Terbang di Langit Segitiga Emas
Gunung tinggi, landasan mendarat luas, pemandangan indah, dan warga yang ramah membuat Telomoyo Cup, ajang lomba gantole, dinantikan para peserta.
Gunung tinggi, landasan mendarat luas, pemandangan indah, dan warga yang ramah membuat Telomoyo Cup, ajang lomba gantole, dinantikan para peserta. Warga Semarang dan sekitarnya pun girang karena mendapat hiburan.
Titik lepas landas pada ketinggian 1.750 meter di atas permukaan laut, pesona Rawa Pening, hingga luasnya lokasi mendarat membuat Telomoyo Cup selalu dinanti para penerbang gantole. Di langit Kabupaten Semarang, titik tengah Yogyakarta-Solo-Semarang, wilayah yang sering disebut sebagai segitiga emas, mereka pun berpusar.
Jumat (20/9/2019) siang, di atas aspal mulus selebar 3 meter, sekitar 100 meter dari puncak Gunung Telomoyo, puluhan gantole berjajar di sepanjang jalan. Para empunya gantole tak ada di sana. Sebagian beribadah shalat Jumat, sebagian lagi makan dan bersantai.
Sekitar pukul 12.30, para penerbang bersiap. Jaket, kacamata, helm, dan alat pendeteksi posisi (GPS) mereka siapkan. Begitu juga alat pengaman di ketinggian (harness) yang dilengkapi kantong. Saat di udara, perut hingga kaki para penerbang akan masuk ke kantong itu layaknya kepompong.
Pukul 13.00, penerbangan dimulai. Giliran pertama ialah penerbang asal Jepang, Suzuki Mikiko (56), yang pada Telomoyo Cup kali ini menjadi pemantau angin (wind dummy). Begitu meluncur, puluhan warga yang menyaksikan menahan napas. Mikiko pun terbang seperti layang-layang.
Di ajang tahunan itu, Mikiko dua kali menjadi pemantau angin, sekali sebagai peserta. ”Terbang dari Telomoyo ini seru, dinamis, dan menyenangkan. Gunungnya tinggi dan landasan mendaratnya pun luas sehingga nyaman bagi para penerbang. Warganya juga ramah,” ujarnya.
Menurut salah seorang peserta lomba, Andre Kartowisastro (49), yang juga atlet DKI Jakarta, ajang Telomoyo Cup bagus dan menjanjikan. Ketinggian dan alam terbuka memudahkan mencari angin untuk mendapatkan ketinggian.
Andre menuturkan, Telomoyo Cup adalah ajang yang ditunggu para penerbang gantole. ”Dengan dukungan pemerintah daerah yang membuatkan akses ke puncak dan keseruan di tempat mendarat, penyelenggaraannya semakin baik. Ini cocok untuk kelas internasional,” ujar Andre.
Ajang 5thTelomoyo Cup digelar pada 15-22 September 2019 dan diikuti 43 atlet gantole se-Indonesia, serta dari Jepang dan Jerman. Lepas landas dari puncak Gunung Telomoyo, para peserta mendarat di hamparan sawah kering di Desa Sraten, Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang terletak di tepian Rawa Pening.
Dengan kategori lomba lintas alam (cross country), ada tiga kelas yang dilombakan di Telomoyo Cup, yakni Floater, Terbuka, dan Sport. Para peserta diberi penugasan berupa 5-7 titik yang harus dicapai, seperti Jembatan Tuntang, Jalan Lingkar Salatiga, dan Kampung Kopi Banaran.
Peserta yang mampu menyelesaikan semua tugas dengan catatan waktu terbaik akan mendapat skor tertinggi. Nantinya skor akan dijumlahkan dari hari pertama hingga keenam. Namun, pada Kamis (19/9), lomba ditiadakan karena cuaca tidak mendukung sehingga total hanya ada lima penerbangan.
Ketua Pertandingan 5th Telomoyo Cup Arif Nursilo mengatakan, setiap hari tugas yang diberikan berbeda. ”Tergantung dari cuaca. Jadi, soal yang diberikan pun melihat kondisi cuaca. Dengan soal-soal yang ada, waktu yang dibutuhkan penerbang berkisar 2-4 jam,” ujarnya.
Memburu termal
Setelah lepas landas, para penerbang gantole mencari termal atau udara hangat akibat penghangatan permukaan bumi. Melalui termal itu, para peserta dapat meningkatkan ketinggian di udara. Mencari ketinggian penting demi terselesaikannya tugas-tugas yang diberikan.
Nanang Wawan (42), salah satu peserta yang juga atlet Kalimantan Timur, mengatakan, ketinggian yang dicapainya hingga sekitar 2.400 mdpl.
