Sekitar pukul 21.00 WIB, di Gereja Basilika St Petrus di Vatikan, Paus Fransiskus akan memakaikan biretta merah pada 13 kardinal baru. Biretta adalah topi segi empat dengan tiga atau empat garis tebal tinggi di atasnya.
Oleh
H Witdarmono
·4 menit baca
Bagi bangsa Indonesia, Sabtu (5/10/2019) adalah hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia. Hari yang sama, sekitar pukul 16.00 waktu Italia atau pukul 21.00 WIB, di Gereja Basilika St Petrus di Vatikan, Paus Fransiskus akan memakaikan biretta merah pada 13 kardinal baru. Biretta adalah topi segi empat dengan tiga atau empat garis tebal tinggi di atasnya.
Satu dari ke-13 kardinal baru itu adalah Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo (69), putra asal Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia kini Uskup Keuskupan Agung Jakarta.
Merah adalah warna dominan dalam pakaian resmi kardinal, gelar rohani sejak zaman Paus Silvester I (285-335). Kata kardinal diambil dari bahasa Latin, cardo, yang berarti engsel, perangkat penentu pintu atau jendela agar kokoh dan berfungsi untuk dibuka atau ditutup. Dalam Gereja Katolik, kardinal dipahami sebagai orang yang dipilih dan diangkat Paus dengan tugas menyambungkan dengan gereja lokal.
Tugas ini menuntut kesetiaan dan ketaatan usque ad effusionem sanguinis (sampai menumpahkan darah), yang dilambangkan oleh jubah merah. Amanat itu yang diisyaratkan Paus Fransiskus saat mengangkat Mgr Ignatius Suharyo sebagai Kardinal lewat suratnya, 1 September 2019.
Dalam Konsistori, upacara pengukuhan kardinal, sisi merah itu juga ditunjukkan oleh doa Paus saat memakaikan biretta merah pada kepala setiap kardinal. Pada masa lalu, menjadi martir (Yun marturion) atau saksi (iman) bisa berupa pengorbanan diri demi iman lewat effusio sanguinis, melalui upaya keras mewujudkan kasih pada mereka yang paling menderita.
”Sesuai zamannya, makna penumpahan darah itu saya pahami dari sisi amanat mengenai bela rasa, seperti dalam surat Paus Fransiskus. Beliau minta agar bela rasa (compassion) yang harus dikembangkan Gereja Indonesia,” ungkap Mgr Suharyo.
Mgr Suharyo adalah warga negara Indonesia ketiga yang diangkat sebagai Kardinal setelah Justinus Kardinal Darmojuwono dan Julius Kardinal Darmaatmadja.
”Paus mengajak Gereja Indonesia untuk berbela rasa bagi semua pribadi yang menjadi korban dan yang dijadikan budak oleh begitu banyak kejahatan. Mereka sangat mendambakan sikap kelembutan kasih dari orang beriman. Sikap baik dan belas kasih kepada yang miskin, yang membutuhkan, menjadi syarat saat seorang Uskup ditahbiskan,” katanya.
Sejak dipilih tahun 2013, menggantikan Paus Benediktus XVI (92), Paus Fransiskus (82) telah mengangkat kardinal baru. Konsistori, Sabtu adalah pengukuhan kardinal yang keenam.
Kepada kardinal baru yang diangkatnya, Paus Fransiskus menegaskan, pengangkatan ini tidak berkaitan dengan kehormatan duniawi, tetapi panggilan untuk memberikan diri secara lebih utuh dan kesaksian hidup yang konsisten. Adapun karya pelayanan bela rasa Keuskupan Agung Jakarta banyak terwujud di kalangan warga marjinal di Jabotabek.
Pengangkatan ini tidak berkaitan dengan kehormatan duniawi, tetapi panggilan untuk memberikan diri secara lebih utuh dan kesaksian hidup yang konsisten.
Pengangkatan Mgr Suharyo juga memiliki konteks lain dalam kebijakan layanan Gerejani Paus Fransiskus. Ia ditunjuk dalam konteks dialog dengan umat Islam dunia. Bersama Mgr Cristobal Lopez Romero (67), Uskup Agung Rabat, Maroko, Mgr Suharyo hidup dan berkarya dalam negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
”Ada dua hal yang menempatkan Gereja Katolik dalam kesatuan penuh dengan masyarakat, negara, dan bangsa Indonesia, yaitu lahirnya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 dan hadirnya Masjid Istiqlal (arti harfiah: Masjid Merdeka), atas prakarsa Presiden Soekarno pada 1951, dengan arsitek Frederich Silaban, yang beragama Kristen Protestan. Dua hal itu bukan sekadar sebagai lambang belaka, melainkan merupakan kenyataan konkret kehidupan,” kata Mgr Suharyo.
Dalam karya pelayanannya, Mgr Romero sangat tekun mengembangkan dialog antaragama dalam bidang sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan di Maroko.
Ada Mgr Miguel Ángel Ayuso Guixot (67), ahli sejarah Islam, yang menjadi wakil Vatikan dalam membangun kembali dialog dengan Imam Besar Ahmed el-Tayeb dari Masjid Al-Azhar, Kairo, Mesir. Mgr Guixot pada Mei lalu menjadi Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama dan juga mewakili Vatikan dalam Pusat Dialog Antaragama dan Antarbudaya Internasional Raja Abdullah bin Abdulaziz di Vienna, Austria.
Kardinal keempat dalam konteks membangun dialog dengan kaum Muslim adalah Mgr Michael Fitzgerald (82) asal Inggris, mantan Nunsio Apostolik (Duta Besar Vatikan) di Mesir. Ia gigih mengembangkan studi bahasa Arab dan menolak pertentangan budaya antara Islam dan Kristen.
Pengukuhan kardinal ditandai pemberian cincin, biretta, dan zucchetto (tutup bahu) berwarna merah. Mereka masuk dalam Kolegium Kardinal, lembaga hukum dalam Gereja Katolik, yang bertugas melayani dan membantu tugas Paus.
Wewenang Kolegium Kardinal, kata Romo Stefanus Tommy Oktora, dosen Hukum Gereja di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tak hanya memilih Paus dalam konklaf. Namun, mereka sesungguhnya berfungsi menyambungkan Paus dengan gereja lokal. Mgr Suharyo adalah warga negara Indonesia ketiga yang diangkat sebagai Kardinal setelah Justinus Kardinal Darmojuwono dan Julius Kardinal Darmaatmadja.
(H Witdarmono, Wartawan Kompas (1990-2005) dari Vatikan)