PKL dan Trotoar, Kawan atau Lawan?
Trotoar di Jalan Calle Mayor, tak jauh dari Puerto del Sol, Kota Madrid, pada musim gugur beberapa tahun lalu, begitu membuai para pejalan kaki. Berkilo-kilometer terlewati tanpa merasa lelah.
Penataan pedagang kaki lima dan trotoar di Jakarta merupakan isu sensitif dan pelik. Karena masalah ini, seorang gubernur bisa menuai pujian atau kritik pedas oleh warga, bahkan juga membuat polemik berkepanjangan antar-institusi negara dan daerah. Kondisi ini diperparah karena peraturan penataan jalur pedestrian yang masih tumpang-tindih.
Trotoar di Jalan Calle Mayor, tak jauh dari Puerto del Sol, Kota Madrid, pada musim gugur beberapa tahun lalu, begitu membuai para pejalan kaki. Berkilo-kilometer terlewati tanpa merasa lelah. Tak hanya dihiasi gedung-gedung tua yang disulap menjadi hotel, restoran dan butik-butik mewah, trotoar yang menjulur di pusat Madrid itu juga memberi ruang bagi pedagang kaki lima (PKL). Pada musim gugur itu, ada pedagang kacang kastanye (chestnut) yang memang khas untuk musim itu, ada PKL majalah dan koran, ataupun penjual minuman.
Keberadaan mereka terlihat begitu tertata. Letaknya sporadis, tak berderetan memenuhi satu area trotoar. Tak terlihat ada PKL yang sampai mengokupansi trotoar. Satu PKL bisa berjarak setidaknya 500 meter dari PKL lainnya. Mereka juga hanya menggunakan kios atau gerobak sangat kecil.
Keberadaan PKL di jalanan Madrid itu ibarat kawan bagi pejalan kaki yang asing di kota itu. Saat kaki mulai lelah dan dahaga menyerang, begitu mudah mengisi tenaga kembali dengan harga bersahabat, tanpa perlu menghabiskan banyak uang atau repot menunggu di kafe.
Jakarta mempunyai contoh trotoar dengan kondisi yang saling berbeda secara ekstrem. Trotoar di Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin dan trotoar di kawasan Tanah Abang, misalnya. Keduanya sama-sama tak terlalu nyaman untuk berjalan kaki dengan jarak lebih dari 1 kilometer.
Trotoar Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin memang lebar, cantik, dan tanpa PKL. Namun, di tengah panasnya cuaca Jakarta, berjalan kaki dalam jarak jauh di kawasan itu membutuhkan stamina dan bekal minum yang memadai.
Apalagi, bagi seseorang yang belum terbiasa berjalan di kawasan ini. Masalahnya adalah sulitnya pejalan kaki untuk sekadar membeli minuman di cuaca Jakarta yang begitu panas. Di trotoar sepanjang sekitar 7 kilometer itu, hanya ada satu kafe di trotoar yang cukup terlihat dari trotoar dan dapat dimasuki tanpa pemeriksaan keamanan ketat.
Untuk bisa mencari minum di kawasan perkantoran dan pusat perbelanjaan premium ini, seseorang harus masuk ke dalam pusat perbelanjaan atau tahu betul kantor mana yang mempunyai kios atau minimarket. Masuk ke tempat-tempat itu pun harus melalui pemeriksaan keamanan yang ketat. Begitu merepotkan untuk sebotol air mineral saja, dan nyaris tak mungkin bagi orang yang asing dengan kawasan ini.
Sebaliknya, di kawasan Tanah Abang, pejalan kaki akan terlalu mudah menemukan kios, warung, dan tempat makan, dan PKL yang menjual makanan dan minuman di sepanjang trotoar. Namun, jangankan untuk membeli minuman di sana, berjalan kaki pun orang akan enggan. Padatnya PKL Tanah Abang membuat trotoar nyaris tak menyisakan ruang untuk berjalan kaki dengan nyaman.
Pelik
Jakarta belum pernah selesai dengan penataan PKL dan trotoar. Beragam kebijakan sudah ditempuh, banyak wacana bermunculan disertai beragam argumentasinya.
Awal September lalu, wacana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mewujudkan trotoar multifungsi, yaitu dengan menempatkan pedagang kaki lima (PKL) di trotoar, menuai tanggapan dan kritik dari beragam pihak. Wacana itu muncul mengikuti putusan Mahkahmah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan salah satu kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana, terhadap penutupan Jalan Jati Baru untuk PKL pada 2017-2018 lalu.
