HONG KONG, JUMAT -- Warga Hong Kong menentang aturan baru yang diumumkan Pemimpin Eksekutif Carrie Lam, Jumat (4/10/2019), untuk meredakan rangkaian unjuk rasa. Mereka menggugat aturan itu dan tetap turun ke jalan selepas aturan baru diumumkan. Bahkan, kericuhan pecah di beberapa lokasi.
Lam mengumumkan larangan penggunaan topeng oleh siapa pun di tengah kerumunan massa. Pelanggar dapat dipenjara hingga setahun. Larangan itu berlaku mulai Sabtu ini. Lam berharap aturan itu bisa meredakan rangkaian unjuk rasa yang mengguncang Hong Kong sejak Juni 2019.
Pengunjuk rasa menggunakan penutup wajah karena dua alasan utama. Pertama, mengantisipasi dampak gas air mata dan tembakan peluru karet ataupun peluru pundi kacang (bean-bag round) yang digunakan polisi untuk membubarkan massa. Kedua, menghindari pengenalan aparat terhadap pengunjuk rasa melalui wajah. Ini membuat mereka ditangkap sehingga berakibat buruk bagi masa depan mereka.
Namun, warga membangkang. Bahkan, ribuan orang tetap berunjuk rasa sembari mengenakan aneka penutup wajah di berbagai penjuru Hong Kong kala Lam mengumumkan larangan itu. ”Polisi juga memakai penutup wajah waktu bertugas dan tidak menunjukkan identitas. Jadi, saya akan tetap memakai penutup wajah,” kata salah seorang pengunjuk rasa, Ernest Ho.
”Apakah mereka akan menangkap 100.000 orang di jalan? Pemerintah mencoba mengintimidasi, dan saya tidak yakin warga akan takut,” ujar Lui, pengunjuk rasa lain.
Unjuk rasa pada Jumat sore kemarin juga diikuti kericuhan di berbagai lokasi. Para pengunjuk rasa terutama merusak kamera-kamera pengawas. Mereka juga membakar aneka hal di jalan-jalan di Hong Kong.
Sejumlah pihak khawatir, larangan topeng hanya pembuka kebijakan lebih keras. ”Ini langkah berbahaya. Jika aturan soal topeng tidak efektif, akan ada aturan lebih keras, seperti jam malam dan kebijakan lain yang mengancam kebebasan sipil,” kata Willy Lam, dosen di Chinese University of Hong Kong.
Kekerasan kepada jurnalis
Perlawanan terhadap aturan itu tidak hanya berwujud unjuk rasa. Beberapa saat setelah Lam mengumumkan aturan itu, sejumlah warga Hong Kong mendaftarkan gugatan untuk mementahkan aturan itu.
Gugatan lain terkait unjuk rasa didaftarkan Asosiasi Jurnalis Hong Kong (HKJA). Mewakili HKJA, kantor hukum Vidler & Co Solicitors meminta kepolisian dan Departemen Kehakiman Hong Kong bertanggung jawab atas kekerasan polisi terhadap jurnalis peliput unjuk rasa. HKJA menyebut polisi sengaja menyasar jurnalis dan menghalangi peliputan.
Sejak rangkaian unjuk rasa, memang banyak jurnalis menjadi sasaran kekerasan. Korban terakhir adalah Veby Mega Indah, jurnalis Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Namun, meskipun menjadi penasihat hukum Veby gara-gara insiden tersebut, Vidler & Co Solicitors tidak memasukkan kasus Veby dalam berkas gugatan HKJA. (*/AP/REUTERS)