Kala Penegakan Disiplin Merenggut Nyawa Siswa
Penegakan disiplin di sebuah sekolah menengah pertama di Manado, Sulut, memakan korban. Mungkinkah kasus ini menjadi momentum untuk mengubah paradigma metode hukuman bagi siswa?
Jenazah Vanly Lahingede (14) dikebumikan, Kamis (3/10/2019), di Manado, Sulawesi Utara. Siswa kelas IX SMP Kristen 46 Mapanget Barat itu meninggal ketika sedang menjalani hukuman fisik dari guru piket. Namun, penyebab kematiannya masih menjadi teka-teki.
Sehari sebelumnya, Rabu (2/10) siang, ibadah penghiburan baru saja berakhir di rumah Yunli Mandiangan (40) di sebuah perumahan di Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget. Satu per satu tamu meninggalkan tempat, tetapi Yunli tak beranjak.
Matanya menatap nanar peti mati putih di ruang tamu. Di dalamnya, terbaring tubuh Vanly, anak bungsunya. Tak disangka, sekolah yang dipercaya Yunli untuk membuka tabir masa depan cerah bagi Vanly malah merenggut nyawa anaknya. Sebagai ibu, dunianya tak akan sama lagi.
Tapi, ternyata, di perjalanan, anak saya sudah tidak ada.
”Kemarin (Selasa) pagi, dia makan nasi kuning dan roti. Makannya banyak. Baru saja suami saya kembali dari mengantar ke sekolah, ada beberapa teman yang datang tergesa-gesa. Mereka bilang Vanly kecelakaan di sekolah, lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum AURI,” kata Yunli.
Nasi yang baru saja dituangkan ke piring tak jadi mereka santap. Bersama suaminya, Johnny Lahingede (42), Yunli bergegas ke RSU AURI. Di sana, ia mendapati tubuh putranya telah membiru. Seruan dan gugahan histeris sang ibu tak berbalas, Vanly tetap bergeming.
Dokter merujuknya ke RSU Pusat Prof Dr RD Kandou di Kecamatan Malalayang. ”Apa pun akan saya lakukan buat anak saya. Tapi, ternyata, di perjalanan, anak saya sudah tidak ada,” kata Yunli.
Selasa pagi itu rupanya Vanly datang terlambat ke sekolah sekitar 20 menit. Apel pagi dan doa bersama selalu dimulai pada 07.00 Wita. CS (58), guru Bahasa Inggris senior yang sudah mengajar sejak tahun 1980-an, sedang piket untuk memastikan ketertiban siswa.
Hukuman tak terhindarkan lagi bagi Vanly bersama sekitar 10 siswa terlambat lainnya. Bak dididik militer, mereka dijemur di bawah sinar matahari, kemudian disuruh lari mengelilingi lapangan sekolah sebanyak 20 putaran.
Tak ada pilihan, hanya perintah. Vanly takzim, berlari mengitari lapangan berukuran 7,5 x 26 meter itu. Namun, memasuki putaran ketiga, ia merasa tak sehat. ”Bu, saya sudah tidak kuat lagi,” seru Vanly kepada CS. Seruan itu seakan terpental, membentur tembok di telinga CS.
Saya tidak terima anak saya malah jadi korban kekerasan di tempat dia belajar.
Bruk! Vanly jatuh terkapar saat memasuki putaran keempat. Wajahnya membentur tanah lebih dulu hingga bibir dan dagunya terluka. Semua panik, termasuk sang pemberi hukuman. Nyawa Vanly tak tertolong.
Tiada yang mengerti rencana Tuhan. Yunli hanya berusaha tabah. Namun, manusia tetaplah manusia. Kegeraman Yunli sudah di ujung lidah. Suaranya bergetar, isaknya kembali menyeruak.
”Anak saya memang terlambat, tetapi dia anak yang baik. Saya tidak terima anak saya malah jadi korban kekerasan di tempat dia belajar. Kami mau menuntut guru itu,” katanya dengan napas memburu.
Kemarahannya beralasan. Yulita Lahingede (20), kakak Vanly, pernah bersekolah di SMP itu 9 tahun lalu. Suatu kali, ia pernah pulang dengan lengan memar karena dicubit CS. ”Saya pikir waktu itu anak saya salah, tetapi kali ini sudah keterlaluan,” katanya.
Yunli dan Johnny telah melaporkan CS ke Kepolisan Sektor Mapanget atas tuduhan kekerasan terhadap anak di sekolah. Di sela-sela kedukaan, seseorang yang mewakili anggota DPRD Sulut terpilih, Arthur Anthonius Kotambunan, mendatangi Yunli.
