Nasib Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah disetujui pemerintah dan DPR menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR, 17 September lalu, hingga kini belum jelas.
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah disetujui pemerintah dan DPR menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR, 17 September lalu, hingga kini belum jelas. Meski dua pekan telah berlalu sejak disetujui menjadi undang-undang, Presiden Joko Widodo belum juga menandatanganinya.
Menteri Sekretaris Kabinet Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (3/10/2019), mengungkapkan, sebenarnya UU KPK baru sudah diserahkan ke Istana, beberapa waktu lalu. Akan tetapi, pihak Istana memutuskan mengembalikan UU KPK ke DPR karena ditemukan sejumlah kesalahan penulisan.
”Undang-undang sudah dikirim (ke Istana), tetapi masih ada typo sehingga kami minta klarifikasi ke DPR. Katanya posisi undang-undang sudah di Baleg (Badan Legislasi (DPR),” katanya.
Pratikno menjelaskan, sebenarnya kesalahan hanya dalam penulisan serta redaksional saja. Namun, jika dibiarkan tidak diperbaiki, dikhawatirkan akan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pihak Istana memutuskan dikembalikan ke DPR untuk klarifikasi.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan, partainya belum mengambil sikap terkait kelanjutan UU KPK. Hal itu termasuk keputusan Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
”Kami monitor saja, menunggu proses selanjutnya,” kata Airlangga.
Menteri Perindustrian itu pun tak bersedia berkomentar terkait penolakan partai politik pendukung pemerintah terhadap Perppu KPK, seperti yang disampaikan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi telah memetakan 26 risiko yang mungkin menimpa lembaga antikorupsi ini jika hasil revisi Undang-Undang KPK berlaku. Sebelum saat itu tiba, KPK bekerja optimal untuk menyelesaikan sejumlah perkara dengan berpatokan pada undang-undang lama.
Sejak DPR dan pemerintah menyetujui revisi UU KPK menjadi undang-undang pada 17 September, KPK melanjutkan penyidikan perkara-perkara yang belum tuntas. KPK telah menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrowi sebagai tersangka suap hibah KONI dan anggota IV BPK, Rizal Djalil, sebagai tersangka suap proyek Sistem Penyediaan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta mencegah anggota DPR, Melchias Marcus Mekeng, ke luar negeri.
Selain itu, KPK juga menangkap Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia Risyanto Suanda atas dugaan suap impor ikan serta memasukkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim ke dalam daftar pencarian orang terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
”Yang bisa dilakukan KPK saat ini adalah bekerja sebaik-baiknya dengan undang-undang yang ada. Secara paralel, KPK juga melakukan mitigasi risiko adanya potensi kerusakan terhadap KPK jika RUU tersebut mulai berlaku,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Gedung KPK Jakarta, Kamis.
Adapun 26 risiko akibat dari revisi UU KPK di antaranya adalah terganggunya independensi lembaga, tidak adanya penanggung jawab tertinggi, serta terdampaknya penanganan perkara karena campur tangan Dewan Pengawas yang besar. KPK juga mempersoalkan tidak adanya aturan Dewan Pengawas untuk tak bertemu pihak beperkara dan tetap diperbolehkan memegang jabatan lain di luar KPK.
Terkait potensi kerusakan itu, KPK menyerahkan langkah penyelamatan kepada Presiden Joko Widodo. ”KPK memandang keputusan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sepenuhnya wewenang Presiden. Jika memang ada keinginan menyelamatkan pemberantasan korupsi dengan jalur penerbitan perppu, kami hargai hal itu. Namun, posisi KPK cukup menunggu saja,” tutur Febri.