Ganjil-Genap Tidak Menyasar Sumber Pencemaran Udara
Kebijakan ganjil-genap dinilai tak menyasar sumber pencemaran udara. Oleh karena itu, tidak tepat jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan aturan ganjil-genap untuk memperbaiki kualitas udara DKI Jakarta.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalih Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan kebijakan ganjil-genap kendaraan bermotor untuk memperbaiki kualitas udara dinilai pegiat lingkungan dan transportasi tidak tepat. Sebab, kebijakan itu tidak menyasar pada sumber pencemaran udara.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin menilai upaya mengurangi polusi udara dan meningkatkan kualitas udara adalah bentuk dari sesat berpikir. Sebab, kebijakan itu tidak menyasar langsung ke sumber pencemaran.
”Memang betul pencemaran terbesar itu dari kendaraan bermotor, tetapi dari sepeda motor bukan dari mobil. Kalau mau mengatur penggunaan kendaraan bermotor, ya, seharusnya sepeda motor, bukan mobil. Ini, kan, sesat berpikir,” ujar Safrudin pada diskusi publik bertajuk ”Haze, Pencemaran Udara dan Pelanggaran HAM”, Kamis (3/10/2019), di Jakarta.
Dari survei yang dilakukan KPBB pada 2014, sumbangan polusi dari kendaraan bermotor 47 persen, dari industri 22 persen, serta kompor atau pembakaran di restoran dan rumah tangga 11 persen (Kompas, 27 Juni 2019). Ada pula sumbangan dari pembakaran sampah terbuka 5 persen, infrastruktur 4 persen, dan debu jalanan 4 persen.
Riset KPBB pada 2019 menyebutkan, kendaraan bermotor rata-rata menyumbang pencemaran udara 19.165 ton per hari.
Penyumbang pencemaraan terbesar adalah sepeda motor 44,53 persen, bus 21,43 persen, truk 17,7 persen, mobil solar 1,96 persen, mobil bensin 14,15 persen, dan bajaj 0,23 persen.
Selain bentuk sesat berpikir, kebijakan ini juga dinilainya primitif. Sebab, pengawasan pelat nomor mobil dilakukan hanya dengan mengandalkan penglihatan petugas di lapangan.
”Kalau mata mereka sakit atau lelah, mobil dengan pelat yang tidak sesuai dengan harinya sangat mungkin lolos. Lantas di bagian mana kebijakan ini bisa menurunkan polusi udara,” ujar Safrudin.
Anggota Perkumpulan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia, Esrom Hamonangan, menilai, Pemerintah Provinsi DKI seharusnya mengeluarkan kebijakan yang langsung menyasar pada sumber pencemaran.
Jumlah gas buang dari mobil pelat nomor ganjil dan genap setiap hari tidak jauh berbeda dengan ketika digabung.
”Ini logika sederhana saja. Misalkan dalam sehari ada 10.000 ton gas buang dari mobil pelat ganjil, besoknya juga akan ada 10.000 ton gas buang dari mobil pelat genap. Luas jalan raya dan kepadatan lalu lintas juga tidak berubah, artinya pencemaran mobilnya pun sama saja,” ujar Esrom.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengakui kebijakan ganjil-genap salah satunya untuk mendorong perbaikan kualitas udara di Jakarta. ”Dua bulan lebih sejak diberlakukannya instruksi gubernur ini, perbaikan kualitas udara di Ibu Kota sudah mulai dirasakan,” kata Andono.
Pemerintah provinsi juga mendorong peralihan ke moda transportasi umum dan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki melalui percepatan pembangunan fasilitas pejalan kaki di 25 ruas jalan protokol, arteri, dan penghubung ke angkutan umum massal pada 2020.
Khusus penanggulangan pencemaran udara di Ibu Kota, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Salah satu poin dalam Ingub Nomor 66/2019 adalah gubernur ingin memastikan tidak ada angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi beroperasi di jalan dan penyelesaian peremajaan seluruh angkutan umum melalui program Jak Lingko pada 2020.