JAKARTA, KOMPAS —Guna mengatasi berbagai persoalan yang kini terjadi, pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2019-2024 tidak hanya membutuhkan kabinet yang diisi oleh sosok profesional. Kabinet juga membutuhkan pribadi yang mampu menggerakkan pemerintahan serta memiliki pandangan dan sikap yang sama dengan Presiden.
Di tengah tingginya tuntutan terhadap kabinet, lobi dan kompromi politik dikhawatirkan membayangi penyusunannya. Tarik-menarik kepentingan ditengarai akan terjadi hingga saat terakhir menjelang pengumuman kabinet.
Kondisi ini, antara lain, dipicu oleh hubungan yang diduga tidak selalu harmonis di antara partai politik (parpol) anggota koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin, serta kemungkinan adanya penambahan parpol anggota koalisi tersebut. Lobi-lobi politik, seperti yang terjadi saat pemilihan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), juga berpotensi berpengaruh hingga penyusunan kabinet.
Oleh karena itu, lanjut Kalla, semua anggota kabinet dituntut untuk profesional dan memiliki pandangan serta sikap yang sama dengan Presiden.
Dengan kabinet seperti itu, dan melihat pengalaman Jokowi selama ini ketika memimpin Kota Solo, Jawa Tengah, hingga menjadi Presiden 2014-2019, Kalla meyakini, pemerintahan 2019-2024 akan mampu mengatasi berbagai persoalan sosial, politik, hukum, dan keamanan yang ada.
”Sebagai pemimpin, Pak Jokowi tidak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Beda (pandangan) tidak apa-apa asal untuk kepentingan yang lebih besar lagi, yaitu negara. Hal itu yang juga harus dijaga di kabinet,” kata Kalla.
Namun, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengkhawatirkan kuatnya transaksi politik dalam pemilihan anggota kabinet mendatang. Ini karena pemilihan ketua MPR pada Kamis lalu ditengarai juga tidak lepas dari lobi dan kompromi politik.
Sesaat sebelum Bambang Soesatyo dinyatakan secara aklamasi sebagai Ketua MPR pada Kamis lalu, Ketua Fraksi Partai Gerindra di MPR Ahmad Riza Patria mengatakan, fraksinya mendukung Bambang jadi Ketua MPR. Keputusan itu diambil setelah ada konsultasi antara Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Secara terpisah, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Aisah Putri Budiatri, memperkirakan, negosiasi politik dan tarik ulur komposisi kabinet masih akan terjadi hingga menjelang kabinet diumumkan, Peta politik bisa sangat berubah dengan adanya kemungkinan Partai Gerindra, Partai Demokrat, atau Partai Amanat Nasional masuk menjadi anggota koalisi pemerintah. Pada saat yang sama, komunikasi di antara parpol anggota koalisi pemerintah diduga juga tidak selamanya harmonis.
Membantah
Ketua DPP PDI-P yang juga Ketua DPR Puan Maharani membantah jika komunikasi antara Megawati dan Prabowo yang terjadi menjelang pemilihan ketua MPR terkait dengan lobi jatah menteri di kabinet. ”Posisi menteri dan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden. Partai tidak mengetahuinya,” kata Puan.
Wakil Ketua MPR dari Gerindra Ahmad Muzani juga menampik ada lobi jatah menteri di balik keputusan mundurnya dia dari pencalonan ketua MPR. ”Tidak ada pembicaraan seperti itu. Hal yang kami diskusikan terkait masalah kebangsaan,” ucapnya.
Dia menjelaskan, Prabowo memintanya untuk merelakan jabatan ketua MPR demi kepentingan strategis yang lebih besar. Selain itu, Prabowo juga melihat besarnya dukungan kepada Bambang Soesatyo.
Secara terpisah, Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, pihaknya belum diminta untuk mengusulkan nama calon anggota kabinet. ”Sejauh yang saya tahu belum (diminta usulkan nama),” katanya.
Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni menambahkan, yang paling tahu kebutuhan menteri adalah Presiden Jokowi.
(INK/DVD/NIA/NTA/REK/HAR)