Para petani berharap pemerintah tidak bereaksi secara berlebihan menghadapi kenaikan harga beras lima bulan terakhir. Intervensi yang berlebihan justru dikhawatirkan membuat harga gabah turun dan merugikan petani.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI / MELATI MEWANGI / M PASCHALIA JUDITH
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Para petani berharap pemerintah tidak bereaksi secara berlebihan menghadapi kenaikan harga beras lima bulan terakhir. Intervensi yang berlebihan justru dikhawatirkan membuat harga gabah turun dan merugikan petani.
Sejumlah petani di Karawang, Indramayu, dan Cirebon, Jawa Barat, yang ditemui Rabu (2/10/2019), menyatakan, kemarau telah memaksa mereka mengeluarkan ongkos lebih besar, terutama untuk pengairan. Oleh karena itu, mereka berharap mendapat harga layak atas hasil panennya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga beras medium di penggilingan naik dari Rp 9.143 per kilogram (kg) pada Mei 2019 menjadi Rp 9.301 per kg pada September 2019. Sementara harga gabah kering panen (GKP) naik dari Rp 4.445 per kg jadi Rp 5.201 per kg pada kurun waktu yang sama.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Panguragan, Cirebon, H Amrin, berharap pemerintah tidak buru-buru mengintervensi harga gabah di tingkat petani yang naik. ”Operasi pasar tidak tepat karena harga beras saat ini belum melonjak. Sementara beras dari Cirebon ke Pasar Induk Cipinang masih Rp 8.800 per kg. Kalau nanti harga beras hancur (turun), petani akan terimbas,” ujarnya.
Harga GKP di tingkat petani di Cirebon berkisar Rp 5.000–Rp 5.300 per kg, sementara di Indramayu Rp 5.800 per kg. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Ali Efendi, petani bahagia dengan kenaikan harga gabah.
Koordinator Wilayah Asosiasi Bank Benih Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Jawa Barat Masroni berharap, pemerintah menyerahkan penentuan harga gabah pada mekanisme pasar. Petani berharap intervensi pemerintah tidak justru membuat harga gabah di petani anjlok.
”Biarkan petani merasakan udara segar dengan kenaikan harga gabah. Apalagi, ongkos produksi bertambah pada musim tanam kedua,” ujar Masroni.
Deden (33), petani di Desa Kiara, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang, berharap harga gabah setidaknya dihargai Rp 5.000 per kg GKP. Apalagi sebagian petani terlambat tanam dan panen masih akan berlangsung hingga akhir tahun.
Luar Jawa
Terkait itu, Perum Bulog mengandalkan penyerapan dari luar Pulau Jawa untuk mengatasi dampak kekeringan terhadap cadangan beras pemerintah (CBP). Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mencatat, realisasi pengadaan CBP dari dalam negeri per 1 Oktober 2019 mencapai 1,05 juta ton setara beras atau 57,52 persen dari target 1,8 juta ton tahun ini.
”Saya sudah bersurat kepada semua divisi regional untuk mengoptimalkan panen gadu selama Oktober-Desember 2019,” kata Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar di Jakarta, Rabu kemarin.
Menurut Bachtiar, peluang menyerap gabah/beras masih ada di sejumlah wilayah di Jawa, seperti dari Situbondo dan Bondowoso, Jawa Timur, yang bisa mencapai 600 ton per hari. Namun demikian, Bulog akan mengandalkan penyerapan di luar Pulau Jawa yang relatif tidak terdampak kekeringan. Salah satunya adalah dari Sopeng dan Palopo, Sulawesi Selatan.
Berdasarkan penghitungan Bulog, rata-rata penyaluran beras untuk operasi pasar 5.000 ton per hari, sedangkan untuk bantuan pangan 700.000 ton hingga akhir 2019. Artinya, total penyaluran selama Oktober-Desember 2019 minimal 1,15 juta ton. Dengan stok 2,35 juta ton saat ini, kata Bachtiar, CBP masih aman dan Indonesia belum butuh impor beras. (IKI/MEL/JUD)