Ada ”Otewe” di Senayan
Dua perempuan muda berusia di bawah 25 tahun jadi pemimpin sementara sidang DPR dan DPD. Ada idealisme dari muda-mudi yang baru dilantik jadi anggota DPD dan DPR 2019-2024.
Wajah muda dan segar lumayan banyak ”berseliweran” di Kompleks Parlemen, Senayan, di Jakarta, dua hari terakhir. Para anggota DPR dan anggota DPD baru periode 2019-2024 itu beberapa di antaranya terpilih sebagai pimpinan sementara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebelum terpilih pimpinan definitif.
Sesuai dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, selama belum terpilih pimpinan baru, sidang dipimpin oleh anggota tertua dan anggota termuda.
Jialyka Maharani, anggota DPD dari Sumatera Selatan, baru menginjak usia 22 tahun. Ia menjadi pimpinan rapat paripurna pemilihan ketua DPD, Selasa (1/10/2019) malam. Meski sempat muncul hujan interupsi dari anggota DPD yang lebih senior, Jialyka tenang memimpin rapat paripurna.
Bahkan, ketika sejumlah anggota DPD menghujani aneka pertanyaan terhadap pimpinan sidang terkait daftar absensi kehadiran anggota DPD sebelum proses pemungutan suara pemilihan ketua DPD, Jialyka dengan santai berkata, ”Daftar absen otewe (on the way).”
Ucapan yang khas anak muda itu sontak menimbulkan keriuhan dari hadirin yang menyaksikan rapat paripurna itu.
”Gugup pasti ada sedikit. Alhamdulillah semua telah selesai dan sukses, saya bangga bisa menjadi pimpinan sementara” kata Jialyka, yang merupakan putri dari Bupati Ogan Ilir Ilyas Panji Alam.
Jialyka menuturkan, dirinya akan berupaya menjalankan amanat yang diberikan oleh konstituen, terutama terkait berbagai kebutuhan yang disuarakan generasi muda dan juga kaum perempuan.
”Saya akan menunjukkan bahwa perempuan dan generasi muda bisa berkiprah baik di parlemen,” ujar anggota DPD kelahiran 20 September 1997 itu.
Motivasi pembuktian diri juga diungkapkan Hillary Brigitta Lasut (23), anggota DPR termuda. Ia menjadi pimpinan sementara DPR yang memimpin sidang pelantikan Ketua DPR Puan Maharani, Selasa malam, bersama Abdul Wahab Dalimunthe (80) dari Partai Demokrat sebagai anggota DPR tertua. Hillary kembali menjadi pimpinan sementara sidang MPR pada Rabu pagi.
Seusai sidang, Hillary berjalan keluar dari Gedung Nusantara sembari menenteng telepon pintarnya. Ia terlihat sibuk dengan ponselnya. Ia menyambut hangat ketika permintaan wawancara diajukan.
”Menjadi anggota DPR memang cita-cita saya. Awalnya ketika saya study tour ke gedung DPR/MPR tahun 2017, saya kagum, mengambil foto, dan menuliskan kegembiraan saya. Saya bercita-cita suatu saat ingin menjadi anggota DPR,” ujarnya saat ditanyai soal motivasinya menjadi anggota DPR.
Hillary tidak menampik fakta bahwa trah politik mengalir deras di darahnya. Ayah Hillary, Elly Engelbert Lasut, adalah Bupati terpilih Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, pada Pilkada 2018. Namun, ia belum dilantik karena ada pembatasan masa jabatan dua periode bagi kepala daerah.
Sebelumnya, Elly menjadi bupati tahun 2004-2009 dan 2009-2012. Namun, pada periode kedua, ayahnya tersandung kasus korupsi sehingga harus melepaskan jabatannya. Ibu Hillary, Telly Tjanggalung, juga Bupati Minahasa Tenggara, Sulut, periode 2008-2013.
Pengalaman politik kedua orangtuanya mengilhami Hillary untuk terjun ke politik. Namun, kisah pahit penangkapan ayahnya dalam kasus korupsi disebut Hillary yang mendorongnya untuk menjadi anggota DPR. Ada motivasi pribadi untuk membuktikan dirinya bisa menjadi wakil rakyat yang bersih dan lebih baik kendati ia kerap dituding sebagai anak koruptor.
