Sepuluh tahun batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh UNESCO, animo masyarakat dalam memakai dan memproduksi batik meningkat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepuluh tahun batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), animo masyarakat dalam memakai dan memproduksi batik meningkat.
Ketua Yayasan Batik Indonesia (YBI) Titiek Djoko Soemarno mengatakan, perkembangan batik di semua provinsi yang memproduksi batik sangat dinamis. Motif yang diproduksi kini tidak hanya motif klasik seperti kawung, parang, taruntum, dan basurek. Muncul pula motif-motif kontemporer karya perancang busana dan perajin batik yang berusia muda.
”Artinya, batik adalah budaya Nusantara yang berkembang, tidak stagnan hanya pada pemahaman yang terdahulu. Batik bisa menjadi falsafah, metode, dan produk yang merekam perubahan di masyarakat,” katanya ketika dihubungi di Solo, Jawa Tengah, Rabu (2/10/2019).
Motif-motif baru ini tidak hanya menghasilkan pola yang segar, tetapi juga kombinasi warna, cara berpikir dan bernarasi, serta cara merebut hati pangsa pasar yang baru.
Batik bisa menjadi falsafah, metode, dan produk yang merekam perubahan di masyarakat.
Dari segi teknik juga memiliki kebaruan karena banyak perancang muda yang menggunakan komputer untuk membuat gambar pola. Bahkan, polanya pun diadaptasi dari kondisi lingkungan sekitar dengan cara menganalisis dan merefleksi ulang budaya terkini.
Menurut Titiek, hal ini tidak masalah karena kewajiban dari batik ialah pola itu ditransfer ke kain dan ditulisi atau dicap dengan lilin malam sebagai perintang. Setelah itu, kain mengalami proses pencelupan warna dan pelorotan.
”Syarat dari UNESCO untuk budaya tak benda adalah selalu digunakan oleh masyarakat lintas generasi sehingga terjaga keberlanjutannya. Menggabungkan teknologi modern dengan metode tradisional membuktikan batik sangat penting dan benar-benar bagian hidup masyarakat Indonesia dari Sumatera sampai Papua,” tutur Titiek.
Selain itu, batik juga semakin menyerap ke dalam dunia pendidikan. Hal ini terbukti dengan munculnya jurusan membatik di sejumlah SMK. Hal ini meningkatkan derajat pewarisan batik yang sebelumnya dipelajari secara turun-temurun. Masuknya batik ke dalam kurikulum pendidikan vokasi memungkinkan semakin eratnya sinergi tradisi dan modernitas.
Pewarna alam
Titiek mengatakan, YBI juga mendorong perajin, pengusaha, dan pencinta batik untuk menggunakan pewarna alami. Hal ini karena YBI menerima keluhan dari para konsumen di luar negeri yang enggan membeli batik karena produksinya menggunakan pewarna sintetis dan mencemari lingkungan, terutama sumber air.
”Orang-orang asing mengutarakan keluhan itu bukan karena mereka membenci batik, justru menurut mereka batik sangat penting sehingga harus menjadi budaya yang turut melestarikan alam,” ucapnya.
Sosialisasi kepada perajin juga membuka kesempatan baru. Warga desa yang tidak membatik bisa berkontribusi dengan menanam tumbuhan penghasil zat warna, seperti tarum (Indigofera tinctoria) dan mengkudu (Morinda citrifolia).
Keberlanjutan
Dari segi produksi, elemen canting merupakan faktor yang sangat penting. Akan tetapi, canting kini hanya dibuat oleh satu keluarga di Pekalongan, Jawa Tengah, yaitu Chuzazi (67) dan kedua anaknya, Aziz dan Aminuddin.
”Pembuat canting yang lain sudah meninggal dan anak-anak mereka tak mau meneruskan,” kata Chuzazi.
Aminuddin mengungkapkan, semua kota pembuat batik di Indonesia menggunakan cantik produksi mereka. Penjualan canting fluktuatif karena ada masa-masa batik tulis kalah dari kain sablon bercorak motif produksi pabrik yang harganya sangat murah.
”Untungnya, masyarakat mulai beralih kembali ke batik tulis dan cap sehingga produksi canting mulai stabil,” ujarnya.
Dalam peringatan Hari Batik Nasional di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktur Warisan dan Diplomasi Kebudayaan Kemdikbud Najamuddin Ramli mengusulkan kepada Kementerian Luar Negeri agar batik menjadi pakaian resmi diplomat Indonesia dalam acara regional ataupun multilateral.
Batik merupakan salah satu dari sembilan warisan budaya tak benda Indonesia yang ditetapkan oleh UNESCO. Selain batik, warisannya antara lain wayang kulit, angklung, dan tari saman. Tahun ini, di Kolombia, pencak silat akan dikukuhkan sebagai budaya tak benda ke-10 dari Indonesia.