Dibandingkan dengan daerah lain, DKI Jakarta sudah lebih unggul dalam pengangkutan sampah setiap hari. Namun, karena seluruhnya dibawa ke TPST Bantargebang, diperkirakan TPST di Bekasi ini bertahan tiga tahun lagi.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
Dibandingkan dengan daerah lain, DKI Jakarta sudah lebih unggul dalam pengangkutan sampah setiap hari. Namun, karena seluruhnya dibawa ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi, TPST ini diperkirakan hanya mampu bertahan kurang dari tiga tahun lagi. Pemilahan sampah sejak dari sumbernya jadi kunci memperpanjang usia TPST Bantargebang.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2015, secara rata-rata di Indonesia hanya 69 persen sampah terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sebanyak 10 persen sampah dikubur sehingga menimbulkan pencemaran tanah dan menurunkan kesuburan tanah, 5 persen dibakar sehingga menimbulkan gas karbon dioksida serta polusi udara, serta 8,5 persen tidak terurus sehingga ada yang masuk ke sungai dan laut, menyebabkan ancaman pada biota. Adapun sampah yang dijadikan kompos atau didaur ulang cuma 7,5 persen.
Pendiri Greeneration Indonesia, M Bijaksana Junerosano, menuturkan, Jakarta termasuk unggul dibandingkan dengan kota-kota lain. Jakarta mampu mengangkut lebih dari 90 persen sampah di wilayahnya setiap hari, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Tempat pembuangan akhir sampah, yaitu TPST Bantargebang, juga dikelola dengan cukup ideal oleh Pemerintah Provinsi DKI.
Sayangnya, ”Kalau untuk pemilahan, masih belum,” ujarnya di sela-sela Seminar ”Smart Cities for All: The Foundation for Sustainable Business”, Rabu (2/10/2019), di Jakarta. Seminar diselenggarakan Kedutaan Besar Swedia untuk Indonesia, bekerja sama dengan Business Sweden dan Most Valued Business.
Penduduk Jakarta memproduksi sekitar 7.500 ton sampah per hari, dengan 1.900-2.000 ton di antaranya merupakan sampah plastik. Seluruh sampah itu diangkut ke TPST Bantargebang sehingga TPST ini diperkirakan bakal tutup pada 2021 karena kemampuan pengelolaan sampah tidak sebanding dengan volume sampah yang terus menumpuk.
Sano, panggilan Junerosano, mengatakan, layanan pengelolaan sampah di kota-kota Indonesia, termasuk di Jakarta, belum memastikan sampah terpilah dan diproses sesuai dengan jenisnya agar volume sampah yang mencapai TPA minim.
Data Badan Pusat Statistik 2014, sebanyak 81 persen sampah di Indonesia tidak dipilah. Sampah yang dipilah kemudian didaur ulang atau digunakan kembali hanya 9 persen. Adapun 10 persen sampah sudah dipilah, tetapi ironisnya tercampur lagi saat pengangkutan.
Data Badan Pusat Statistik 2014, sebanyak 81 persen sampah di Indonesia tidak dipilah. Sampah yang dipilah kemudian didaur ulang atau digunakan kembali hanya 9 persen. Adapun 10 persen sampah sudah dipilah, tetapi ironisnya tercampur lagi saat pengangkutan.
Karena itu, Sano mendorong DKI menegakkan pemilahan serta menjalankan pemrosesan sampah sebelum mencapai TPST Bantargebang. Pemrosesan disesuaikan dengan jenis, antara lain daur ulang pada sampah anorganik yang bernilai, seperti plastik, kertas, kaca, dan logam; pengomposan untuk sampah organik; dan pengolahan sampah untuk menghasilkan energi listrik bagi sampah yang tidak bisa digunakan lagi, misalnya popok dan pembalut.
Namun, pengoperasian dan pemeliharaan rutin fasilitas pemrosesan sampah butuh biaya besar. Sano menyebutkan, retribusi sampah di Indonesia saat ini rata-rata Rp 25.000 per rumah tangga per bulan. ”Itu baru 25 persen-35 persen dari yang seharusnya,” ujarnya.
Ia merekomendasikan agar DKI juga menarik retribusi dari warga sesuai dengan besaran ideal. Namun, agar tidak membebani warga kurang mampu, mekanisme iuran yang berkeadilan mesti diterapkan, bisa meniru konsep pembedaan tarif dasar listrik bagi warga mampu dan kurang mampu.
Selain itu, Sano mendorong penetapan besaran retribusi berdasarkan volume sampah, bukan pada luas-sempitnya rumah warga Jakarta. ”Menghasilkan sampah banyak, bayar lebih mahal. Nyampah sedikit, bayar lebih murah,” katanya.
Pembayaran berdasarkan volume akan mendorong warga memilah sampah sejak dari rumah. Jika mereka tidak membuang sampah organik dan mengomposkannya, mereka bisa mengurangi 50-60 persen sampah yang diangkut petugas kebersihan sehingga menekan biaya iuran. Jika mereka menyimpan sampah anorganik berharga kemudian menjualnya semisal ke bank sampah, mereka bisa mendapatkan keuntungan sekaligus mengurangi volume sampah hingga sekitar 25 persen. Beban TPST Bantargebang juga akan makin ringan.
Oswar Mungkasa, Deputi Gubernur DKI Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, menjelaskan, sampah merupakan salah satu tekanan bagi Jakarta dan menjadi tantangan mewujudkan kota berketahanan. Tekanan lainnya, yakni kemacetan lalu lintas, polusi udara, sanitasi dan drainase yang buruk, akses air bersih, penurunan tanah, dan perubahan iklim.
Untuk bisa mengatasi tekanan-tekanan itu, Pemprov DKI membuka diri pada kolaborasi dengan berbagai pihak.
Sementara itu, salah satu perusahaan busana asal Swedia, H&M (Hennes & Mauritz), menyatakan komitmen pada bisnis berkelanjutan dan punya target menjadi 100 persen climate positive (produk-produknya mengurangi gas rumah kaca lebih banyak dibanding saat produk diproduksi) pada 2040.
Country Manager Production Indonesia H&M Jessica Wilhelmsson menuturkan, pihaknya menggunakan pendekatan circularity. ”Itu dimulai dari bagaimana kami merancang busana, pilihan material saat membuat produk, proses produksinya, serta penggunaan kembali atau daur ulang produk,” ujarnya.
Country Manager Production Indonesia H&M Jessica Wilhelmsson menuturkan, pihaknya menggunakan pendekatan circularity. ”Itu dimulai dari bagaimana kami merancang busana, pilihan material saat membuat produk, proses produksinya, serta penggunaan kembali atau daur ulang produk,” ujarnya.
Saat proses perancangan, H&M mendesain dengan visualisasi tiga dimensi sehingga tidak perlu menghasilkan sampah seperti saat membuat purwarupa fisik. Untuk produksi, perusahaan itu mengeksplorasi bahan-bahan daur ulang seperti nylon daur ulang dari jaring ikan dan polyester daur ulang dari botol plastik.
H&M juga menginisiasi program pengumpulan pakaian bekas pakai sejak 2013. Lebih dari 57.000 ton pakaian sudah terkumpul untuk didaur ulang menjadi beragam produk yang bisa dijual lagi.