Teknologi Modifikasi Cuaca Lebih Efektif sebagai Pencegahan
Pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca dalam upaya mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan atau karhutla lebih efektif dilakukan sejak awal sebelum kebakaran terjadi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca dalam upaya mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan atau karhutla lebih efektif dilakukan sejak awal sebelum kebakaran terjadi. Jika mitigasi dengan teknologi ini dilakukan lebih awal, jumlah air hujan yang dihasilkan bisa lebih banyak sehingga kandungan air pada lahan gambut bisa lebih terjaga.
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBTMC-BPPT) Tri Handoko Seto di Jakarta, Jumat (4/10/2019), menyampaikan, meskipun kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia, lahan gambut yang kering menjadi faktor pemicu terjadinya kebakaran. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga lahan gambut tetap basah.
”Teknologi modifikasi cuaca (TMC) hasilnya akan lebih efektif dan akuntabel bagi upaya pencegahan karhutla jika dilakukan sebelum kebakaran terjadi. Kontrol terhadap pengendalian kandungan air lahan gambut, bak kelembaban gambut, dan tinggi muka air gambut lebih mudah dilakukan dengan TMC saat ketersediaan awan masih cukup banyak,” tuturnya.
Saat ini, operasi TMC dalam mengendalikan karhutla di lima provinsi, yakni Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Kalimantan Tengah, telah menghasilkan lebih dari 3 miliar meter kubik volume hujan di daerah tersebut. Upaya ini sudah mulai dilakukan sejak Februari 2019 dan diperkirakan akan selesai hingga akhir Oktober 2019.
Teknologi modifikasi cuaca untuk penambahan curah hujan di kawasan karhutla dilakukan dengan cara menyemai garam di atas awan. Keberhasilan proses ini agar dapat menghasilkan hujan sangat bergantung pada ketersediaan awan.
Pelaksana Harian Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menyatakan, total luas hutan dan lahan yang terbakar per 3 Oktober 2019 sebesar 328.722 hektar dengan 268 titik panas. Sebanyak 45 helikopter yang 4 di antaranya untuk operasi TMC telah dikerahkan. Setidaknya sudah ada 237.716 kilogram garam yang digunakan untuk menyemai awan.
Total luas hutan dan lahan yang terbakar per 3 Oktober 2019 sebesar 328.722 hektar dengan 268 titik panas.
Kepala BPPT Hammam Riza menambahkan, upaya mitigasi bencana karhutla juga perlu didukung dengan pengelolaan mahadata (big data). Untuk mengontrol kelembaban dan tinggi muka air gambut bisa memanfaatkan sistem informasi serta penyebaran sensor Iot (internet of things) yang telah terintegrasi dengan mahadata lahan gambut yang dimiliki Badan Informasi Geospasial dan lembaga lainnya.
Ia pun mengusulkan agar BPPT memiliki independensi dalam melakukan operasi TMC yang berkelanjutan. Selama ini BPPT baru bisa menjalankan operasi teknologi ini jika ada penugasan dari BNPB berdasarkan laporan status siaga bencana dari daerah. Hal ini dinilai dapat menghambat upaya mitigasi bencana karhutla yang dilakukan sejak dini.
”Independensi untuk melakukan operasi TMC yang berkelanjutan perlu didukung oleh anggaran, peralatan seperti pesawat, dan sumber daya manusia yang memadai. TMC tidak hanya dimanfaatkan untuk kebakaran saja, tetapi juga kekeringan dan banjir,” ucapnya.