Impian Wartono (29), warga Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, memperbaiki rumah dari hasil mengadu nasib ke negeri orang pupus sudah. Runtuhnya jembatan Nanfangao di Taiwan membawa dia ke pangkuan Ilahi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Impian Wartono (29), warga Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, memperbaiki rumah dari hasil mengadu nasib ke negeri orang pupus sudah. Runtuhnya jembatan Nanfangao di Taiwan membawa dia ke pangkuan Ilahi.
Rumah berdinding bata milik keluarga Wartono di Blok Telar Gedang, Desa Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Cirebon, Jumat (4/10/2019) siang itu tampak lapuk. Temboknya keropos. Lubangnya terlihat di sana-sini. Gentengnya pun sudah tak beraturan. Spanduk bekas menutupi pintunya. Balok di atap dan kusen dimakan rayap.
Rumah berukuran sekitar 4 meter x 6 meter itu sudah bertahun-tahun tidak ditempati. Tinggal di sana rentan membahayakan nyawa karena atapnya sudah lapuk. Rumah itu timpang dengan rumah tetangga yang bertingkat dengan cat mentereng.
”Rencananya, bulan 11 atau 12 tahun ini, Wartono bakal pulang dan mau membangun rumah ini. Tetapi, dia pergi untuk selama-lamanya karena tertimpa jembatan,” ujar Taman (41), kakak Wartono. Mata anggota TNI Angkatan Laut berpangkat kopral kepala yang bertugas di Jakarta tersebut memerah. Suaranya terbata-bata.
Selasa, 1 Oktober, jadi hari yang menyakitkan bagi keluarga besar Wartono. Jembatan di Pelabuhan Nanfangao, Suao, Yilan, runtuh pukul 09.30 waktu setempat. Akibatnya, tiga kapal ikan dan satu truk bahan bakar rusak parah akibat kejadian itu.
Wartono yang masih berada di dalam kapal turut tertimpa jembatan sepanjang 140 meter dengan tinggi 18 meter itu. Otoritas setempat menyatakan Wartono meninggal.
Korban warga negara Indonesia lainnya yang tewas dalam ambruknya jembatan yang selesai dibangun 1998 itu adalah Ersona (32) dari Indramayu, Jawa Barat, dan Mohamad Domiri (28) asal Pemalang, Jawa Tengah. Tiga korban lainnya adalah warga Filipina, yaitu Andree Serencio (44), George Impang (46), dan Romulo Escalicas (Kompas.id, 3/10/2019).
Taman menuturkan, adiknya bekerja di Taiwan sejak 2016 sebagai anak buah kapal (ABK). Wilayah pelayarannya, katanya, masih di sekitar Taiwan. Wartono yang lulusan SMP terpaksa mengadu nasib ke luar negeri karena sulit menata hidup di rumah sendiri. Ia sudah merasakan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup dari almarhum orangtuanya, Ruwendi dan Dakinah, yang menjadi buruh tani dan membesarkan 10 anak.
Apalagi, bagi keluarga ini, merantau jadi pilihan utama untuk bertahan hidup. Kakak pertama Wartono, Darita, juga melanglang buana. Darita kini jadi nelayan di Peru. Kerabatnya yang lain juga bekerja di luar negeri, seperti Daslim di Korea Selatan, Gunawan dan Nuriman di Malaysia, serta Warti dan Masiroh di Taiwan.
”Di sini, hampir 75 persen anak mudanya ke luar negeri karena kalau di desa hanya menganggur,” lanjut Taman.
Di sini, hampir 75 persen anak mudanya ke luar negeri karena kalau di desa hanya menganggur.
Pegagan Kidul bukan daerah pelosok. Jaraknya hanya sekitar 15 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Cirebon. Desa dengan luas 8,8 kilometer persegi itu berpenduduk 8.231 jiwa. Namun, tak mudah hidup di sana.
Daerah dengan luas 193 hektar sawah irigasi teknis dan 155 hektar sawah tadah hujan ini rentan kekeringan. Siang itu, areal sawah tampak coklat mengering. Saluran irigasinya ditumbuhi eceng gondok.
Itu sebabnya, tekad Wartono sangat besar untuk mendapat sertifikat keterampilan basic safety training sehingga bisa pergi ke Taiwan. Apalagi, dengan gaji sekitar Rp 8 juta per bulan di Taiwan, ia punya impian membangun rumah keluarga sebagai tempat kumpul. Sebelumnya, pada 2013, ia pernah menjadi ABK di sejumlah negara di Benua Amerika.
Kini, rumah reyot itu mungkin tidak akan diperbaiki dalam waktu dekat. Namun, Taman tidak mau ambil pusing. ”Kami hanya ingin jenazah Wartono dipulangkan segera untuk dikebumikan di desa. Kami juga berharap, hak-hak, seperti asuransi jiwa, Wartono dipenuhi,” ujarnya.
Taman menyebutkan sudah berkoordinasi dengan perusahaan penyalur tenaga kerja yang memberangkatkannya. Ia mengatakan, belum ada komunikasi dengan Pemerintah Indonesia. Riyanto, keluarga Ersona di Indramayu, juga berharap jenazah korban segera dipulangkan.
”Semoga hak-haknya juga dipenuhi. Kami tidak tahu harus bagaimana setelah ini,” ujar Riyanto.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon Abdullah Subandi mengatakan, ada tujuh WNI yang menjadi korban di Taiwan. Selain tiga korban tewas, korban lainnya yang luka adalah Winanto asal Batang, Danang (Cirebon), Miswan (Kendal), dan Supandi (Indramayu).
”Kami segera mengurus kepulangan jenazah Wartono dan mengurus hak-haknya agar dapat dipenuhi,” ucapnya.
Kami segera mengurus kepulangan jenazah Wartono dan mengurus hak-haknya agar dapat dipenuhi.
Perusahaan Pelabuhan Internasional Taiwan (TIPC) menyatakan, keluarga korban meninggal akan mendapatkan 161.000 dollar AS atau setara Rp 2,28 miliar sebagai bentuk kompensasi. Sebagai negara dengan industri perikanan besar, Taiwan kerap membutuhkan pekerja migran dari negara lain, termasuk Indonesia. Tahun 2018, sebanyak 213.413 WNI tinggal di Taiwan (Kompas.id, 3/10/2019).
Banyak warga Cirebon dan Indramayu menjadi pekerja migran di Taiwan. Berasal dari daerah pesisir pantai, tak sedikit yang akhirnya bekerja jadi nelayan di tanah rantau. Semuanya dilakukan untuk memperbaiki nasib, seperti yang diinginkan Wartono.
Akan tetapi, malang tak dapat dicegah. Pergi dengan bangga berlayar ke Taiwan, Wartono pulang tinggal nama, meninggalkan rumah renta peninggalan orangtua yang entah kapan bakal diperbaiki.