Keputusan itu menyatakan Pasal 25 Ayat 1 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum bertentangan dengan Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
Pasal 25 Ayat 1 Perda DKI Jakarta Nomor 8/2007 itu berbunyi Gubernur DKI Jakarta menunjuk atau menetapkan bagian-bagian jalan atau trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima.
Pasal ini menjadi salah satu dasar aturan yang digunakan Anies dalam menutup Jalan Jati Baru Raya untuk PKL pada 2017 lalu. Kebijakan penutupan jalan itu sudah dicabut sejak 2018 sehingga sampai sekarang jalan sudah bisa digunakan. Namun, tidak dengan trotoarnya yang masih padat PKL yang nyaris tak menyisakan ruang berjalan nyaman untuk pejalan kaki.
Baca juga : MA Cabut Kewenangan Pemprov Tutup Jalan dan Trotoar untuk PKL
William menilai dengan adanya putusan MA yang perlu diikuti dengan revisi pasal di perda itu, seharusnya kebijakan itu berlaku untuk seluruh trotoar dan jalan di DKI Jakarta. Jadi tidak hanya terbatas di Jalan Jati Baru Raya di Tanah Abang. Putusan itu seharusnya membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tegas dalam mengawasi dan menindak okupansi trotoar dan jalan oleh PKL di seluruh wilayah Ibu Kota.
Sebaliknya, Anies justru menanggapinya dengan wacana mewujudkan trotoar multifungsi. Beberapa kali Anies menyatakan bahwa trotoar tak harus steril dari PKL. Ia menilai, penggunaan trotoar idealnya dibagi bersama para pengguna jalan. ”Mana yang dipakai untuk pejalan kaki, mana yang bisa untuk berjualan, dan ini yang sekarang kita akan buat di kawasan mana pembagiannya seperti apa. Ada aturannya itu,” katanya pada 4 September lalu.
”Mana yang dipakai untuk pejalan kaki, mana yang bisa untuk berjualan dan ini yang sekarang kita akan buat di kawasan mana pembagiannya seperti apa. Ada aturannya itu,” katanya pada 4 September lalu.
Ini merupakan bagian dari kesetaraan bagi seluruh kelompok warga. Rencana serta pemetaan untuk menentukan kawasan dan mewujudkan trotoar multifungsi itu tengah dirancang.
Tumpang-tindih
Semakin kuat nilai komersial, semakin alot sebuah sebuah kebijakan dirumuskan. Peliknya penataan trotoar dan PKL di Jakarta berakar dari perebutan ruang publik yang semakin sempit di Ibu Kota. Sementara Jakarta menanggung PKL yang jumlahnya ribuan orang yang membutuhkan tempat berusaha.
Begitu tingginya nilai komersial sepenggal trotoar di kawasan Tanah Abang, di awal 2017, masih ada orang-orang yang menawarkan trotoar di Jalan Jatibaru Raya dengan tarif fantastis untuk membuka lapak PKL.
Salah satu tawaran Rp 1,5 juta sebulan untuk lapak berukuran sekitar 1 meter persegi. Padahal, trotoar itu dilebarkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta yang antara lain berasal dari pajak warga.
Para ahli tata kota dan Koalisi Pejalan Kaki menentang wacana PKL di trotoar di Jakarta. Mereka menilai, aturan masih tumpang-tindih mengenai PKL dan trotoar. Undang-Undang 38/2004 tentang Jalan dan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan melarang penggunaan jalur pedestrian selain untuk pejalan kaki.
Selain itu, juga sejumlah pasal di beberapa peraturan daerah DKI Jakarta yang masih menimbulkan interpretasi beragam. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5/2014 tentang Transportasi Pasal 74, salah satunya, juga mengatur larangan penggunaan bahu jalan dan trotoar yang tak sesuai dengan fungsinya.
”Selama aturan-aturan ini masih tumpang-tindih, akan sulit untuk menentukan kebijakan untuk PKL dan trotoar. Nanti setelah dibuat kawasan-kawasan untuk PKL di trotoar, lalu ada yang menggugat lagi, bagaimana?” kata Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus.
Keberatan penempatan PKL di trotoar juga karena Jakarta mempunyai sejarah buruk dengan pembiaran PKL di trotoar sehingga mengambil hak pejalan kaki. Sudah dilarang pun, trotoar masih terus diokupansi PKL, apalagi nantinya diberi izin untuk berjualan di sana.
Alfred mengatakan, Koalisi Pejalan Kaki tak anti PKL di sepanjang jalur pedestrian. Selama, penataannya tak di atas trotoar. PKL bisa ditempatkan di lahan di tepian trotoar, tetapi di luar jalur pejalan kaki itu.
