Gagasan untuk melakukan amendemen terbatas UUD 1945 bisa saja dilakukan dengan catatan tidak mengubah sistem presidensial.
JAKARTA, KOMPAS - Majelis Permusyawaratan Rakyat diharapkan melibatkan publik saat membahas dan mengkaji usulan amendemen terbatas konstitusi. Perubahan UUD 1945 seyogianya tidak hanya menjadi bagian dari pembagian kekuasaan mengingat konstitusi adalah milik publik dan bukan elite. Terkait dengan hal itu, perubahannya juga harus dipandang dengan memperhatikan kepentingan publik.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (5/10/2019), di Jakarta, mengatakan, publik adalah pihak yang paling berkepentingan dengan wacana amendemen itu sehingga perlu tidaknya amendemen itu amat bergantung pada perspektif dan pendapat publik.
”Untuk mengubah undang-undang saja seharusnya meminta persetujuan publik, apalagi mengubah Undang-Undang Dasar 1945,” katanya.
Publik pun melihat wacana amendemen itu dengan kritis karena wacana itu muncul bersama dengan pemilihan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Wacana ini menjadi bagian dari lobi persyaratan dukungan kepada calon ketua terpilih.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, wacana amendemen konstitusi terbatas akan dikaji oleh MPR 2019-2024. Namun, Bambang Soesatyo menegaskan pihaknya tidak akan gegabah dan akan mempertimbangkan masukan masyarakat dalam mengamendemen UUD 1945.
Agenda amendemen terbatas itu pun merupakan salah
satu rekomendasi dari MPR periode 2014-2019, yakni menyangkut pembentukan haluan negara. Dua alternatif mengemuka di dalam rekomendasi MPR tersebut, yakni melalui amendemen konstitusi dan melalui pembentukan undang-undang.
Direktur Pusat Pengkajian dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono secara terpisah mengatakan, amendemen konstitusi boleh saja dilakukan sepanjang tidak melanggar konsensus dan prinsip dasar yang disepakati 17 tahun lalu, yaitu memperkuat sistem Presidensial. Upaya memasukkan Garis-garis Besar Haluan Negara ke konstitusi dapat saja dilakukan asal tidak mengganggu penguatan sistem presidensial.
”Sebenarnya GBHN itu norma opsional. Haluan negara dahulu pernah diatur di UUD. Tetapi sejak reformasi, haluan negara diatur melalui instrumen undang-undang. Kalau diangkat lagi menjadi materi UUD, anggota MPR harus menunjukkan apa urgensi untuk mengangkat kembali haluan negara di instrumen UUD,” ujar Bayu.
Ia pun menambahkan, amendemen konstitusi seyogianya dilakukan hanya untuk persoalan mendasar bagi bangsa yang tidak bisa diselesaikan melalui hukum biasa. Amendemen konstitusi tidak dilakukan untuk persoalan instrumental. Untuk persoalan yang bersifat instrumental ini, hal itu cukup diselesaikan melalui pembentukan undang-undang.
Tiga badan
Tiga badan dan satu komisi sedang dibentuk oleh MPR. Tiga badan itu ialah badan anggaran, badan kajian, dan badan sosialisasi. Adapun satu komisi ialah komisi ketatanegaraan. Ketiga badan dan satu komisi itu dibentuk untuk mengakselerasi kerja-kerja konstitusional MPR.
”Badan-badan dan komisi itu kan sebenarnya sudah ada di dalam MPR sebelumnya dan sekarang hanya dibentuk lagi untuk mendukung peran dan kerja MPR,” kata Arsul Sani, Wakil Ketua MPR dari Partai Persatuan Pembangunan
Badan kajian MPR nantinya bertugas untuk membantu MPR dalam merumuskan kajian kebijakan terkait kerja dan fungsi lembaga dalam sosialisasi empat pilar kebangsaan, dan kewenangan-kewenangan lainnya yang dimiliki oleh MPR, seperti pelantikan presiden dan wakil presiden, pemberhentian presiden dan wapres, serta amendemen konstitusi.
Sementara badan sosialisasi MPR berfokus pada peran MPR menyosialisasikan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Adapun badan anggaran bertugas untuk merencanakan dan mengurusi anggaran MPR dalam menjalankan tugasnya.