”Bapaknya Vanly, kan, pendukung Pak Arthur. Beliau bilang siap membantu proses pemakaman. Kami juga siapkan bantuan pengacara dari PDI-P,” kata wanita itu, lalu pamit.
Baca juga: Siswa Meninggal Saat Jalani Hukuman
Kepala Polsek Mapanget Ajun Komisaris Muhlis Suhani sedang menghadiri pemakaman Vanly saat dihubungi, Kamis siang. Penyidikan berjalan lambat. Penyebab kematian Vanly masih misteri karena hasil otopsi tak kunjung diumumkan.
”Mereka masih harus bawa sampel dari jenazah untuk diteliti. Ini beda dengan kasus Pasal 338 (pembunuhan) yang penyidikannya cepat. Jadi, mau tidak mau, kami harus menunggu,” katanya.
Dari keterangan Yunli, Vanly tak mengidap sakit apa pun. Selama 14 tahun hidup, ia hanya pernah demam parah sekali sampai harus dibawa ke puskesmas. Vanly juga tak memiliki penyakit asma sebagaimana dispekulasikan masyarakat. Vanly juga bukanlah anak yang suka aktivitas fisik, seperti sepak bola. Kesehariannya lebih banyak diisi main gim di ponsel.
Sementara itu, kata Muhlis, polisi sudah menginterogasi CS sebagai pihak yang diadukan. Pemeriksaan ini sempat tertunda karena setelah Vanly dinyatakan meninggal, CS syok hingga tekanan darahnya mencapai 230/130 mmHg. ”Tapi, saya belum tahu detail hasil pemeriksaan, nanti akan saya infokan,” kata Muhlis singkat.
Sementara itu, Kepala SMP Kristen 46 Mapanget Barat Selmi Ramber mengatakan, CS sangat berpengalaman. Selama bekerja bersama, tidak ada satu pun orangtua siswa yang mengeluhkan kekerasan yang dilakukan CS terhadap sang anak. Namun, Selmi menghormati proses hukum yang akan berlangsung terhadap CS.
Menurut Selmi, hukuman lari mengelilingi lapangan adalah hal wajar karena telah dilakukan bertahun-tahun. ”Saya yakin beliau (CS) tidak bermaksud membuat siswa meninggal. Ke depan, kami akan evaluasi diri, mencari hukuman yang lebih efektif,” katanya.
Ubah metode
Baru pekan lalu, para guru membagikan rapor tengah semester kepada para orangtua siswa. Selmi mengatakan, Vanly tak punya masalah di sekolah. Vanly terkenal sebagai sosok yang pendiam dan tidak nakal.
Yunli mengatakan hal yang sama. Vanly tak pernah jauh-jauh dari rumah. ”Paling cuma main HP di tetangga yang punya Wi-Fi. Paling jauh cuma pergi memancing tiap Minggu,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Manado Daglan Walangitan mengatakan, peningkatan kedisiplinan siswa adalah salah satu karakter yang ingin dibentuk sekolah. Namun, kejadian ini menjadi titik balik untuk evaluasi. ”Kami akan mencoba mencari pendekatan baru dalam pembinaan karakter,” katanya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mendorong para guru untuk membangun komunikasi yang setara dengan para siswa. Menurut dia, kesalahan adalah proses belajar yang wajar.
Justru anak-anak harus didengarkan dan dibantu menemukan jalan keluar dari masalahnya.
”Guru harusnya bisa membantu anak jadi disiplin secara positif, bukan langsung dihukum. Justru anak-anak harus didengarkan dan dibantu menemukan jalan keluar dari masalahnya,” kata Jasra.
Terlambat ke sekolah, kata Jasra, bisa berakar dari masalah kesibukan orangtua atau sarana transportasi. Bahkan, anak bisa malas ke sekolah kalau ternyata ia mengalami perundungan. Ini sering kali luput dari perhatian guru.
Baca juga: Tingkat Kekerasan Tinggi, Anak Belum Terlindungi
Jasra menambahkan, jika kesalahan yang sama terulang terus, ada hukuman lain yang lebih bermanfaat sekaligus memberikan efek jera selain lari keliling lapangan. Misalnya, merangkum satu bab di mata pelajaran. ”Guru jangan melupakan Pasal 9 UU (Nomor 35 Tahun 2014 tentang) Perlindungan Anak. Mereka harus dijauhkan dari kekerasan,” kata Jasra.
Kematian Vanly adalah cambukan besar bagi para guru. Akankah kita melihat perubahan metode peningkatan kedisiplinan di sekolah?