Sehari setelah mengukuhkan 13 kardinal baru, Paus Fransiskus, Minggu (6/10/2019), membuka sinode, atau biasa disebut dengan sidang majelis gereja, membahas upaya-upaya memperjuangkan komunitas adat Amazon yang miskin dan terisolasi. Dalam sinode itu,
Paus mengecam ”kepentingan” destruktif yang ia persalahkan atas kebakaran yang menghancurkan Amazon. Di hadapan para uskup yang hadir dalam sinode itu, Paus Fransiskus mendesak mereka untuk berani mengguncang status quo. Sikap itu tidak bisa dilepaskan dari pilihan Paus untuk berpihak pada kelompok-kelompok terpinggirkan yang miskin dan nyaris tanpa harapan.
Sehari sebelumnya, pesan itu terwujud dalam para kardinal baru yang dipilihnya. Paus, antara lain, memilih Pastor Michael Czerny SJ yang pernah bekerja di antara warga miskin di El Salvador dan Kenya. Kardinal Czerny dikenal pula sebagai pakar tentang migrasi. Sebagaimana dikatakan kantor berita Reuters, pilihan Paus pada sosok ini mencerminkan kepedulian Paus sendiri pada isu migran.
Selain itu, Paus pun memilih beberapa uskup dari negara-negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim. Ia mengangkat Uskup Cristobal Lopez Romero, Uskup Keuskupan Rabat, Maroko, dan Uskup Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dari Keuskupan Agung Jakarta. Para kardinal baru itu menjadi wakil Paus dalam dialog dengan komunitas Muslim.
Dalam isu lain, Paus mengukuhkan Kardinal Alvaro Leonel Ramazzini Imperia dari Guatemala. Uskup berusia 72 tahun itu dikenal sebagai sosok yang dekat dan berjuang untuk petani kopi dan aktif memimpin kampanye melawan polusi yang disebabkan penambangan. Para kardinal itu merefleksikan sikap Vatikan atas apa yang dapat diwakilkan lewat kata compassion atau belas kasih.
Dari sejumlah sumber, kata compassion berakar pada kata Latin pati yang berarti ’menderita’. Dalam pembentukannya, kata pati mendapat tambahan com yang bermakna ’bersama dengan’. Dalam pesannya saat upacara pengukuhan para kardinal baru itu, Paus mengajak para kardinal menunjukkan sikap compati atau ’bersama dengan mereka yang menderita’ itu.
Dalam konteks global, pesan Paus itu sejatinya tidak hanya berhenti di sekitar tembok gereja. Pesan itu seperti ketukan pada setiap pintu rumah warga, kantor-kantor pemerintahan, dan istana para presiden atau pemimpin dunia.
Dalam konteks global, pesan Paus itu sejatinya tidak hanya berhenti di sekitar tembok gereja. Pesan itu seperti ketukan pada setiap pintu rumah warga, kantor-kantor pemerintahan, dan istana para presiden atau pemimpin dunia.
Berseraknya puluhan juta pengungsi yang hidup di tenda-tenda kumuh di sejumlah negara, anak-anak dan perempuan yang menjadi korban perang, serta mereka yang kelaparan karena konflik dan kemiskinan membutuhkan tidak hanya simpati, tetapi juga empati warga dunia.
Empati itu dapat diwujudkan, antara lain, dengan terus-menerus mengupayakan perdamaian dan berbagi tanggung jawab. Namun, harus diakui, bukan perkara mudah untuk mewujudkannya karena ada rentetan kepentingan, perbedaan ideologi dan sejarah, serta batasan lain yang menjadi kendala.
Akan tetapi, kendala-kendala itu bukanlah titik akhir yang tidak dalam dilampaui. Dunia yang pernah dihajar dua perang global akhirnya menyadari bahwa mekanisme multilateral adalah cara terbaik untuk menjawab semua batasan itu. Pilihan pada cara bertindak bersama itu pulalah yang melahirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pekan lalu, di New York, lewat mekanisme yang ada di dalam tubuh PBB, dunia kembali diingatkan untuk bersimpati dan berempati pada situasi masa kini. Salah satunya, Sekjen PBB Antonio Guterres menegaskan pentingnya aksi iklim karena ancaman perubahan iklim semakin nyata.
Guterres pun mengajak para pemimpin negara-negara untuk mengambi langkah bersama mengurangi kemiskinan yang menjadi salah satu target Pembangunan Berkelanjutan 2030. Semua misi itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri.