Unjuk Rasa Tanggung Jawab Bersama
Sebagai bagian integral dari sistem demokrasi, demonstrasi dijamin dalam UUD 1945. Namun, untuk mengurangi dampak negatif dalam masyarakat akibat demonstrasi, Negara mengatur hak dan jaminan pelaksanaan unjuk rasa melalui undang- undang. Harapannya, agar demonstrasi tidak berujung kekerasan dan anarki.
Hari-hari belakangan ini gelombang demonstrasi atau unjuk rasa terjadi di beberapa kota di Indonesia. Unjuk rasa yang digelar mahasiswa dan kelompok masyarakat ramai sejak penghujung bulan September.
Demonstrasi dipicu oleh pengesahan sejumlah rancangan undang-undang oleh DPR yang dari sisi konten maupun waktu perundangannya dinilai kontroversial. Beberapa RUU dikebut pembahasan dan pengesahannya di ujung masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019.
Rancangan Undang-undang yang disorot adalah RUU Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada pula pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Poin-poin yang dirubah dikhawatirkan menyandera kewenangan utama KPK.
Inilah yang memicu aksi mahasiswa, pelajar, kelompok buruh, dan masyarakat sipil untuk menolak dengan melakukan unjuk rasa. Unjuk rasa para mahasiswa di Jakarta dan sejumlah kota diwarnai dengan kekerasan, aksi dorong mendorong hingga tebaran gas air mata yang dilepaskan aparat keamanan. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua orang meninggal dunia.
Hak dan Kewajiban
Unjuk rasa merupakan kegiatan mengekspresikan pikiran secara lisan, tulisan, dan ragam cara lainnya di muka umum. Demontrasi dapat dilakukan oleh satu orang hingga ribuan peserta.
Dalam lingkup internasional, unjuk rasa dijamin dalam Pasal 19 Deklarasi Universal HAM. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.”
Dalam lingkup nasional, unjuk rasa merupakan salah satu cara yang diberi ruang dalam pasal 28 UUD 1945. Pasal itu berbunyi: "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang".
Ini berarti, unjuk rasa diakui secara internasional dan nasional sebagai bentuk penyampaian buah pikiran atau aspirasi yang sah. Boleh juga dimaknai bahwa demonstrasi merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Rambu-rambu demonstrasi di Indonesia lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pada Bab III diatur tentang hak dan kewajiban dalam melaksanakan demonstrasi.
Hak dan kewajiban mengikat dua pihak, yakni warga (perseorangan) atau masyarakat (berkelompok) dan pihak aparatur pemerintah. Masyarakat berhak menyampaikan pendapat secara bebas dan mendapat perlindungan hukum.
Kewajiban peserta demonstrasi antara lain menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan dan norma umum, menaati hukum, menjaga ketertiban umum serta menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Pihak kedua, yakni aparatur pemerintah berkewajiban melindungi hak asasi manusia, menghargai legalitas, mengedepankan praduga tak bersalah, serta menyelenggarakan pengamanan. Soal menjaga keamanan dan ketertiban juga menjadi kewajiban seluruh peserta unjuk rasa.
Larangan
Peraturan yang berbentuk undang-undang tentang demonstrasi hingga saat ini hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Undang-undang ini disahkan di era pemerintahan Presiden BJ Habibie pada 26 Oktober 1998. Selanjutnya, perundangan ini memiliki turunan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2008.
Kepolisian merupakan pihak yang ditunjuk dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 sebagai aparatur negara yang mengawal kelancaran dan ketertiban pelaksanaan unjuk rasa.
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2008 diatur tentang prosedur perizinan dan persiapan gelaran unjuk rasa, pengamanan saat unjuk rasa, serta tindakan pengamanan apabila demonstrasi berubah menjadi kegiatan kekerasan dan pengerusakan.
Sebagai turunan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2008 mengatur tentang rincian hal-hal teknis dalam pelaksanaan unjuk rasa. Ketentuan tentang larangan tempat dan waktu unjuk rasa selaras antara dua aturan tersebut.
Unjuk rasa tidak diperbolehkan bertepatan dengan hari besar nasional serta hari peringatan keagamaan. Lokasi yang dilarang antara lain di istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara dan laut, stasiun kereta, terminal angkutan darat, dan objek vital nasional.
Unjuk rasa dapat berlangsung lancar apabila dua belah pihak, peserta demonstrasi dan aparat negara, melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai ketentuan. Sebaliknya, apabila unjuk rasa berujung kacau, artinya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban susai dengan aturan yang ada.