”Saya pernah dikatai sebagai anak maling, anak koruptor, dan keluarga saya dicap keluarga koruptor. Saya bisa dibilang mengalami mental breakdown ketika itu, dan selalu emosional kalau menceritakan pengalaman itu,” ungkapnya.
Berbekal pengalaman tersebut, kini Hillary mendalami isu-isu tindak pidana korupsi, sesuai dengan latar belakang pendidikannya, yakni hukum.
”Saya tidak tahu apakah ini nasib, sebab dulu ayah juga bupati termuda, dan ibu merupakan bupati perempuan termuda di masanya. Sekarang saya anggota DPR termuda. Saya tentu sangat berharap bisa memberikan kontribusi pada perbaikan parlemen di masa depan,” kata Hillary, yang mengincar untuk ditempatkan di Komisi III DPR.
Pengalaman memimpin sidang DPR selama dua hari pun memberikan perspektif baru yang mengejutkannya.
”Ternyata tidak mudah memimpin anggota DPR yang berjumlah 575 orang karena masing-masing punya kepentingan. Sungguh tidak mudah, karena kadang dalam posisi itu, bisa lupa bahwa sebagai anggota parlemen tugas kita adalah mewakili rakyat, bukan mewakili kepentingan pribadi sendiri-sendiri,” katanya.
Indonesia toleran
Lain halnya dengan Hillary, motivasi Nabil Haroen (35), politisi muda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menjadi anggota DPR didasari latar belakangnya sebagai santri. Dibesarkan dari kalangan Nahdlatul Ulama, Nabil justru dekat dengan jiwa nasionalis partai tempatnya mencalonkan diri. Nabil yang juga Ketua Umum Pagar Nusa, sebuah badan otonom Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, bertekad ingin berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang toleran dan menghargai kebinekaan.
Fokus menjaga Indonesia yang berbineka itu juga tidak jauh dari kesibukannya sehari-sehari di Pagar Nusa. Sebab, anggota Pagar Nusa adalah santri yang menjaga keselamatan dan kehormatan kiai dalam tugasnya menebarkan dakwah perdamaian dan kebangsaan.
”Salah satu fokus saya ialah menjaga Indonesia sebagai negara yang majemuk, menangkal radikalisme, dan sikap-sikap intoleran dalam berbangsa dan bernegara. Semoga dengan menjadi anggota DPR, saya bisa berkontribusi mewujudkan hal itu,” ungkapnya.
Bersama anggota DPR 2019-2024 yang berusia di bawah 40 tahun, Nabil bergabung dalam Kaukus Pemuda Parlemen Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menjalin komunikasi lebih intensif di antara kelompok anggota parlemen muda, memudahkan mereka saling belajar, dan menampung aspirasi masyarakat. Jumlah anggota kaukus itu sekitar 60 orang, termasuk Hillary.
Di benak Jialyka, Hillary, maupun Nabil, parlemen menjadi tantangan baru bagi generasi mereka. Pertanyaannya, mampukah mereka mewarnai parlemen dan meneruskan aspirasi generasi mereka?
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, optimistis kehadiran generasi milenial di parlemen dapat menghadirkan gagasan baru dan segar untuk perbaikan kiprah parlemen di periode 2019-2024. Namun, ia mengingatkan, peran serta masyarakat sipil dan kaum intelektual tetap diperlukan untuk menjaga kiprah para anggota DPR dan anggota DPD muda itu.
”Masukan dan kritikan perlu diberikan kepada mereka agar gagasan mereka untuk mendorong perubahan besar di parlemen dapat terus diperjuangkan,” kata Aditya.
Selain itu, kinerja dengan prestasi yang baik, lanjut Aditya, juga bisa menjadi jalan para anggota parlemen muda untuk mengisi unsur pimpinan lembaga legislatif di waktu mendatang.
Semoga saja pernyataan yang penuh optimisme dan idealisme dari para anggota DPR dan anggota DPD muda di awal masa pelantikan itu tak menguap seiring waktu. Kita tunggu saja....