”Mencari ketinggian penting karena kami akan terbang jauh untuk menuntaskan soal-soal. Bukan hal mudah untuk menuntaskan semua soal di lomba,” katanya.
Menurut Nanang, olahraga dirgantara seperti gantole penuh kejutan. Meskipun lokasi sama, tantangan yang dihadapi akan berbeda-beda setiap hari. Sebab, menyangkut kondisi angin dan termal yang ada. Hal tersebut yang menghadirkan keseruan sekaligus memacu adrenalin.
Ridho (22), peserta asal Padang, Sumatera Barat, mengaku baru 1,5 tahun menekuni gantole. Ia masih meraba-raba tentang bagaimana mencari termal dan memanfaatkan untuk mencapai ketinggian. Ia lebih mencari keseruan dan tantangan ketimbang ambisi menjadi juara.
Apalagi, ini adalah pertama kalinya ia mengikuti Telomoyo Cup. ”Di sini memang berbeda karena (titik lepas landas) sangat tinggi dan cocok untuk perlombaan race to goal (lintas alam terbatas). Pemandangannya pun indah, ditambah warga yang ramah,” ujar anggota klub Sipatuang Hang Gliding itu.
Selain Telomoyo, banyak daerah di Indonesia yang kerap dijadikan tempat kejuaraan gantole, di antaranya Wonogiri (Jateng), Parangtritis (Daerah Istimewa Yogyakarta), serta Majalengka dan Cililin (Jawa Barat). Dengan ketinggian dan kondisi alam yang berbeda, tantangannya juga akan berbeda.
Andre menilai, perkembangan gantole sudah semakin baik. ”Ini menjelang ketiga kalinya gantole diperlombakan di PON (Pekan Olahraga Nasional). Artinya
sudah mengarah ke prestasi. Ke depan, mudah- mudahan atlet Indonesia juga
bisa berbicara di event internasional,” katanya.
Warga antusias
Setiap tahun, Telomoyo Cup selalu menarik perhatian warga. Sejumlah warga Semarang dan sekitarnya rela naik ke puncak Gunung Telomoyo demi menyaksikan para penerbang gantole lepas landas. Tentu, ke puncak Telomoyo tak mesti mendaki karena ada jalan beraspal yang bisa dilalui kendaraan.
Dari Ambarawa, misalnya, pada jalur lama yang melewati Kecamatan Getasan, jarak yang ditempuh mencapai 37 kilometer. Melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jateng, dibuat jalan baru cor beton sepanjang 1,6 kilometer dari Desa Sepakung, Banyubiru, hingga puncak Telomoyo. Melalui jalan baru ini, jarak ke puncak menjadi 12,6 kilometer.
Jika lewat Getasan perlu waktu 1,5 jam untuk mencapai puncak Telomoyo, kini lewat Sepakung hanya perlu 30-40 menit.
Ryos Arizal (22), warga Ungaran, mengatakan, ia antusias menyaksikan para penerbang gantole lepas landas. ”Deg-degan juga melihat gantole take-off, tetapi seru. Mudah-mudahan kegiatan seperti ini semakin sering karena menjadi hiburan. Seperti melihat burung raksasa terbang,” ujarnya.
Di sekitar tempat mendarat, pengunjung lebih banyak lagi. Pada sore hari selama gelaran olahraga dirgantara itu berlangsung, Desa Sraten dikunjungi ribuan warga, terutama pada akhir pekan. Mereka semakin tertarik karena Pemerintah Kabupaten Semarang menggelar sejumlah acara kesenian di sana.
Raka (27), warga Tengaran, yang datang ke Desa Sraten bersama teman-temannya, mengatakan, Telomoyo Cup tahun ini lebih seru.
”Selain ada panggung kesenian, tempat mendaratnya luas sehingga bisa melihat gantole mendarat dengan jelas. Juga bisa foto-foto dengan pilotnya,” ujarnya.
Kepala Seksi Pengembangan Pasar Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Jateng Tanti Apriani mengatakan, sejauh ini Telomoyo Cup di Kabupaten Semarang menjadi kegiatan gantole yang paling berkembang. Memasuki tahun kelima, kompetisi gantole itu diikuti sejumlah peserta dari luar negeri.
”Telomoyo Cup menjadi yang utama dikembangkan. Selain dekat dengan Borobudur juga telah diselenggarakan kelima kalinya. Kami dukung dengan pembangunan akses jalan ke puncak Telomoyo. Kami harapkan terus berkembang dan makin menarik para wisatawan,” ujar Tanti.