Benahi Pengelolaan Urbanisasi
Indonesia dinilai masih tertinggal dalam mengelola urbanisasi dan belum dapat manfaat darinya. Padahal, urbanisasi berpotensi mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih tertinggal dalam mengelola urbanisasi dan belum dapat manfaat darinya. Padahal, urbanisasi berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selama kurun tahun 1996-2016, menurut Bank Dunia, setiap 1 persen peningkatan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia hanya mampu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) per kapita 1,4 persen. Sementara di Asia Timur dan Pasifik, 1 persen urbanisasi bisa meningkatkan PDB per kapita 2,7 persen.
Saat ini, sekitar 151 juta penduduk Indonesia atau sekitar 56 persen dari total penduduk tinggal di perkotaan. Pada tahun 2045, penduduk yang tinggal di perkotaan diperkirakan meningkat jadi 220 juta jiwa.
”Ketimpangan kesejahteraan juga tergolong masih besar antara kawasan perkotaan dan perdesaan karena penduduk yang tetap tinggal di perdesaan cenderung belum mendapatkan manfaat urbanisasi,” kata Sameh Wahba, Global Director for Urban and Territorial Development Disaster Risk Management and Resilience Bank Dunia, di Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Bank Dunia dalam laporan bertajuk ”Waktunya ACT untuk Mewujudkan Potensi Perkotaan Indonesia” menyebutkan, ada tiga prinsip dasar kebijakan yang disarankan untuk melipatgandakan manfaat urbanisasi, yakni ACT. ACT meliputi pemerataan akses ke pelayanan dasar berkualitas tinggi di semua wilayah; peningkatan konektivitas antarwilayah dan antara masyarakat dan lapangan kerja, kesempatan, dan pelayanan; serta target untuk mengatasi kesenjangan antardaerah dan antarkelompok masyarakat.
Ekonom senior Bank Dunia Mark Roberts menyatakan, apabila dikelola lebih baik, urbanisasi dapat memperluas kesempatan untuk semua masyarakat, baik di kota maupun di desa. Sebaliknya, urbanisasi dapat memperparah kesenjangan kesempatan dari generasi ke generasi.
Periode 25 tahun ke depan menjadi masa penentuan bagi Indonesia untuk memenuhi janji urbanisasi, yaitu perkotaan yang sejahtera, inklusif, dan layak huni. Inklusivitas urbanisasi bergantung pada konektivitas antarwilayah.
Kebijakan inklusif
Laporan Bank Dunia secara tersirat menyoroti urbanisasi Indonesia yang terfokus di Jakarta. Pemerintah mesti membidik daerah-daerah tertinggal dan kelompok marjinal melalui kebijakan ekonomi yang inklusif. Perencanaan urbanisasi penting karena sekitar 70 persen penduduk diperkirakan tinggal di perkotaan pada 2045.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah menyiapkan anggaran untuk mempersiapkan urbanisasi. Dalam APBN, perluasan cakupan kualitas pelayanan dasar dialokasikan dalam anggaran pendidikan, kesehatan, program perlindungan sosial, serta subsidi energi dan nonenergi.
Terkait konektivitas wilayah, perencanaan urbanisasi didukung peningkatan anggaran infrastruktur dan transfer dana ke pusat dan daerah (TKDD). Pada 2020, misalnya, anggaran infrastruktur Rp 423,3 triliun, sementara TKDD Rp 856,9 triliun. Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk asuransi bencana dan aset negara.
Menurut Sri Mulyani, pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan jadi kebijakan pemerintah paling strategis untuk pemerataan ekonomi. Urbanisasi yang selama ini terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa akan dialihkan ke bagian timur Indonesia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengemukakan, urbanisasi di ibu kota baru nantinya berlangsung dari daerah yang sedikit penghuninya menjadi kota dengan kepadatan tertentu.
Untuk itu, seluruh jenis infrastruktur di ibu kota baru harus menjadi referensi kota-kota lain, antara lain air langsung bisa diminum, jaringan gas ke setiap rumah tangga, saluran pembuangan langsung ke pengelolaan air limbah, dan transportasi publik berbasis rel.
Daya dukung ibu kota baru untuk tahap awal didesain untuk 1,5 juta penduduk di kawasan 40.000 hektar. Selanjutnya, wilayah akan diperluas dengan daya dukung yang meningkat hingga dua kali lipat. ”Pengembangan kota baru ini harus terkendali. Kotanya inklusif, tetapi pertumbuhan tetap terkendali agar tidak melebar,” katanya.
Pengendalian kota akan dilakukan lewat sistem zonasi, yakni kegiatan dibatasi hanya untuk sektor pemerintahan, pendidikan, dan pengembangan riset.
Redefinisi metropolitan
Bambang Brodjonegoro menambahkan, pihaknya berencana menggulirkan redefinisi kota metropolitan mulai tahun 2020, bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri. Redefinisi itu antara lain melihat seberapa jauh kota inti berhubungan dengan sekelilingnya.
Ada beberapa kepentingan bersama yang seharusnya dikerjakan melalui koordinasi antardaerah. Tiga kepentingan utama yang diprioritaskan dikelola secara terintegrasi, yakni transportasi publik, air, dan sampah. Pemda dapat menggunakan dana APBD untuk satu sistem yang terintegrasi meliputi semua daerah dalam watu wilayah metropolitan.
Terkait itu, pemerintah mengembangkan data raksasa dan memanfaatkan teknologi telepon seluler antara lain untuk memantau pergerakan penduduk dari kota di luar kota inti untuk bekerja di kota inti. Dengan redefinisi kota metropolitan, tatatan pemda tetap berjalan seperti biasa, tetapi ada fleksibilitas penggunaan APBD terkait kepentingan bersama.
”Redefinisi kota metropolitan akan dilakukan begitu kita selesaikan data, mudah-mudahan (formatnya) selesai tahun depan. Dengan redefinisi, diharapkan memudahkan pemerintah daerah saling bekerjasama untuk satu kepentingan,” katanya.
Pada tahap awal, pihaknya merencanakan redefinisi terhadap 10 kota metropolitan, meliputi Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Banjarmasin, Denpasar, Makasar, dan Manado. Pihaknya mengidentifikasi di 10 kota tersebut, wilayah metropolitannya sudah melebar.
Ia menambahkan, redefinisi kota metropolitan tidak harus menambah biaya, melainkan justru konsolidasi anggaran. Apabila redefinisi kota metropolitan selesai tahun 2020, mulai tahun 2021 kegiatan yang terintegrasi sudah bisa dimulai.