DPR Hampir Tak Representasikan Kepentingan Rakyat, tetapi Oligarki Parpol
Kinerja anggota DPR RI periode 2019-2024 diharapkan dapat mencerminkan suara masyarakat yang seutuhnya. Kontrak sosial antara anggota DPR dan masyarakat pun menjadi penting untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja anggota DPR RI periode 2019-2024 diharapkan dapat mencerminkan suara masyarakat yang seutuhnya. Saat ini, rakyat hampir meyakini DPR tak lagi merepresentasikan mereka, tetapi lebih mewakili kepentingan oligarki partai politik. Untuk itulah, kontrak sosial antara anggota DPR dan masyarakat pun menjadi penting untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
”Teori kontrak sosial mengharuskan orang-orang (anggota DPR) untuk mengesampingkan kecenderungan, keinginan pribadi, dan harus mempromosikan kesejahteraan setiap orang secara imparsial. Secara prinsip, kontrak sosial akan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Alwan Ola Riantoby saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Pemikiran kontrak sosial setidaknya dilandasi pada prinsip kebebasan, kesederajatan, rasionalitas, bargaining, keadilan, aggregasi, dan manfaat bersama. Melalui prinsip-prinsip ini, negara yang dihasilkan dari kontrak sosial harus dapat memperjuangkan hak-hak politik dan kepentingan atau kehendak rakyat.
Catatan Kompas, kinerja DPR kemarin menurun drastis karena hanya mampu mengesahkan 91 rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU). Sementara DPR periode 2009-2014 mampu menghasilkan hingga 125 UU.
Alwan menilai kinerja ini jelas masih mengecewakan karena performa DPR kemarin dapat dikatakan tak sebanding dengan besarnya uang yang dikelola. Jumlah total APBN yang dialokasikan untuk lembaga legislatif sepanjang 2015-2019 mencapai Rp 26,14 triliun. Rata-rata anggaran DPR per tahun sebesar Rp 5,23 triliun.
”Banyak juga persoalan lain terkait fungsi legislasi yang dianggap tidak maksimal. Muncul suatu pemahaman yang diyakini oleh rakyat bahwa kebijakan yang dilahirkan hampir tidak ada yang merepresentasikan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan partai politik,” ujar Alwan.
Sejumlah produk RUU yang hingga saat ini masih menuai kritik, antara lain revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Kritik ini pun direpresentasikan melalui aksi unjuk rasa mahasiswa yang menuding bahwa reformasi telah dikorupsi dengan produk-produk legislasi.
Fenomena korupsi memang selalu menjadi perbincangan. Data Anti-Corruption Clearing House KPK mencatat, periode 2004-2018, ada sebanyak 247 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi. Jabatan terkorup dibandingkan 13 jabatan lainnya.
Tak mengherankan, dari hasil jajak pendapat Kompas, 18-19 September, sebanyak 63,7 persen responden menyatakan tidak puas dengan kinerja DPR kemarin di bidang legislasi. Jajak pendapat Kompas, 25-27 September, pun menunjukkan, sebesar 53,5 persen responden tidak percaya DPR 2019-2024 mampu mendengarkan aspirasi rakyat, hanya 26,3 persen yang percaya DPR akan mengutamakan kepentingan rakyat.
Secara prinsip, kontrak sosial akan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedualatan negara.
”Kondisi ini jelas semakin memperburuk tingkat kepercayaan rakyat terhadap lembaga DPR. Menarik menunggu seperti apa kinerja anggota DPR mendatang. Namun, belum apa-apa, publik mulai mengkhawatirkan komitmen sebagian wakil rakyat terpilih ini dalam mengemban amanah dan kepercayaan rakyat,” kata Alwan.
Kepatuhan LHKPN
Menurut Alwan, salah satu indikator rendahnya kepercayaan publik karena ketidakpatuhan wakil rakyat dalam memberikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). KPU mengumumkan, hingga 30 Agustus 2019 ada 90 legislator terpilih yang belum menyerahkan LHKPN.
LHKPN ini penting karena bagian dari transparansi anggota legislatif sebagai pejabat publik. Dari LHKPN ini bisa dilacak jika ada oknum yang berpotensi korupsi sehingga pencegahan masih bisa dilakukan.
Dari sembilan partai politik yang lolos ke Parlemen Senayan, hanya tiga partai yang 100 persen wakilnya menyerahkan LHKPN. Ketiganya adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Golongan Karya.
Muncul suatu pemahaman yang diyakini oleh rakyat bahwa kebijakan yang dilahirkan hampir tidak ada yang merepresentasikan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan partai politik.
”Memang tidak berarti bahwa dengan tidak menyerahkan LHKPN seorang anggota DPR nanti akan korup atau kinerjanya akan buruk. Begitu pun sebaliknya. Namun, paling tidak, kepatuhan dalam urusan administrasi menunjukkan adanya keseriusan seorang wakil rakyat untuk tunduk pada aturan,” tutur Alwan.
Citra DPR
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nyarwi Ahmad, menilai, di bawah pimpinan Puan Maharani sebagai Ketua DPR 2019-2024, DPR perlu mengembangkan strategi komunikasi politik dan marketing politik secara kompresensif.
”Ini yang saya sebut sebagai proactive political marketing and market oriented model. Artinya, dalam menjalankan semua fungsinya harus didasarkan pada suara dan aspirasi rakyat yang diserap melalui langkah proaktif, bukan reaktif,” kata Nyarwi.
Proaktif berarti bahwa DPR bukan sekadar mengetahui dan mendengarkan suara rakyat, melainkan lebih mampu memastikan bahwa pengelolaan kekuasaan yang dijalankan bersama pemerintah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan jauh dari praktik korupsi.
Menurut Nyarwi, strategi ini akan membuat DPR tidak lagi dipandang sebagai lembaga politik elitis atau hanya memenuhi keinginan segelintir elite. Selain itu, aktor-aktor politik yang ada di DPR bisa lebih transparan secara politik sehingga dapat menunjukkan prestasi dan kinerja di mata para pemilih dan konstituen.
”Dengan begitu, DPR bisa menjadi lembaga yang lebih kredibel, berpengaruh, dan mendapatkan kepercayaan rakyat secara luas, tidak seperti saat ini,” kata Nyarwi.