Kerusuhan Wamena, Papua, akhir September lalu, menyisakan luka mendalam. Perantau Minang diingatkan agar berpegang teguh pada ajaran adat yang menyeru pada sikap adaptif di mana saja.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perantau Minang yang masih bertahan di Papua diminta untuk semakin meningkatkan persaudaraan dengan masyarakat lokal. Perantau Minang seharusnya dapat berpegang teguh pada ajaran adat yang menyeru pada sikap adaptif di mana saja.
Salah satu penyintas kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua, Helmi Chaniago (53), menyatakan, sekitar 300 perantau Minang masih bertahan di Wamena. ”Secara fisik, keadaannya sehat, tetapi masih trauma akibat kerusuhan itu,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Kerusuhan yang pecah di Wamena pada 23 September lalu mengakibatkan 33 korban tewas. Sembilan di antaranya merupakan orang Minang. Helmi tidak menyangka kerusuhan di Wamena itu bisa sedemikian keras dampaknya. Padahal, salah satu hal yang membuatnya puluhan tahun betah di Papua adalah perkawanan yang tidak membedakan suku, ras, dan agama.
”Sekali sudah dekat dengan orang Papua, mereka tidak akan pernah melupakan. Ini berbeda dengan tipikal sebagian orang kita (Minang) yang kadang cenderung bernafsi-nafsi,” kata perantau yang menginjak ”Bumi Cenderawasih” tahun 1990 ini.
Dalam ajaran adat Minangkabau, perantau dituntut untuk berjuang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Ini tergambar dari pepatah di bawah ini:
Jika anak pergi ke lepau, hiu beli belanak beli. Ikan panjang beli dahulu
Jika anak pergi merantau, ibu cari dunsanak (keluarga) cari. Induk semang cari dahulu
Pengertian induk semang, menurut budayawan Minangkabau, Syuhendri, tidak terbatas pada orang yang bertalian darah atau orang satu kampung. Rantau dimaknai sebagai medan belajar tentang kehidupan.
Karena itu, anjuran untuk mencari induk semang melampaui urusan ekonomi. Mencari induk semang merupakan upaya untuk merajut silaturahmi dengan semua orang di perantauan. ”Yang membentuk perilaku perantau Minang itu adalah lingkungannya yang beragam. Makanya sejak dulu diminta untuk tidak eksklusif, tetapi cair,” katanya.
Syuhendri menyatakan, kerusuhan di Papua, beberapa waktu lalu, menjadi momentum untuk lebih merekatkan perantau Minang dengan orang Papua. Pendekatan budaya bisa menjadi salah satu jalan yang ditempuh.
”Kita (Minangkabau) saja bisa memberikan gelar adat kepada orang di luar Minang. Mengapa tidak kita coba melakukan hal yang sama? Misalnya saja dengan menjadi ’kemenakan’ dari ninik mamak (kepala suku) di situ. Dengan begitu, mereka merasa perantau Minang bagian dari mereka yang harus dilindungi,” katanya.
Sejarah mencatat, diaspora Minang di Nusantara tidak pernah membentuk kampung baru di perantauan. Tidak pernah terdengar wilayah bernama kampung Minang. Peneliti di Universitas Leiden, Belanda, Surya Suryadi, dalam blog pribadinya mengatakan, terbentuknya kampung-kampung etnis (kampung Ambon, kampung Cina, kampung keling, dan lain-lain) tak lepas dari dorongan konsolidasi penjajahan Belanda di Nusantara melalui serikat dagangnya (VOC) pada abad ke-17.
Dengan motif terpaksa atau sukarela, banyak kelompok etnis yang pindah, terutama ke wilayah pelabuhan. Kebanyakan kelompok tersebut belum menguasai bahasa Melayu yang menjadi lingua franca waktu itu. Dengan demikian, komunikasi dengan etnis lain tidak terjalin.
Sebaliknya, kata Suryadi, orang Minang justru rerata berbahasa Melayu. Ini membuat komunikasi lebih cair dengan etnis lain yang telah lebih dahulu bermukim di perantauan. Ditambah lagi, sifat independen nagari-nagari di Minangkabau juga ikut memengaruhi kohesi sosial antara sesama orang Minang di rantau.
”Faktor internal kebudayaan Minangkabau dan faktor bahasa tidak saja memengaruhi jenis pekerjaan yang disukai orang Minang di rantau, tetapi juga memengaruhi cara mereka hidup dengan sesamanya dan dengan orang-orang dari kelompok etnis lain,” katanya.