Keteguhan Inu Kertapati Menjadi Penari Topeng Slangit Cirebon
Inu Kertapati (40) sudah merasakan pahit dan manisnya menjadi seniman tari topeng slangit cirebon. Ia pernah menari di jalanan di Cirebon hingga gedung megah di luar negeri. Ia melewati masa jaya dan masa sulit. Meski begitu, komitmennya untuk melestarikan topeng slangit tak pernah redup.
Hampir 15 tahun terakhir ini, Inu berjuang menghidupkan topeng slangit lewat Sanggar Tari Wijaya Kusuma. Tari topeng slangit berasal dari Desa Slangit yang ada di Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.
Awalnya, Inu mengelola juga Sanggar Panji Asmara, Sujana Arja, peninggalan almarhum ayahnya di Slangit. Belakangan, ia fokus mengelola Sanggar Tari Wijaya Kusuma. Dari tangannya lahir puluhan penari topeng slangit dan tiga pelatih tari, termasuk anaknya, Zakky.
Sementara itu, Eti, istri Inu, bergerak di jalur seni budaya lewat jalan lain. Ia menggelar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Wijaya Kusuma yang berbasis budaya Cirebon. Berbeda dengan PAUD lain, PUAD Wijaya Kusuma mengkhususkan satu dari enam hari proses belajar mengajar untuk memperkenalkan seni wayang dan topeng kepada anak-anak. Kini, sanggar dan PAUD yang dikelola suami-istri itu memiliki bangunan sendiri di Desa Bulak, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon.
Pertengahan Juli lalu, Inu tampak senang menunjukkan bangunan sanggar dan PAUD Wijaya Kusuma yang berdiri satu tahun lalu. Bangunan sanggar dan PAUD itu berdiri di atas tanah seluas 668 meter persegi. Inu menceritakan, untuk membangun bangunan itu, ia mesti menguras semua tabungan dan meminjam uang dari keluarga.
Ia sebenarnya bisa saja menggunakan tabungannya untuk membangun toko atau membuka sawah di atas tanah itu. Dari situ, ia bisa mendapatkan penghasilan. “Tapi itu tidak kami lakukan. Kami ingin fokus di jalan seni tari topeng,” ucap Inu. Kini, ada 41 anak yang belajar di PAUD tersebut dan 40 anak dan remaja yang berlatih tari di sanggar. Siswa PAUD hanya membayar Rp 50.000 per bulan, sedangkan siswa tari Rp 40.000 per bulan.
“Kami membangun sekolah dan sanggar lebih untuk menjaga jejak hidup yang kami jalani (di dunia kesenian),” kata Eti memberi alasan mengapa iuran yang dikenakan kepada siswanya relatif rendah. Sudah rendah pun masih ada beberapa siswa yang menunggak iuran. Namun, Eti dan Inu tidak marah.
Keluarga seniman
Inu berasal dari keluarga seniman. Ayahnya, Sujana Arja, dikenal sebagai maestro tari topeng slangit. Inu mulai ikut menari sejak duduk di sekolah dasar pada 1984. Awalnya, ia ikut bebarang atau mengamen dengan menari topeng keliling kampung untuk melatih mental. Saat bebarang Inu dan sang ayah menari sedangkan delapan orang lainnya membunyikan gamelan. Tarian berdasarkan permintaan per babak.
Bebarang biasanya dilakukan saat musim paceklik di mana orang tidak banyak yang menggelar hajat. Pada titik ini, Inu mulai meresapi topeng sebagai kesenian rakyat di mana pelakunya mesti memiliki sikap hidup secukupnya, tidak berlebihan. Ia masih ingat bagaimana warga membayar penampilannya dalam satu babak tarian saat mengamen dengan satu ikat padi yang kemudian ditukar dengan boled (ubi jalar) untuk meredakan perut anggota rombongan yang keroncongan.
Ini hanya untuk makan sehari. Kalau lebih dari itu, kami tidak menerima. Ini namanya mangan sepulukan
“Ini hanya untuk makan sehari. Kalau lebih dari itu, kami tidak menerima. Ini namanya mangan sepulukan (makan sesuap) saja,” ucapnya.
Tahun 1990-an, bebarang dilarang pemerintah karena dinilai kesenian liar. Sayangnya, pelarangan itu tidak diikuti dengan penyediaan panggung bagi seniman. Akhirnya, seniman kebingungan dan tidak sedikit yang beralih profesi menjadi kuli atau buruh tani. Bagi penari topeng slangit, masa itu merupakan masa ujian keteguhan untuk terus memilih di jalan seni atau tidak,
Ayahnya memilih tetap bertahan. Ia lantas menggembleng Inu dengan disiplin. Ia diminta berpuasa sebelum menari, merasakan kebiasaan rakyat jelata. Puasanya bertahap, 3 hari, 1 minggu, 1 bulan, hingga 41 hari. “Sempat ada perasaan mau berhenti menari, tetapi bapak selalu mengawasi ha ha ha,” ungkapnya.
Ia kemudian dinyatakan lulus "sekolah" tari topeng oleh ayahnya. Tidak ada wisuda atau ijazah untuk kelulusan itu. Ijazahnya, kata ayah Inu, adalah perilaku sabar dan sederhana.
Hari berganti, Inu makin jatuh hati pada tari topeng. Ia merasa ditakdirkan sebagai penari topeng slangit. Ayahnya pun memberi nama Inu Kertapati, tokoh protagonis dalam cerita panji. Cerita panji merupakan bagian penting dari tari topeng slangit. Tarian dimulai dari babak panji hingga kelana. Pilihan hidup sebagai seniman membuat Inu "berkelana" dari satu pentas hajatan ke hajatan lain.
Saya histeris, bingung bagaimana meneruskan seni topeng ini
Pada masa keemasan tari topeng slangit tahun 1980-an, ia bisa manggung 25 kali dalam satu bulan. Tidak hanya itu, ia juga tampil di beberapa negara seperti Taiwan, Thailand, Australia, Inggris, Amerika Serikat, Yunani, hingga Rusia.
Tahun 1990-an, undangan untuk tampil mulai surut. Awal 2000-an, jadwal pentansnya sebulan paling hanya 10 kali. Ujian terberat ia rasakan ketika ayahnya, Sujana, meninggal dunia pada 2006 silam. “Saya histeris, bingung bagaimana meneruskan seni topeng ini?" kenang Inu yang pingsan ketika mendengar sang ayah berpulang.
Setelah melalui masa berkabung, Inu mulai bangkit dengan dukungan keluarga dan penari lain. Ia terus berlatih sembari menghibur diri. Dengan tim kecil yang dibentuk, ia kembali memenuhi undangan pentas dan mengajar tari termasuk di Keraton Kacirebonan dan SMK Pakungwati yang dikelola Keraton Kasepuhan Cirebon. Tahun 2018, Inu menggelar lokakarya tari topeng Cirebon dalam rangkaian OzAsia Festival di Adelaide, Australia. Ia mengajar sekitar 300 anak dari 10 sekolah.
Jika ingin melihatnya menari kita bisa datang ke Goa Sunyaragi, Kota Cirebon. Setiap Sabtu, ia memukau pengunjung dengan kibasan tangan dan kaki ke selendang.
Inu Kertapati
Lahir: Cirebon, 25 November 1978
Istri: Eti (38)
Anak: Zakky Ardy (14) dan Jihan Raihana (10)
Pendidikan:
Sekolah Tinggi Agama Islam Ma\'Had Ali Ciwaringin, Cirebon (Lulus 2014)