Peristiwa serangan pesawat tanpa awak dan rudal jelajah oleh kaukus Iran atas kilang minyak Aramco di Aqbaiq dan Khurais, Arab Saudi, pada 14 September 2019, menyingkap masih lemahnya sistem pertahanan anti-serangan udara milik Amerika Serikat di Timur Tengah.
Seharusnya pangkalan udara militer AS di Al-Udeid, Qatar— pangkalan udara militer AS terbesar di Timur Tengah saat ini—merupakan penanggung jawab utama dalam mendeteksi dan kemudian mencegat serangan udara atau rudal balistik atas sasaran AS dan negara-negara sekutunya di kawasan Teluk Persia.
Di pangkalan udara Al-Udeid itu terdapat sekitar 11.000 personel pasukan AS dan lebih dari 100 pesawat tempur AS dalam berbagai jenis, di antaranya pesawat tempur multifungsi F-15, F-16, dan pesawat peringatan dini AWACS, serta pesawat nirawak MQ-1 Predator dan MQ-9 Reaper yang terbang tanpa henti di teritorial udara Irak, Suriah, dan kawasan Teluk Persia.
Dinilai gagal
Setelah insiden serangan ke Aqbaiq dan Khurais pada 14 September lalu, kini pangkalan udara Al-Udeid menjadi sorotan utama. Pangkalan militer AS ini dinilai gagal mendeteksi dan mencegat serangkaian serangan pesawat nirawak dan rudal jelajah oleh kaukus Iran atas kilang minyak Aramco itu.
AS pun mengakui adanya kelemahan dalam sistem pertahanan anti-serangan udaranya di Timur Tengah tersebut. Deputi Panglima Angkatan Udara AS untuk Wilayah Tengah Mayor Jenderal Chance Saltzman, yang bertanggung jawab untuk kawasan Timur Tengah, seperti dikutip harian Asharq al-Awsat, mengatakan, AS seharusnya bisa mendeteksi segala sesuatu yang terbang di udara di kawasan ini dan mengeluarkan peringatan sebelum ancaman datang.
Ia menegaskan, jika AS mampu mendeteksi semua yang bergerak di udara, niscaya AS akan menghadang. Namun, diakui juga bahwa teritorial udara sangat luas sehingga tidak mungkin semua bisa dideteksi.
Saltzman mengungkapkan, AS sekarang melakukan evaluasi dan membagi sistem tugas agar mampu mengontrol dan mendeteksi semua yang bergerak di udara di wilayah lebih luas lagi.
Dalam konteks untuk segera mengatasi kelemahan sistem anti-serangan udara milik AS itu, majalah sains dan teknologi AS, Popular Mechanics, yang dikutip situs televisi Al Arabiya, Rabu (2/10/2019), memberitakan bahwa Kementerian Pertahanan AS membeli sistem anti-serangan pesawat nirawak, PHASER, dari perusahaan Raytheon seharga 16 juta dollar AS (sekitar Rp 227 miliar) per buah.
PHASER memiliki berat 25 kilogram dan bisa terbang hanya di atas 1.200 kaki (365 meter) hingga 3.500 kaki (1.066 meter) serta menggunakan microwave weapon system. Sistem anti-serangan itu untuk mencegat dan menjatuhkan pesawat nirawak yang terbang rendah.
Radar baru
Sebelumnya, Minggu (29/9/2019), Angkatan Udara AS juga melakukan uji coba sistem radar barunya di pangkalan udara Shaw, South Carolina, AS. Uji coba ini dilakukan setelah sistem radar di pangkalan udara Al-Udeid gagal mendeteksi serangan pesawat tanpa awak dan rudal jelajah kaukus Iran atas kilang minyak Aramco di Abqaiq dan Khurais, 14 September.
Menurut Saltzman, sistem radar baru yang sedang diuji coba di pangkalan udara Shaw itu akan ditempatkan di pangkalan udara Al-Udeid untuk menangkal serangan pesawat nirawak atau rudal jelajah yang terbang rendah.
Saltzman mengatakan, Angkatan Udara AS untuk operasi wilayah Tengah terus berusaha menggunakan teknologi paling mutakhir dalam sektor transportasi, performa, pelaksanaan manajemen, dan proses pemantauan operasi udara di pangkalan udara Al-Udeid.
AS pada Kamis (26/9/2019) juga mengumumkan akan mengirim 200 anggota pasukan dan empat sistem radar serta sistem anti-serangan udara Patriot model terbaru ke Arab Saudi. Personel tentara dan perlengkapan militer
akan memperkuat pertahanan Arab Saudi dari ancaman serangan pesawat nirawak dan rudal jelajah yang terbang rendah.
Seperti telah diwartakan, kaukus Iran menggunakan 18 pesawat nirawak dan tujuh rudal jelajah yang terbang rendah untuk menghindari deteksi radar AS ataupun Arab Saudi dalam serangan atas kilang minyak Aramco itu. Kaukus Iran juga menghindari melancarkan serangan dari arah laut Teluk Persia karena diduga bisa dideteksi sistem radar AS yang saat ini diarahkan secara masif ke area laut Teluk Persia, khususnya Selat Hormuz.
Peristiwa serangan kaukus Iran atas kilang minyak Aramco tersebut menunjukkan bahwa AS telah mengetahui kelemahan sistem radar dan anti-serangan udara milik AS dan Arab Saudi di Teluk Persia.