Gelombang unjuk rasa di Ibu Kota dalam beberapa hari terakhir bikin pusing petugas kebersihan dan pengelola taman. Selain beban kerja bertambah, mereka juga terpapas gas air mata.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
Gelombang unjuk rasa di Ibu Kota dalam beberapa hari terakhir bikin pusing petugas kebersihan dan pengelola taman. Selain beban kerja bertambah, mereka juga terpapas gas air mata.
”Yang nggak demo cuma tukang sapu saja, kali, ya,” kata Ida (55), salah seorang petugas oranye (PPSU) Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2019) siang.
Ida sedang mengaso di bawah jembatan layang Jalan Gerbang Pemuda, sekitar 500 meter dari pintu utama Kompleks Parlemen, Senayan. Saat itu melintas mobil komando aksi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Buruh menggelar unjuk rasa.
Perempuan asal Bogor, Jawa Barat, ini heran. Unjuk rasa seperti tidak kelar-kelar di wilayah kerjanya: Jalan Gatot Subroto.
Pada 23-24 September lalu, mahasiswa unjuk rasa menuntut pemerintah dan DPR agar menunda rancangan undang-undang bermasalah. Aksi ini dilanjutkan oleh pelajar beberapa hari setelah itu.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengumpulkan sampah sisa unjuk rasa tersebut. Terkumpul sebanyak 17 ton sampah (Kompas, 25/9/2019).
Selain memungut sampah, Ida kebagian tugas tambahan: membersihkan tembok-tembok yang dicoret pengunjuk rasa. Silakan berkeliling di sekitar Kompleks Parlemen. Berbagai tulisan umpatan dialamatkan kepada DPR dan pemerintah.
”Ini tadi diprotes pengawas karena belum bersih benar,” katanya menunjuk tembok penyangga jembatan layang.
Ida menuturkan, pasukan oranye terbagi dalam dua sif: pukul 05.00-13.00 dan 14.00-22.00. Karena unjuk rasa berlangsung hingga malam, teman Ida yang kebagian sif malam harus merelakan diri bekerja hingga dini hari.
”Kami terima saja. Yang penting kontrak tetap diperpanjang,” kata ibu dari tujuh anak ini.
Setiap hari, Ida yang bekerja pada sif siang ini bolak-balik dari Bogor ke Palmerah.
Saat terjadi kerusuhan pada 24 September, kereta rel listrik relasi Bogor-Tanah Abang hanya sampai Stasiun Karet. Ia tertahan beberapa jam.
Kisah Gufron (24) lain lagi. Petugas harian lepas Dinas Kehutanan DKI Jakarta ini sempat ”mencicipi” gas air mata pada malam yang sama. ”Malam selanjutnya, saya pakai kain tutup muka dan odol,” katanya saat ditemui di taman Jalan Gatot Subroto, di depan Restoran Pulau Dua.
Taman yang tadinya penuh bunga berubah jadi tandus. ”Ini tidak bisa renovasi lagi, harus ditanami ulang,” katanya sembari memungut sampah plastik di taman tandus itu.
Gufron tak berang terhadap pengunjuk rasa. Dia hanya ingin kerja kerasnya dipertimbangkan atasan untuk memperpanjang kontrak kerja tahun depan. Pendapatan sekitar Rp 4 juta per bulan dirasa sudah cukup untuk menghidupi istri dan anaknya yang masih bayi.