Bunga-bunga bangsa itu tumbang dalam protes terhadap aturan pemerintah yang dianggap bermasalah. Diiringi lagu ”Gugur Bunga”, rekan-rekan mereka memperjuangkan keadilan, menuntut agar pelaku segera diungkap.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Bunga-bunga bangsa itu tumbang, ambruk, dan meregang nyawa, dalam protes terhadap aturan pemerintah yang dianggap bermasalah. Diiringi lagu ”Gugur Bunga (di Taman Bakti)”, rekan-rekan mereka memperjuangkan keadilan, menuntut agar pelaku segera terungkap.
”Telah gugur, pahlawanku. Tunai Sudah janji bakti…,” seorang aparat melantunkan penggalan lagu ”Gugur Bunga”, karangan Ismail Marzuki, di lorong Markas Polda Sulawesi Tenggara, Rabu (2/10/2019) jelang sore. Nadanya mengapung di udara, lalu memantul di dinding-dinding ruangan. Bait lagu itu juga menempel di telinga dan meraung di dalam dada.
Penggalan lagu itu banyak dilantunkan di sekitar kawasan Polda Sultra. Utamanya, mereka yang mendengar dan melihat aksi damai ratusan mahasiswa yang mendatangi markas kepolisian tersebut. Sebanyak 500 lebih mahasiswa dari sejumlah kampus berkumpul menyuarakan tegaknya keadilan atas meninggalnya dua rekan mereka, Randi (22) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19).
Aksi yang berlangsung tepat pukul 12.00 ramai oleh teriakan, orasi, dan umpatan. Silih berganti mahasiswa naik ke mobil bak terbuka untuk menyuarakan tuntutan. ”Copot Kapolres!”, ”Tangkap pelaku!”, atau ”Hidup mahasiswa! Hidup rakyat!” bergema di mana-mana.
Namun, sejenak, hening merambat di udara. Ratusan mahasiswa yang awalnya berteriak, cerewet, terdiam. Asap hitam dari ban yang terbakar meliuk-liuk, lalu membubung di udara. Mereka serempak duduk. Aparat yang berjaga juga duduk beralas aspal jalanan.
”Betapa hatiku takkan pilu. Telah gugur, pahlawanku.” Begitu bait pertama dari lagu Gugur Bunga (di Taman Bakti) mengalun dari pelantang suara.
Lagu yang mengalun dari telepon pintar lalu didekatkan dengan mikrofon orator itu terdengar mengiris dan menyayat. Suara seorang gadis yang diiringi piano itu merambat perlahan, membuat pendengarnya menundukkan kepala dalam-dalam.
Tepat ketika bagian refrein tiba, seorang mahasiswa membuka kacamata hitam yang dikenakan lalu mengusap mata. Matanya basah. Berjarak beberapa meter, berbatas pagar kawat berduri, seorang polisi wanita berjilbab menutup muka dengan kedua tangan. Saat tangannya terbuka, air matanya tumpah. Seorang rekannya memberinya tisu.
Lagu itu terus mengalun, menggetarkan sanubari. Tepat 5 menit, lagu itu usai. Mahasiswa kembali melanjutkan aksi, meminta agar kepolisian segera mengungkap pelaku meninggalnya Randi dan Yusuf, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), dalam aksi menentang sejumlah aturan bermasalah, Kamis (26/9/2019).
”Kami punya tanggung jawab moral terhadap keluarga teman kami. Keluarga Randi dan Yusuf trauma, kehilangan anak dan saudara. Kami sangat trauma, masyarakat trauma,” ucap Macho, Presiden BEM UHO. ”Kami mendesak agar polisi segera mengungkap kejadian ini. Kami tidak ingin ada korban lagi.”
Randi dan Yusuf menjadi korban setelah terlibat bentrok dengan aparat kepolisian dalam aksi demonstrasi di DPRD Sultra. Keduanya menjadi bagian dari ribuan mahasiswa yang mengepung kawasan kantor itu, menuntut agar pemerintah membatalkan sejumlah aturan yang dianggap bermasalah, seperti RUU KUHP, RUU Pertahanan, dan revisi UU KPK.
Kami punya tanggung jawab moral terhadap keluarga teman kami. Keluarga Randi dan Yusuf trauma, kehilangan anak dan saudara. Kami sangat trauma, masyarakat trauma.
Namun, aksi itu berubah bentrok. Yusuf, mahasiswa Fakultas Vokasi D-3 Teknik Sipil, meregang nyawa akibat luka berat di kepala. Ia tersungkur di jalan masuk ke sebuah kantor. Lebih dari lima luka terbuka di kepalanya membuat ia tidak tertolong meski telah dioperasi dan ditransfusi 16 kantung darah.
Sementara itu, Randi, mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO, meninggal setelah pendarahan hebat akibat terkena tembakan di bawah ketiak kiri yang tembus di dada kanan. Ia tersungkur di jalanan.
Randi, pemuda asal Lakarinta itu, adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ayah Randi, La Sari, baru mengetahui kabar anaknya meninggal ketika pulang ke rumah sehabis melaut. Dalam video yang beredar, ia terlihat heran saat melihat rumahnya ramai oleh keluarga dan tetangga. Keluarga Randi tidak ingin menemui polisi sebelum pelaku penembakan diungkap.
Sejumlah bukti telah terungkap. Proyektil, selongsong, 13 senjata, diamankan. Sejumlah petugas juga telah diperiksa dan dimintai keterangan. Hanya saja, sejumlah pihak meminta agar ini diungkap dengan segera dan menghukum pelaku seberat-beratnya.
Aparat kepolisian berjanji menuntaskan dengan segera kasus ini. ”Semua kami usut. Jangankan Kapolres (Kendari), Wakapolda, Karo Ops, atau siapa pun yang terlibat akan dicopot kalau dinyatakan bersalah,” kata Kepala Polda Sultra Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam.
Dua orang telah gugur dalam bentrok dengan aparat. Janji akan tinggal janji jika tidak ada bukti yang diungkap ke keluarga, rekan, dan masyarakat. Lagu ”Gugur Bunga (di Taman Bakti)” yang dinyanyikan mahasiswa tadi terus terngiang dalam ingatan.
”Gugur bungaku di taman bakti. Di haribaan pertiwi. Harum semerbak menambahkan sari. Tanah air jaya sakti”.
Bumi serupa mengiringi lagu ini. Tidak berapa lama setelah mahasiswa meninggalkan lokasi aksi, hujan deras di musim kemarau ini untuk pertama kali turun dalam beberapa bulan terakhir. Di atas sana, Ismail Marzuki, dan para pendiri bangsa, mungkin juga sedang menangis melihat anak cucunya terbunuh oleh bangsanya sendiri.