Inovator Butuh Perlindungan demi Perbaikan Tata Kelola Energi
Pemerintah berkomitmen tidak menoleransi kejahatan korporasi dan tindak korupsi. Upaya untuk membuat BUMN lebih transparan dan berintegritas pun perlu dilanjutkan.
Oleh
Erika Kurnia
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya inovasi dalam bidang bisnis energi yang dilakukan untuk kepentingan negara, terutama oleh badan usaha milik negara, membutuhkan dukungan solid dan perlindungan. Hal itu dinilai penting untuk terus memperbaiki tata kelola industri energi nasional yang belum cukup baik.
Pendapat ini mengemuka dalam diskusi kasus tender PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan perusahaan pengolah minyak bumi PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang diselenggarakan Katadata Insight Center di Jakarta, Jumat (4/10/2019).
Ekonom senior Faisal Basri, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi itu, melihat bahwa proyek pengadaan dengan tender PLN dan TPPI merupakan salah satu upaya efisiensi pengadaan bahan bakar minyak (BBM) untuk PLN pada 2010.
”Negara yang dalam hal ini diwakili PLN justru diuntungkan dari mekanisme pengadaan secara tender karena menghasilkan penghematan,” katanya.
Diskusi menyoroti kondisi yang dialami mantan Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji yang September lalu didakwa karena diduga merugikan negara terkait dengan pengadaan BBM solar jenis high speed diesel.
Proyek pengadaan PLN dengan empat badan usaha pemenang tender dari dalam dan luar negeri, termasuk TPPI, tercatat menghasilkan penghematan Rp 524,1 miliar. Nilai itu sekitar 33 persen dari proyeksi penghematan Rp 1,57 triliun selama empat tahun.
Penghematan didapat setelah PLN melelang pengadaan BBM dengan hak menyamakan harga terendah atau terbaik pada TPPI dan PT Pertamina (Persero) sebagai produsen dalam negeri. Kebijakan legal itu diambil direktur energi primer bersama direksi PLN lainnya setelah menolak rekomendasi Kementerian Keuangan untuk menunjuk langsung TPPI, yang belum bangkit pascakrisis 1998 itu.
Belum setahun kontrak berjalan TPPI tidak sanggup menjalankan perjanjian dengan PLN. Atas dasar itu, pada 2018 Badan Pemeriksa Keuangan menghitung negara rugi Rp 188,7 miliar akibat tidak terpenuhinya BBM solar high speed diesel selama sisa waktu kontrak.
Mematikan inovasi manajemen
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform Fabby Tumiwa menilai, kasus seperti itu dapat mematikan daya inovasi di badan usaha milik negara.
”Semua BUMN didorong untuk melakukan efisiensi yang ditunjukkan dengan penurunan biaya. Untuk itu, harus ada inovasi khususnya di bidang pengadaan yang nilainya besar. Tetapi, kalau orang yang berinovasi dihambat, kita nggak akan punya orang yang bagus untuk BUMN,” tuturnya.
Ia berharap pemerintah berkomitmen tidak menoleransi kejahatan korporasi dan tindak korupsi. Upaya untuk membuat BUMN lebih transparan dan berintegritas pun perlu dilanjutkan.
”Perbaikan tata kelola di sektor energi dengan pengadaan bisnis yang lebih transparan akan berdampak terhadap efisiensi dan harga produk yang rendah. Hal itu akan otomatis mendukung daya tarik investasi dan daya saing BUMN kita,” ujarnya.