Lewat Batas waktu
Salah satu simpul konflik yang kerap terjadi adalah belum bubarnya demonstran pada batas waktu yang ditetapkan. Merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2008 Pasal 6 poin kedua, demonstrasi diizinkan pada pukul 06.00 hingga 18.00 jika aksi digelar di luar ruang. Apabila demonstrasi digelar dalam ruang tertutup, maka batas akhir pada pukul 22.00 waktu setempat.
Aparat negara, dalam hal ini kepolisian, dapat dibantu oleh TNI, bertanggung jawab dalam menjamin kelancaran demonstrasi sekaligus keamanan lingkungan dan warga di sekitar lokasi unjuk rasa. Aparat kepolisian akan melakukan pembubaran massa unjuk rasa apabila batas waktu pukul 18.00 terlampaui.
Dalam membubarkan massa tidak dilakukan secara sembarangan. Terdapat prosedur yang gradual atau berjenjang dalam pembubaran peserta unjuk rasa. Pengunjuk rasa yang tidak bubar pada batas waktu maksimal sudah masuk dalam kategori melanggar hukum.
Pada Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2008 Pasal 14 nomor tiga dijabarkan opsi tindakan aparat keamanan dalam menangani pengunjuk rasa yang melanggar aturan.
Tahap awal dilakukan upaya persuasif. Dilakukan dialog antara petugas keamanan dengan demonstran supaya menghentikan tindakan melanggar hukum atau segera membubarkan diri.
Apabila dialog gagal, aparat kepolisian melayangkan peringatan kepada pelanggar hukum atau pada koordinator pengunjuk rasa. Dua langkah tersebut masih dalam gradasi ringan, yakni dengan cara verbal.
Jika masih tidak berhasil, maka aparat keamanan melakukan pembubaran massa. Pembubaran massa dilakukan jika kondisi demonstrasi tidak kondusif. Massa melakukan tindak kekerasan atau menolak untuk membubarkan diri dan tidak ada kata sepakat antara dua belah pihak.
Metode pembubaran massa yang lazim dilakukan adalah dengan menggunakan gas air mata ke arah demonstran. Langkah ini dibarengi dengan menggiring dan memperluas parimeter penjagaan supaya konsentrasi massa terpecah dan menjauh dati lokasi unjuk rasa.
Pembubaran massa merupakan model penanganan unjuk rasa pada tahap represif. Aparat keamanan diperbolehkan melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dinilai memicu dan melakukan kerusuhan.
Walau aparat keamanan diperbolehkan menangkap pengunjuk rasa yang berbuat onar, namun dilarang melakukan tindakan kekerasan. Pada Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 9 Tahun 2008 juga diatur tentang standar penindakan pelaku pada Paragraf 4.
Aparat keamanan dilarang menganiaya, melecehkan, dan memukul pelaku yang ditangkap. Penangkapan dilakukan lebih untuk melakukan pembinaan dan interograsi kepada pelaku tindak kekerasan di massa unjuk rasa.
Dialog
Sejatinya aksi unjuk rasa merupakan sarana komunikasi atau sarana menyampaikan aspirasi dan tuntutan dengan disertai hadirnya orang banyak atau massa yang mendukung aspirasi dan tuntutan itu.
Cara dengan menghadirkan massa ditempuh untuk membuat aspirasinya diperhatikan secara efektif. Karenanya, unjuk rasa dimaknai sebagai manifestasi kebebasan berpendapat seperti yang dijamin dan diamanatkan dalam Pasal 28 UUD 1945, yang memberikan pesan utamanya kepada pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat.
Pesan itu ialah hadirnya sikap tanggap untuk memahami apa yang menjadi persoalan masyarakat. Kuncinya adalah kesediaan untuk melakukan dialog dan komunikasi mengenail persoalan dan aspirasi masyarakat. Sesudah itu, tentu saja mengambil jalan keluar menyelesaikan masalah.
Semangat dan prinsip menyampaikan pendapat di muka umum merupakan wujud demokrasi dalam tatanan kehidupan berbangsa. Namun, hak menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semua pihak, baik itu pengunjuk rasa, aparat kemanan, dan pemerintah/lembaga perwakilan harus dapat menempatkan unjuk rasa dalam kerangka membantu menyelesaikan persoalan bangsa, dengan menghindari cara-cara destruktif untuk merawat kualitas demokrasi Indonesia. (LITBANG KOMPAS)