Industri Menahan Diri Menyikapi Perlambatan Pertumbuhan
Tekanan perekonomian global dihadapi industri dengan menahan diri untuk tidak berlebihan mengajukan pinjaman. Peluang untuk ekspansi tetap dimanfaatkan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini/Aris Prasetyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Industri cenderung menahan diri dan tidak jor-joran meminjam dana. Langkah ini untuk menyikapi pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, kendati menghadapi tekanan, pelaku usaha diharapkan tetap ekspansif dan jeli membidik peluang pasar.
"Pasar cenderung melemah. Sebagian industri masih menahan diri," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Menurut dia, sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi global yang melambat, negara-negara di dunia cenderung menjadi protektif. Di Indonesia, pasar yang cenderung lemah membuat ekspansi industri menjadi sangat terbatas. Industri menahan diri untuk ekspansi dan tidak jor-joran mengajukan kredit.
Lembaga pemeringkat investasi internasional Moody’s mengingatkan korporasi untuk lebih berhati-hati menerbitkan surat utang di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi global dan regional. Korporasi yang kredit macetnya relatif tinggi antara lain perdagangan, pertambangan dan industri (Kompas, 2/10).
Menurut Hariyadi, korporasi mencari jalan dan menciptakan pasar-pasar baru lewat inovasi produk dan kegiatan ekspor.
Secara terpisah, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Sanny Iskandar mengemukakan, kendati pertumbuhan ekonomi global melambat, namun bukan berarti seluruh industri terancam persoalan potensi gagal bayar utang. Industri yang memiliki potensi pasar domestik besar dan berdaya saing di pasar ekspor tidak terkendala untuk terus tumbuh. Industri itu, misalnya, makanan dan minuman, alas kaki, garmen, dan komponen pendukung otomotif.
Sanny menambahkan, industri perlu tetap berekspansi di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi. Namun, industri juga mesti jeli menembus peluang pasar dan meningkatkan nilai tambah produk.
“Pengusaha perlu jeli melihat peluang pasar. Peluang masih terbuka selama (industri) mampu berdaya saing terhadap produk-produk kompetitor, menguasai pasar dalam negeri, dan punya akses ke luar negeri,” katanya.
Industri diharapkan tidak mengambil risiko bisnis dengan hanya mengandalkan modal pinjaman, melainkan lebih mengupayakan modal sendiri.
”Pinjaman kredit dilakukan jika kita yakin pendapatan (usaha) lebih besar dari suku bunga pinjaman,” ujarnya.
Data uang beredar yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan, kredit korporasi nonfinansial per Agustus 2019 sebesar Rp 2.754,1 triliun.
Dana Moneter Internasional memproyeksikan perekonomian dunia tumbuh 3,2 persen tahun ini. Adapun proyeksi Bank Dunia dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) 2,9 persen.
Efisiensi
Secara terpisah, Kepala Komunikasi Perusahaan PT Adaro Energy Tbk Febriati Nadira, menyebutkan, efisiensi menjadi kata kunci di tengah kondisi pelambatan pertumbuhan ekonomi global dan regional. Adaro menjaga neraca tetap kuat.
"Strategi lain, kami senantiasa menjaga tingkat likuiditas perusahaan. Disamping itu, perusahaan mengendalikan biaya untuk mempertahankan marjin yang sehat," ujarnya.
Berdasarkan laporan keuangan pada semester I-2019, Adaro membukukan laba inti perusahaan 371 juta dollar AS.
"Di tengah tantangan makro dan ketidakpastian pasar batu bara global, disiplin biaya diterapkan demi mempertahankan marjin yang sehat," jelas Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Adaro Garibaldi Thohir. (LKT/APO)