Noken, Penjaga Generasi Tangguh Bumi Papua
Noken lebih dari sekadar anyaman berbentuk tas khas bumi Papua. Dari sana terkandung beragam hal baik sebagai bekal berharga dari orang tua untuk generasi selanjutnya
Ayoi Bou Mem Nye A
Aibow Kumnia ...
Senandung dalam bahasa Suku Hatam, Papua Barat itu, berulang kali keluar dari mulut Siyana Wonggor (60) saat jemarinya mengayam serat kayu menjadi tas noken. Intinya, lagu itu menjadi ajakan bagi orang-orang di sekitarnya agar tetap rajin dan bekerja keras.
“Lagu ini sering dinyanyikan mama-mama saat membuat noken,” kata Siyana saat ditemui Kompas pada akhir Februari lalu di Distrik Minyambouw, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat.
Daerah ini berjarak sekitar 90 kilometer dari Manokwari, ibu kota Papua Barat. Memakan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil gardan ganda, kondisi geografisnya menantang. Naik turun curam, dengan kondisi jalan yang belum semuanya ideal.
Akan tetapi, semuanya tak membuat harapan hilang dari sana. Irama senandung itu sekali lagi menjadi energi bagi Siyana. Jemarinya lincah mengayam benang serat kayu bakal membuat noken. Polanya seperti jaring berbentuk segi delapan kecil-kecil.
"Dua minggu lagi baru selesai," kata Siyana bangga memperlihatkan karya setengah jadinya.
Noken adalah anyaman atau rajutan khas bumi Papua. Bahannya serat kulit kayu, daun pandan, atau batang anggrek. Serat-serat itu diproses lagi menjadi benang untuk kemudian dibentuk jadi beragam bentuk, meski paling umum dibuat tas dan baju. Butuh waktu 2-3 minggu ditemani kesabaran dan ketekunan untuk membuatnya tas noken, misalnya.
Hubungan noken dengan perempuan Papua sangat erat. Keberadaan noken telah lama mewujudkan peran mulia perempuan menopang hidup keluarga dan kehidupan. Dunia mengakuinya saat noken dinobatkan jadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO tahun 2012.
Bagi ratusan suku di Papua dan Papua Barat, kehadiran noken vital dalam upacara kelahiran anak, pengasuhan, membesarkan keturunan, pernikahan, pelantikan kepala suku, hingga menjadi simbol perdamaian antarsuku
Bagi ratusan suku di Papua dan Papua Barat, kehadiran noken vital dalam upacara kelahiran anak, pengasuhan, membesarkan keturunan, pernikahan, pelantikan kepala suku, hingga menjadi simbol perdamaian antarsuku.
Siang itu, Siyana tidak sendiri. Bertudung payung besar warna-warni guna menahan sengatan matahari, Siyana ditemani Novrentina (8), cucunya. Sesekali, Siyana mendekatkan hasil rajutan untuk dilihat Novrentina.
Novrentina menggelengkan kepala saat ditanya apakah sebelumnya sudah pernah membuat noken. Meski tak banyak bicara, pancaran mata Novrentina memperlihatkan minat besar untuk belajar pada neneknya.
Siyana adalah satu dari puluhan mama (perempuan yang sudah menikah) yang berkumpul di Desa Minyambouw, Distrik Minyambouw. Sebagian turun gunung meramaikan acara pengukuhan program “Mama Noken dan Noken Anak” yang digagas pemkab setempat.
Mereka datang dengan dandanan adat terbaik. Tubuh dibalut sarung warna warni. Kalung manik-manik merah dan kuning menjuntai di leher. Ragam hiasan di kepala mulai dari tanaman hutan hingga ekor cendrawasih ada di kepala. Sebagian menggoreskan arang dan kapur putih di wajahnya.
Di sana, mereka bersama-sama mempraktekkan pembuatan noken pada tamu yang datang. Salah satunya Yohana Susana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Menyambut tamu agung dengan tari tumbuk tanah, khas Arfak, hari itu mereka merayakan ketangguhan perempuan jadi jantung bagi tanah Papua.
Nilai luhur
Pemerhati budaya Papua Barat, yang juga anggota Asosiasi Budaya Lisan Indonesia Donna Sampaleng mengatakan, noken ikut menjaga keseimbangan rumah tangga. Perannya sebagai alat angkut hasil panen membuat perempuan tangguh membantu suami bekerja di kebun. Hasil panen seperti ubi dan sayur serta ragam hasil hutan biasanya dibawa mama menggunakan noken.
“Saat ternyata laku dijual, noken menjadi sumber penghasilan keluarga,” kata Donna yang ikut hadir di Minyambouw. Noken bahan alam bisa laku Rp 500.000-Rp 2 juta per buah bergantung ukuran.
Tidak hanya itu, noken membuat perempuan tak alpa merawat anggota keluarga meski dalam beragam keadaan. Di beberapa daerah, anak-anak digendong dalam noken saat ibunya bekerja. Konstruksinya lentur tapi kokoh, seperti rahim manusia.
“Saat anak-anak tak lepas dari mata ibu, beragam hal bisa tetap terjaga. Mulai dari terpenuhinya gizi ideal dan perhatian anak hingga terbukanya transfer beragam nilai baik antara ibu dan anak," katanya.
