih partai berturut-turut adalah karena programnya, calon presidennya (Jokowi), ideologinya, dan tradisi keluarga.
Jika dibandingkan dengan delapan parpol yang lolos ke DPR, kekhasan PDI-P terletak pada aspek presiden yang diusung. Dalam soal ini, PDI-P hanya disaingi Gerindra yang mengusung capres sendiri. Adapun pada proporsi kesukaan pada aspek program, ideologi dan tradisi keluarga relatif juga dinyatakan para pemilih partai lainnya.
Faktor capres
Sementara itu, Jokowi sudah pasti tak maju lagi dalam pemilu 2024 mendatang. Artinya, perlu mencari pengganti faktor calon presiden yang saat ini menjadi daya tarik terbesar kedua bagi pemilih PDI-P. Salah satu modal sosial yang masih dimiliki PDI-P saat ini pada sosok Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Kelihaiannya dalam menghela gerbong besar parpol banteng moncong putih itu sudah terbukti dalam tiga dekade masa kepemimpinan. Meski demikian, dalam lima tahun ke depan dipastikan secara alamiah kondisi usia Megawati akan semakin membatasi kemampuan dan mobilitas dari sang ketua umum.
Regenerasi
PDI-P juga patut mengingat basis massa berdasar usia yang dalam survei terekam paling besar berada pada rentang usia mapan, berusia 40 tahun ke atas. Rentang usia ini adalah periode produktif dan ditandai dengan puncak karier, akumulasi pengetahuan, dan modal.
Kondisi semacam ini menguntungkan PDI-P dari aspek kokohnya rekognisi dan loyalitas, tetapi di sisi lain juga menyulitkan dalam hal kaderisasi pemilih. Padahal, pada masa lalu PDI-P dikenal sebagai partai orang muda yang dinamis dan revolusioner.
Dengan demikian, upaya merebut pemilih berusia muda sangat penting dilakukan di tengah alih generasi yang niscaya akan semakin banyak terjadi. Membumikan kembali roh kepartaian yang sesuai dengan arus utama kekinian akan membantu regenerasi partai. Karena, bagaimanapun perilaku politik dan preferensi pemilih muda akan makin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil Pemilu 2024.
Menempatkan kembali akar marhaenisme dan orientasi rakyat kecil sebagai sasaran dan arah perjuangan politik akan memperkuat pilihan berbasis ideologi bagi kelompok ini. PDI-P perlu mulai berpikir tentang bagaimana mendorong generasi ini untuk mengetahui lebih banyak tentang identitas sosial dan program riil partai. Strategi yang efektif perlu didapatkan untuk menarik pemilih muda.
Toto Suryaningtyas, Litbang Kompas