Nilai Ekonomi, Sejarah, dan Budaya dalam Garam Amed Bali
Setelah tercatat sebagai produk indikasi geografis, pemasaran garam Amed dari Karangasem, Bali, terus ditingkatkan. Salah satunya melalui penyelenggaraan Festival Garam Amed di Banjar Dinas Lebah, Desa Purwakerthi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
KARANGASEM, KOMPAS – Setelah tercatat sebagai produk indikasi geografis, garam Amed dari Karangasem, Bali, terus ditingkatkan pemasarannya. Salah satunya melalui penyelenggaraan Festival Garam Amed di Banjar Dinas Lebah, Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, mulai Kamis (3/10/2019). Produk lokal tersebut diharapkan juga menjadi aset pariwisata.
Festival Garam Amed yang dirangkai dengan peresmian Amed Salt Center sebagi pusat promosi dan penjualan garam Amed di Desa Purwakerthi dibuka Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri, Kamis. Adapun festival dijadwalkan berlangsung hingga Sabtu (19/10) dengan sejumlah kegiatan, di antaranya, paket wisata panen garam, demonstrasi memasak dengan menggunakan garam Amed, pameran foto, dan penjualan garam Amed.
Festival Garam Amed diselenggarakan MPIG Garam Amed Bali bersama mitra mereka, Sahabat Cipta, dengan dukungan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) dan pemerintah daerah. Perbekel (Kepala) Desa Purwakerthi I Nengah Karyawan mengatakan, dalam perjalanannya, garam Amed mengalami pasang dan surut.
Produksi garam di Desa Purwakerthi sempat merosot karena berkurangnya lahan produksi garam dan jumlah petani garam sejalan dengan pengembangan kawasan sebagai daerah pariwisata.
“Namun, sejak garam Amed dikenal hingga luar negeri lalu mendapatkan sertifikasi IG (Indikasi Geografis) dan harganya membaik, warga mulai kembali memproduksi garam meskipun terkendala lahan yang sudah berkurang,” kata I Nengah Karyawan.
Menurut dia, kendati garam Amed sudah semakin dikenal sebagai garam produksi lokal dengan kekhasan rasa asin tanpa rasa pahit dan memiliki rasa gurih dan kering, pemasarannya belum maksimal. Di sisi lain, produksi garam juga tidak optimal karena berkurangnya luasan lahan tambak. Karyawan menyebutkan, produksi garam Amed di Desa Purwakerthi setiap masa panen mencapai 15 ton per tiga bulan.
Direktur Eksekutif Sahabat Cipta Dollaris Riauaty Suhadi menyatakan, pemasaran garam Amed sebagai produk spesial premium Bali masih belum luas. Untuk itu, perlu upaya bersama dari para pemangku kepentingan terkait untuk mengangkat dan mengenalkan produk itu ke konsumen.
“Sebagai mitra MPIG Garam Amed Bali, Sahabat Cipta berupaya mengangkat pemasaran melalui berbagai cara, baik pemasaran garam curah maupun pemasaran secara ritel,” kata Riauaty.
Petani penggarap, Nyoman Lebur mengakui, pendapatannya sebagai petani penggarap tambak garam semakin membaik seiring peningkatan harga garam Amed dan dikenalnya garam Amed sebagai garam spesial dari Karangasem. “Harga beli di koperasi saat ini berkisar Rp 125.000 sampai Rp 150.000 per dua bakul (lebih kurang 10 kilogram). Sebagai penyakap (petani penggarap), saya mendapatkan setengah bagian dari hasil panen,” ujarnya.
Lebur mengungkapkan, jumlah petani garam di Desa Purwakerthi saat ini mulai bertambah. Dari sebelumnya hanya tersisa belasan orang, kini menjadi sekitar 30 orang. Sebelumnya, petani garam di desa tersebut pernah mencapai 100-an orang.
“Dahulu, lahan garam masih banyak di pinggir pantai (Jemeluk) ini. Tapi sudah banyak lahan yang dijual untuk dijadikan hotel atau restoran,” ujar Lebur.
Ketua DPRD Kabupaten Karangasem I Gede Dana mengatakan, garam Amed di Karangasem perlu dilindungi dan dijaga karena bernilai ekonomi, sejarah, dan budaya. “Pariwisata yang berkembang di kawasan Amed ini mesti disinergikan dengan tradisi pembuatan membuat garam tradisional,” kata dia.
Dana menambahkan, petani garam setempat yang bersentuhan dengan pariwisata juga perlu menjaga kebersihan dan ketertiban agar pembuatan garam Amed yang sudah dikenal tetap menarik dan dapat menjadi atraksi wisata.
Bupati Karangasem Mas Sumatri menyatakan, Pemerintah Kabupaten Karangasem mendorong produksi garam tradisional tetap berlanjut. Untuk itu, pemerintah menghidupkan kembali sentra-sentra produksi garam di Karangasem yang berada di wilayah pesisir.
“Potensi usaha garam tradisional di Karangasem terbentang sepanjang 78 kilometer, mulai dari Yeh Malet sampai Seraya,” kata Mas Sumatri dalam pembukaan festival.
Dukungan untuk melestarikan dan menjaga keberadaan sentra garam di Purwakerthi, Karangasem, juga disampaikan Wakil Pemimpin Bank BRI Kantor Wilayah Denpasar Suwarya. Dia menyatakan, keunikan dan kekhasan garam Amed sudah dikenal hingga luar negeri. BRI memperhatikan pengembangan usaha mikro dan kecil di daerah, salah satunya melalui kerja sama mengenalkan produk lokal berkualitas termasuk garam Amed dan menyiapkan sistem pembayaran LinkAja di Amed Salt Center.