Cinderella dan Dapurnya
Judul: Like Water for Chocolate
Penulis: Laura Esquivel
Penerjemah: Yunita Candra
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, Agustus 2018
Tebal: 258 halaman
ISBN: 978-602-291-496-9
Seumpama Hawa masih hidup, kira-kira akan seperti apakah nasibnya? Sudah tentu tetap menjadi terhukum sebagaimana keturunannya yang hidup pada hari ini.
Perempuan yang terpenjara entah di atas kasur atau dapur. Ironisnya, yang mengurung perempuan di kedua tempat itu, sekaligus menjadi sipirnya, adalah keluarganya sendiri.
”Ke meja atau ke tempat tidur, kau harus datang ketika ditawarkan,” adalah kalimat pembuka novel Like Water for Chocolate karya Laura Esquivel. Ditulis oleh seorang pengarang perempuan Meksiko, kalimat tersebut jelas menunjukkan ketidakberdayaan perempuan menentukan pilihan dalam dunia yang didominasi cara berpikir patriarkal.
Tersirat pula rendahnya posisi perempuan yang serupa barang jualan yang siap ditawarkan. Perempuan seolah tidak memiliki suara, bahkan hak atas dirinya sebagaimana halnya Tita, si tokoh utama.
Domestifikasi
Like Water for Chocolate bercerita tentang Tita, seorang gadis muda berbakat memasak yang mesti hidup di bawah aturan dan pengawasan ketat ibunya, Mama Elena. Semula, Tita adalah gadis ceria, gesit, dan penuh semangat hingga seorang pemuda bernama Pedro muncul. Kehadiran Pedro membuat Tita mulai berpikir soal masa depan. Tita ingin menikah.
Sayangnya, sesuai aturan budaya setempat, sebagai anak bungsu, takdir Tita sudah ditetapkan. Dia mesti merawat ibunya hingga meninggal. Sejak kematian suaminya, Mama Elena hidup menjanda. Aturan tersebut jelas menyapih Tita dari rasa bahagia, apalagi ketika kakak kandungnya justru dinikahkan dengan Pedro. Tita semakin terkucil dalam penjaranya: dapur.
Kisah Tita nyaris mirip Cinderella. Sejak awal, Tita seolah telah diposisikan berada di dapur. Dia lahir di atas meja dapur, diasuh juru masak keluarga, dan lebih banyak menghabiskan waktu menyiapkan makanan.
Bagi Tita, dapur adalah dunianya. Memang lumrah mengandaikan dapur sebagai tempat yang menyenangkan ketimbang penjara. Tampilannya yang jauh dari kesan kurungan yang seram telah menipu banyak perempuan.
Penggunaan istilah Penguasa Dapur atau Ratu Dapur juga membuat dapur seolah sebuah teritorial istimewa yang mampu mengangkat martabat siapa pun yang menguasainya. Ini menyamarkan fungsi dapur lainnya, yaitu sebagai tempat pembinaan perempuan agar menjadi sesuai keinginan masyarakat patriarkal.
Sejak awal, sebagaimana Cinderella, Tita telah diajarkan untuk melihat dapur sebagai ruang kerja para perempuan. Dengan tegas, sang ibu menaruhnya di dapur bersama beban tugas rumah tangga. Atas nama pendisiplinan, sang ibu juga membangun dinding penjara tak kasatmata di sekitar anaknya itu. Pendomestifikasian semacam ini mengorbankan kebebasan Tita sebagai anak-anak.
Alhasil, Tita tumbuh sebagai gadis muda yang tidak memiliki keberanian untuk menegaskan diri sebagai subyek. Tembok dapur menghalanginya menemukan sumber-sumber dalam dirinya, kecuali bakat memasak. Kesadaran bahwa dapur adalah kurungan baru muncul ketika cinta bertandang. Cinta ini tentu saja dibawa oleh seorang pemuda.
Setengah hati
Dalam lanskap patriarkal, laki-laki adalah pemegang kunci dunia. Mendapatkan perhatian, cinta, atau restunya dianggap penting sebab laki-lakilah penentu eksistensi dan nilai seorang perempuan. Bagi Tita, Pedro bak ksatria yang menawarinya sebuah pembebasan. Untuk itu, dia rela melakukan apa saja, termasuk melawan sang ibu dan mengkhianati kakaknya.
Kungkungan tembok dapur digantinya dengan perlindungan laki-laki. Akibatnya, ketika Sang Pelindung tiada, Tita jatuh ke dalam lubang dan tersesat dalam gelap. Bagi Tita, tanpa Pedro (laki-laki), dia, ”...tidak mungkin melihat cahaya itu kembali karena tidak merasakan apa-apa lagi... hanya akan mengembara dalam bayang-bayang.” Kerapuhan Tita adalah kerapuhan perempuan kebanyakan.
Inilah barangkali ”bumbu rahasia” Like Water for Chocolate hingga laris di pasaran dan telah diterbitkan dalam 35 bahasa. Berlatar budaya lokal, novel ini mewakili stereotip yang melekat pada Cinderella. Bahwa seperti ditemukan feminis Perancis, Simone de Beauvoir, ke mana pun perempuan melangkah, maka garis akhirnya pasti pernikahan atau dominasi laki-laki. Perempuan selalu menunggu cinta. Merasa harus dicintai agar merasa bahagia.
Dengan begitu, feminisme yang ditampilkan novel ini masih setengah-setengah. Pemberontakan Tita melawan belenggu ibu dan budayanya justru berakhir ironis. Dia menyerahkan diri ke tangan laki-laki. Ini meneguhkan pandangan patriarkal bahwa perempuan butuh laki-laki untuk bisa berdiri. Dan, justru jenis kisah semacam inilah yang disukai pembaca.
Munculnya sejumlah resep dalam novel ini bisa dilihat sebagai salah satu wujud eksperimen bentuk penulisan. Sayangnya, ada yang mengganggu. Novel ini menggunakan sudut pandang penceritaan orang pertama, Aku, tapi di banyak tempat berubah menjadi narator yang maha tahu.
Like Water for Chocolate jelas menawarkan bacaan dengan cita rasa baru yang beraroma dapur. Aroma ini hendaknya tidak hanya dinikmati seperti saat berwisata kuliner, tetapi dikritisi pula demi melahirkan kesadaran baru.
Bahwa dapur ternyata bukan semata tempat meracik masakan, melainkan juga ruang tempat perempuan bisa kehilangan otonomi dirinya, yaitu ketika perempuan dianggap perlu mengasah feminitasnya lewat dapur atau diukur nilainya berdasarkan kepandaian memasak. ***
*) Anindita S Thayf, Novelis dan esais