Celoteh Kota Wendy
Hobinya memang menyelam. Bukan saja menyelami keindahan surga bawah laut, melainkan juga seluk-beluk kota kelahirannya tercinta: Jakarta. Di mata Wendy Haryanto, Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute, keduanya bermuara sama, yakni memberi balik kepada lingkungan yang telah menyediakan segala sumber daya.
Jakarta, siang itu di bulan September, sinar matahari terik menyengat. Di taman di lantai 11 gedung tempatnya berkantor, Wendy tengah berpose untuk pemotretan. Di latar belakang, gedung-gedung tinggi tampak samar-samar karena dikepung polusi udara.
”Sedih deh melihatnya,” komentar Wendy.
Bagaimanapun, di mata Wendy, kota adalah sebuah organisme yang hidup. Jakarta bukan sekadar kumpulan bangunan yang dihuni jutaan manusia. Kota ini bernapas dan berkembang meskipun kini terasa tidak terkendali.
Kalau diumpamakan laba-laba, lanjut dia, Jakarta ini tangannya sudah sangat panjang dan jaringnya pun sudah sangat lebar. ”Kalau dibilang kota ini ketinggalan dengan kota lain, saya bilang tidak. Itu karena kita baru memperhatikan hal lain. Begitu kita sekarang memperhatikan infrastruktur, gubrak-gubrak... ngebutnya enggak kira-kira,” tuturnya.
Sudah empat tahun ini Wendy berkecimpung di Jakarta Property Institute (JPI) meski sebenarnya dia sudah terjun ke dunia properti sejak 1994. Dalam bidang properti, Wendy bisa dibilang sudah mencicipi semua aspeknya. Ia mulai dengan berada di posisi konsultan, pemasaran, pembangun, operator, pengembangan bisnis, hingga manajemen.
Namun, Wendy merasa pada semua segmen itu selalu ada saja hal yang menghambatnya, misalnya terkait desain pembangunan, penyelesaian pembangunan, atau infrastruktur. Tahun 2013, dia memutuskan untuk menghentikan karier di sektor properti.
Keputusan itu ia ambil karena merasakan bahwa di semua sisi sektor properti seolah berjalan di tempat, tidak ada pengembangan cara praktiknya. ”Hopeless deh. Saya mundur jadinya dan mulai berpikir untuk mencari ide berkarier di tempat lain,” kenangnya.
Namun, ketika ditawari mengelola JPI, dia melihat ada celah untuk mengembangkan diri, sekaligus mengembangkan kotanya. JPI adalah lembaga nirlaba berbasis keanggotaan dengan misi membuat Jakarta menjadi kota yang lebih layak huni. Lembaga ini melakukan riset, berkolaborasi dengan para pakar, dan memfasilitasi dialog antar-pemangku kepentingan untuk memecahkan persoalan perkotaan.
Dalam waktu yang terbilang belum lama, Wendy merasa belajar tentang pembangunan perkotaan lebih banyak dibandingkan dengan seluruh waktu kariernya sebelum itu. Tak hanya belajar, tumbuh pula empati terhadap hal-hal yang biasanya tidak dipedulikan. Rasa kepemilikan pun semakin tebal tumbuh dalam hatinya.
Mengurus ikan
Kendati kini bisa dikatakan menguasai banyak persoalan perkotaan, langkah awal Wendy sebenarnya jauh dari hal yang berbau isu urban. ”Pertama kali terjun di sini (JPI), pertanyaan yang saya dapat: Kamu urban planner? Bukan. Arsitek? Bukan. Guru? Bukan. Mungkin karena namanya institut, ya,” ujarnya disertai derai tawa.
Latar belakang pendidikan Wendy adalah bisnis internasional. Jurusan itu diambilnya sebatas memenuhi keinginan orangtua. ”Cita-cita saya sebenarnya adalah (jadi) ahli biologi kelautan karena dari dulu saya senang laut. Kalau saya boleh memilih ketika saya kuliah, saya akan pilih itu,” katanya.
