Pertumbuhan utang luar negeri mesti dikendalikan seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Risiko membayangi kemampuan pembayaran utang karena kinerja keuangan dan pendapatan yang lesu.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan utang luar negeri mesti dikendalikan seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Risiko membayangi kemampuan pembayaran utang karena kinerja keuangan dan pendapatan yang lesu.
Peringatan terhadap risiko utang luar negeri Indonesia disampaikan sejumlah lembaga internasional, seperti Moody’s Investor Service, Fitch, dan Bank Dunia. Di negara-negara berkembang, beban utang luar negeri akan meningkat karena kondisi ekonomi makro yang memburuk.
Berdasarkan laporan statistik Bank Dunia, utang luar negeri Indonesia melonjak lebih dari dua kali lipat sepanjang 2008-2018. Utang luar negeri naik dari 157,916 miliar dollar AS pada 2008 menjadi 369,840 miliar dollar AS tahun 2018. Sekitar 85 persen utang luar negeri berjangka panjang.
Indonesia memiliki rasio utang terhadap pendapatan nasional bruto (gross domestic income/GNI) sebesar 37 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan China (14 persen), India (19 persen), Thailand (35 persen), dan Brasil (30 persen). Semakin tinggi rasio utang terhadap GNI berarti beban utang luar negeri lebih berat.
Ekonom Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan kemampuan pemerintah dan korporasi dalam membayar utang. Untuk itu, pertumbuhan utang luar negeri Indonesia mesti dikendalikan agar rasio utang terhadap GNI menurun dan risiko gagal bayar utang terhindari.
“Jika rasio utang terhadap GNI terus naik, sementara pertumbuhan ekonomi di bawah ekspektasi, akan berbahaya. Profil risiko meningkat,” kata Prasetyantoko yang dihubungi di Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Menurut Prasetyantoko, pertumbuhan utang luar negeri bukan masalah sepanjang prospek perekonomian sesuai ekspektasi. Indonesia harus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen untuk memperkecil risiko utang luar negeri. Jika tidak, target penerbitan utang luar negeri harus dikurangi untuk menyesuaikan dengan prospek perekonomian yang turun.
Ditilik dari kelompok peminjam, utang luar negeri korporasi mesti diwaspadai. Tekanan ekonomi global akan berdampak signifikan terhadap pendapatan industri manufaktur dan komoditas. Kinerja keuangan korporasi harus dipantau berkala untuk mengantisipasi risiko gagal bayar utang.
“Neraca perusahaan yang berisiko harus dimitigasi agar tidak menciptakan dampak rembetan ke sektor lain, terutama sektor perbankan dan keuangan,” kata Prasetyantoko.
Menurut laporan yang dilansir Moodys Investor Service, dari 13 negara di kawasan Asia Pasifik, Indonesia dan India memiliki risiko gagal bayar utang tertinggi. Sekitar 53 persen utang korporasi di Indonesia memiliki rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di atas 4, yang berarti beban utang semakin berat.
Neraca pembayaran
Dihubungi terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengatakan, utang luar negeri yang tinggi dibarengi dengan defisit transaksi berjalan akan menimbulkan risiko terhadap neraca pembayaran Indonesia. Beban neraca pembayaran berat karena didominasi arus modal portofolio.
“Risiko semakin berat manakala sebagian besar utang biaya tinggi. Bunga utang yang harus dibayar pemerintah dan korporasi cukup besar sehingga perlu berhati-hati,” kata Yose.
Utang luar negeri yang tinggi dibarengi dengan defisit transaksi berjalan akan menimbulkan risiko terhadap neraca pembayaran Indonesia
Selama ini pemerintah dan korporasi menawarkan tingkat kupon atau bunga relatif tinggi berkisar 5-6 persen per tahun. Mayoritas utang luar negeri berjangka panjang dengan tingkat bunga tinggi, yaitu obligasi berdenominasi dollar AS. Bahkan, tingkat bunga bisa di atas 7,7 persen untuk obligasi yang diterbitkan saat krisis ekonomi tahun 2008.
Menurut Yose, beban utang luar negeri bisa dikurangi dengan menurunkan tingkat bunga. Di era suku bunga rendah, pemerintah dan korporasi sebaiknya menurunkan tingkat bunga obligasi. Risiko ekonomi domestik juga harus diperbaiki melalui reformasi struktural yang konsisten dan berkelanjutan.
”Jika risiko ekonomi semakin kecil, bunga obligasi akan turun. Stabilitas makro ekonomi dan reformasi struktural jadi kunci,” kata Yose.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjamin gagal bayar utang tidak akan terjadi. Utang dikelola hati-hati, apalagi saat ini kondisi perekonomian global dan domestik cukup menantang. Penarikan utang luar negeri juga digunakan untuk kegiatan produktif.
Strategi pengelolaan utang yang hati-hati ditempuh dengan menjaga defisit APBN 2019 dan 2020 di bawah 2 persen produk domestik bruto (PDB). Pertumbuhan utang baru juga terus ditekan agar tidak membebani fiskal. Selain itu, basis investor domestik diperluas untuk memperkecil risiko tekanan global.
Luky menambahkan, pemerintah juga mengantisipasi risiko gagal bayar utang korporasi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan pendapatan korporasi yang berimbas terhadap kemampuan pembayaran utang. Untuk itu, kinerja keuangan korporasi akan dipantau secara berkala.
”Risiko gagal bayar juga dicegah melalui transaksi lindung nilai atau hedging di Bank Indonesia,” kata Luky.