Aturan Trotoar Masih Tumpang-tindih
JAKARTA, KOMPAS— Penataan trotoar di Jakarta menghadapi tarik ulur berbagai kepentingan. Aturan yang ada pun belum semuanya selaras. Pemerintah daerah masih punya tugas untuk menata trotoar sebagai satu kesatuan sistem transportasi sekaligus penataan kota.
Pemerhati masalah transportasi, Budiyanto, Minggu (6/10/2019), berpendapat, pembangunan kapasitas jalan hingga mencapai angka ideal lebih mendesak dibandingkan pelebaran trotoar. Ia beralasan, saat ini pengguna kendaraan bermotor lebih banyak dibandingkan pejalan kaki. Trotoar disebutnya hanya ramai pengguna pada waktu tertentu.
”Sekarang, kan, kita masih dihadapkan pada masalah kemacetan. Nah, trotoar tinggal ditata saja,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2015, panjang jalan di Jakarta 6.955,8 kilometer dan luas total dari seluruh badan jalan 48,5 km persegi. Itu berarti luas jalan di DKI baru 7,3 persen terhadap luas total wilayah yang angkanya 661,5 km persegi. Budiyanto berpendapat, luas jalan yang ideal, jika mengacu di negara-negara maju, adalah 12 persen-15 persen dibandingkan dengan luas total wilayah.
Budiyanto menekankan, satu masalah tidak bisa hanya diselesaikan dengan satu kebijakan. Untuk mengantisipasi pertumbuhan jumlah kendaraan karena penambahan kapasitas jalan, kebijakan pembatasan jumlah kendaraan perlu diterapkan secara paralel. Contohnya, kebijakan jalan berbayar elektronik (ERP).
Budiyanto menekankan, satu masalah tidak bisa hanya diselesaikan dengan satu kebijakan. Untuk mengantisipasi pertumbuhan jumlah kendaraan karena penambahan kapasitas jalan, kebijakan pembatasan jumlah kendaraan perlu diterapkan secara paralel. Contohnya, kebijakan jalan berbayar elektronik (ERP).
Ia ragu proyek pelebaran trotoar akan mendorong pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Sebab, angkutan umum di Jakarta secara kualitas dan kuantitas bagi dia belum memadai kebutuhan pergerakan seluruh warga. Apalagi, kebijakan perluasan trotoar secara otomatis mengurangi kapasitas jalan yang amat dibutuhkan untuk menurunkan kemacetan.
Dinas Bina Marga DKI mencanangkan revitalisasi trotoar di 31 ruas jalan yang dilayani transportasi umum. Tahun ini, revitalisasi yang disertai pelebaran untuk trotoar yang masih sempit menyasar sepuluh ruas terlebih dahulu, salah satunya di Jalan Kramat Raya-Jalan Salemba, Jakarta Pusat.
Dalam pantauan di ruas jalan itu pada Minggu siang, kemacetan terjadi setidaknya dari depan kampus Universitas Indonesia Salemba hingga simpang Jalan Kramat Raya-Jalan Raden Saleh jika mengarah ke utara. Jika ke selatan, kendaraan terkena macet dari simpang lima. Kecepatan mengendarai sepeda motor berkisar 20-30 kilometer per jam.
Area jalan yang bisa dilewati makin sempit dan di beberapa titik dibatasi dengan pagar seng proyek trotoar. Para pengendara juga terhalang sejumlah mobil yang diparkir di sisi luar pagar seng, sehingga makin mengurangi kapasitas jalan.
Namun, sejumlah pengendara mobil tidak menentang program revitalisasi trotoar di Jalan Kramat Raya-Jalan Salemba Raya. Seorang pengemudi angkutan kota dengan rute Johar Baru-Salemba, Andri (30), mengakui, kemacetan bisa semakin membuat pengendara stres, tetapi ia mengikuti kebijakan pemprov.
“Semoga tambah banyak yang ganti pakai kendaraan umum, jadi yang naik mobil pribadi berkurang. Kan ada juga transjakarta, yang bisa lurus terus tidak ada halangan,” ujar dia.
Pengemudi mobil pengangkut perlengkapan elektronik, Odi (74), juga tidak mempermasalahkan berkurangnya kapasitas jalan untuk dilalui kendaraan bermotor karena ia masih bisa mencari jalur-jalur alternatif. Namun, ia berharap revitalisasi trotoar disertai penataan utilitas, termasuk saluran drainase untuk menekan risiko genangan air.
Trotoar multifungsi
Awal September lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mewacanakan trotoar multifungsi, yaitu dengan menempatkan pedagang kaki lima (PKL) di trotoar. Wacana itu mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan kader Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana, terhadap penutupan Jalan Jati Baru untuk PKL pada 2017-2018.
Keputusan itu menyatakan Pasal 25 Ayat (1) Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum bertentangan dengan Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Karena itu, aturan DKI tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
Pasal 25 Ayat (1) Perda DKI No 8/2007 berbunyi, Gubernur DKI Jakarta menunjuk atau menetapkan bagian-bagian jalan atau trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima.
Pasal ini menjadi salah satu dasar aturan yang digunakan Anies menutup Jalan Jati Baru Raya untuk PKL pada 2017. Kebijakan penutupan jalan sudah dicabut sejak 2018 sehingga jalan bisa digunakan. Namun, tidak dengan trotoar yang masih penuh PKL sehingga nyaris tidak menyisakan ruang nyaman untuk pejalan kaki.
UU No 38/2004 tentang Jalan dan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan melarang penggunaan jalur pedestrian selain untuk pejalan kaki. Selain itu, sejumlah pasal di beberapa perda DKI masih menimbulkan interpretasi beragam. Pasal 74 Perda DKI No 5/2014 tentang Transportasi, salah satunya, mengatur larangan penggunaan bahu jalan dan trotoar yang tak sesuai dengan fungsinya.
”Selama aturan ini tumpang-tindih, akan sulit untuk menentukan kebijakan PKL dan trotoar. Nanti setelah dibuat kawasan untuk PKL di trotoar, bagaimana kalau ada yang menggugat lagi?” tutur Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki.
Baca juga : PKL dan Trotoar, Kawan atau Lawan?