Baca Juga : Noken Memunculkan Pola Pengasuhan yang Ideal
Dalam Modul Pengembangan Muatan Lokal Noken yang dikeluarkan Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) disebutkan, di beberapa daerah, noken menjadi inisiasi orang Papua menuju sosok dewasa yang terampil, sabar, serta kreatif.
Noken menjadi simbol kedewasan bagi anak perempuan sebelum menikah dan syarat ikut musyawarah atau rapat adat untuk kaum lelaki. Noken adalah identitas bagi warga Papua.
Titus Pekei, penulis buku "Cermin Noken Papua : Perspektif Kearifan Mata Budaya Papuani" (2013), mengatakan noken menjadi pengikat batin yang erat anak dengan orangtua. Banyak noken sengaja dibuat ibu untuk anaknya, hal itu membuat noken kerap jadi obat rindu, terutama saat anak dan orang tua terpisah jarak dan waktu.
Dengan semua nilai kebaikan dan penuh kasih sayang itu, Menteri Yohana yakin, noken bisa menjadi komponen penting menekan kasus kekerasan, khususnya pada perempuan dan anak. Lewat noken, perempuan sebagai perwujudan ibu yang harus dimuliakan bukan disakiti. Bersama noken juga, orang tua akan selalu diingatkan untuk melindungi hidup anak-anak mereka.
“Semangat noken potensial memutus rantai kekerasan pada perempuan. Harapannya bisa jadi contoh, tidak hanya bagi warga Papua tapi juga di daerah lain," kata Yohana.
Semangat noken potensial memutus rantai kekerasan pada perempuan. Harapannya bisa jadi contoh, tidak hanya bagi warga Papua tapi juga di daerah lain
Akan tetapi, jalan menuju ke sana bukan tanpa tantangan. Di tengah peningkatan laporan kekerasan pada Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 348.466 kasus tahun 2018 menjadi 406.178 kasus setahun kemudian yang diduga dipicu meningkatnya kesadaran masyarakat, data kekerasan di Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara harus diperbaiki.
Komnas Perempuan menyebut ketiga daerah itu belum memiliki data tentang kekerasan terhadap perempuan yang bisa diakses nasional. Semangat noken diharapkan bisa meminimalkan potensi kekerasan itu tak bakal terwariskan dari generasi ke generasi.
Tantangan
Tantangan tidak hanya soal data. Eksistensi noken sebagai penjaga nilai juga tengah diuji. Penggunaan benang sintetis untuk membuat noken, menggantikan serat kayu, rentan menghilangkan proses pencarian dan pemintalan bahan alam. Regenerasi perajin noken juga butuh perhatian.
Marice Dowansiba (60) perajin asal Pegunungan Arfak, tidak dapat menyembunyikan kecemasan itu saat berdiskusi dengan ratusan mama di acara Mama Noken, Noken Anak. Sebagai perajin, karyanya tak diragukan. Suaranya lantang saat bercerita noken buatannya melanglangbuana ke berbagai daerah dan mancanegara. Namun, nada suaranya melemah saat bercerita minat generasi muda merajut noken.
"Noken harus tetap hidup meski kita tak ada lagi," kata Marice.
Mendengar itu, beberapa anak muda yang hadir dalam acara itu seperti tersengat. Salah satunya adalah Since Iwow (38). Dia mengakui tak mahir membuat noken. Namun, setelah mendengar banyak nilai noken, hatinya terusik. Jadi jantung kehidupan masyarakat Papua, ia tak ingin noken tenggelam akibat minim penerus.
“Saya tidak ingin noken berhenti di generasi saya, harus tetap hidup. Saya ingin belajar dan mengajarkannya lagi pada adik-adik yang lebih muda,” katanya.
Baca Juga : Berdaya Lewat Noken
Lewat tengah hari, matahari semakin garang di tanah lapang distrik Minyambouw. Namun, Siyana belum melipat payung warna warninya. Dia masih sibuk menjalin benang serat kayu bakal membuat noken.
Akan tetapi, kali ini, ia tak lagi ditemani cucunya. Novrentina sudah beralih ke punggung ibunya, tak jauh dari Siyana berada. Disana, bocah itu giliran melihat proses penyerutan guna menghilangkan getah pada batang pohon sebelum diambil seratnya.
Melihat minat besar cucunya itu, senyum Siyana mengembang. Dia percaya diri keturunannya tak bakal hilang arah saat tetap setia bersama noken. Bersama noken, ia bisa menjadi perempuan tangguh menghadapi hidup yang tak mudah. Pun dengan masa depan noken itu sendiri. Saat generasi muda masih membuatnya, ia tahu noken tak akan mati. Meski tak mudah, Siyana mengatakan, bermodal kerja keras, apa saja bisa dilakukan.
Seperti yakin semuanya masih baik-baik saja, jemari Siyana kembali merajut. Kembali bersenandung, ia kembali mengajak orang di sekitarnya bekerja keras demi masa depan noken bumi Papua tetap terjaga. Kali ini, iramanya terdengar lebih riang dan lantang.
Ayoi Bou Mem Nye A
Aibow Kumnia ...