Hal ini bisa diwujudkan dengan membuat aturan yang mewajibkan pengelola gedung di sepanjang trotoar memberikan 3-5 persen lahannya untuk area PKL. Dengan demikian, trotoar tak sepi, tapi juga tak terganggu oleh keberadaan PKL. Tentu, dengan penataan yang tegas yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL. Dalam aturan itu, PKL di Jakarta harus mempunyai tanda daftar usaha (TDU) dan bisa ditindak jika melanggar TDU maupun lokasi.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun turut turun bicara terkait wacana ini. Hal ini karena Anies merujuk pada Peraturan Menteri Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Namun, dalam peraturan itu terdapat serangkaian syarat penggunaan trotoar untuk PKL. Hal itu antara lain trotoar harus minimal memiliki lebar 5 meter dengan hanya 3 meter untuk PKL dan tidak berada di jalan arteri, baik primer maupun sekunder.
Namun, dalam peraturan itu terdapat serangkaian syarat penggunaan trotoar untuk PKL. Hal itu antara lain trotoar harus minimal memiliki lebar 5 meter dengan hanya 3 meter untuk PKL dan tidak berada di jalan arteri, baik primer maupun sekunder.
Aturan-aturan ini dibuat agar keberadaan PKL tak mengganggu sirkulasi pejalan kaki. Dengan rangkaian syarat tersebut, sangat sedikit ruas trotoar di Jakarta yang bisa digunakan untuk penempatan PKL.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan, kajian tentang penataan PKL di DKI tetap akan mengacu UU dan aturan-aturan yang ada. Kajian akan dilakukan secara menyeluruh, termasuk konsep PKL yang bisa berkolaborasi dengan baik dengan pejalan kaki.
Kawan atau lawan?
Keberadaan tempat usaha di sepanjang trotoar tak bisa dimungkiri memang menunjang keberadaan dan keamanan pejalan kaki selama jumlahnya dan lokasinya ditata. Keberadaan toko-toko kecil, warung, kafe, tempat makan, dan kios di sepanjang jalur trotoar ibarat sebuah jaringan yang menghidupi trotoar dan mengawasinya selama 24 jam sehari.
Sebuah sistem pengamanan alamiah yang tak tertandingi oleh kekuatan aparat mana pun. Hal ini karena jumlah aparat tak akan pernah sebanding dengan banyaknya jalan dan trotoar yang harus diawasi. Adanya jaringan ini sepanjang waktu membuat pejalan kaki aman, nyaman, dan mudah terpenuhi kebutuhannya saat berjalan kaki.
Di Jakarta, salah satu tempat paling nyaman untuk berjalan kaki adalah kawasan Cikini. Di sepanjang jalan itu ada kafe-kafe, tempat makan, dan toko-toko kecil yang buka sepanjang hari hingga malam hari. Tempat itu tak pernah sepi, namun juga tak padat sehingga mengganggu lalu lintas pejalan kaki. Tak banyak PKL yang mengganggu trotoar di sana. Kios-kios kecil atau sepeda keliling mudah ditemui di mulut-mulut gang atau menempati tempat secara sporadis, tak berderet panjang seperti di Tanah Abang.
Seperti disebutkan Jane Jacobs dalam bukunya, The Death and Life of Great American Cities, untuk mewujudkan jalan yang aman dan nyaman ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama adalah harus ada garis demarkasi jelas antara ruang publik dan ruang privat. Kedua, harus ada mata yang terus mengawasi sepanjang waktu, mata yang merupakan bagian alami dari jalan dan trotoar itu sendiri, di antaranya para pemilik tempat-tempat usaha di sepanjang alur trotoar.
Dan ketiga, trotoar harus memiliki pengguna sepanjang waktu, yang fungsinya untuk menambah mata di jalan dan menarik orang di gedung-gedung di sepanjang jalan itu untuk turut mengawasi apa yang terjadi di jalanan. Sebab, sudah sifat manusia untuk melihat dan dilihat. Trotoar yang paling tak enak dilihat tentunya adalah trotoar yang sepi tanpa pengguna.
Lawan atau kawan keberadaan PKL bagi pejalan kaki sangat tergantung dari penataan dari pemerintah. Kehadiran pemerintah sebuah kota pun paling mudah diukur dari penataan jalan dan trotoarnya. Trotoar yang aman dan nyaman bagi seluruh pihak menunjukkan kehadiran pemerintah semakin nyata.
Baca juga : Wajah Baru Tebet dan Lenteng Agung Bakal Terlihat Tahun 2022