Tetapi, lanjut dia, orangtuanya langsung mempertanyakan, ”Kamu mau jadi apa? Kamu mau ngurus ikan? Mau makan apa?”
Selesai kuliah, persentuhan pertamanya memang langsung berhubungan dengan sektor properti. Setelah itu, seolah segala aspek sektor tersebut selalu mengikuti langkahnya. Sudah telanjur kecemplung, ujar Wendy, jadi tanggung, sekalian saja menyelam sedalam-dalamnya.
Begitu dalamnya menyelami kota, dia begitu fasih mengupas berbagai isu perkotaan. Dalam obrolan yang terbilang singkat, dia telah melontarkan beragam masalah yang membelit Jakarta, mulai dari soal regulasi yang dibikin secara tergesa-gesa, eksekusi program yang tidak berjalan, hingga pengadaan rumah susun yang terhambat.
Tak ketinggalan juga soal perbaikan kampung kota, area hijau terintegrasi yang diperlukan segera, kota sepeda yang sulit terwujud, hingga perekonomian Jakarta saat akhir pekan yang bagaikan donat: bolong di tengah kota, padat di pinggiran.
Celotehnya lancar mengalir dari satu isu ke isu lain. Kadang terlontar rasa gemasnya terhadap orang-orang yang hanya ingin hidup enaknya saja di Jakarta.
”Saya sering memberikan kuliah umum. Pernah saya pancing mereka dengan pertanyaan, ’KTP kamu gunanya apa? Apa kewajiban dan tanggung jawab yang melekat padanya? Jangan cuma bisa minta hak saja’,” ucap Wendy.
Hidup di Jakarta, bagi dia, tidak pernah membosankan. Selalu ada saja yang terjadi. Karena itu, kita dituntut harus bisa selalu beradaptasi.
Jeda
Dia memberikan jeda pada isu-isu properti itu dengan beragam hobi. Membaca, mengerjakan puzzle, mengoleksi karya seni, mengunjungi museum, dan terutama menyelam di laut. Tak hanya memuaskan diri pada keindahan keanekaragaman hayati di bawah laut, Wendy turut berkontribusi menjaganya. Dia sudah sama sekali tidak menggunakan sedotan plastik.
Saat menyelam, dia juga tidak mau memakai plester pada kakinya untuk mencegah lecet karena sepatu selam. Takut dimakan ikan, katanya.
”Yang ngenes, kita sudah hati-hati begitu, eh lihat sampah di laut sudah kayak aliran sungai. Mengalir mengikuti arus. Bentuknya seribu satu, sampai styrofoam untuk penyimpan peralatan medis pun ada,” tuturnya.
Wendy pun sering menjadi sukarelawan terkait penyelamatan satwa, terutama satwa laut. Sudah lama dia ingin mencari tahu tentang hiu paus (whale shark) yang masih menyimpan banyak misteri, tetapi belum kesampaian.
Ia akhirnya menemukan pusat penelitian penyu di Maladewa yang membuka matanya terhadap kehidupan reptil itu. Kalau penyu stres, ia akan melesat ke permukaan dan mengambang dalam waktu lama, membuat paru-parunya koyak. Mereka juga sering kehilangan kaki karena terkena jaring nelayan yang tajam.
Wendy menjadi sukarelawan untuk membersihkan tangki tempat penyu-penyu yang diselamatkan itu belajar menyelam kembali atau berenang dengan sirip yang tidak lagi utuh.
”Itulah, apa yang telah kita lakukan untuk kehidupan laut? Sama halnya dengan bicara kota. Kita sudah mengambil banyak sumber daya dari kota. Apa yang kita beri balik?”
Wendy Haryanto
Lahir: Jakarta, 3 Agustus 1970
Pendidikan: Bachelor of Arts in International Business, San Diego, California, Amerika Serikat
Pengalaman karier, antara lain:
- Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute (2015-sekarang)
- Chief Operating Officer, a mixed use development of apartment towers, office building, and a shopping mall
- Direktur Procon/Savills Indonesia
- Department Head Procon/Savills Indonesia
- Indonesia Representatives for East West Hospitality Group