Praktik pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kabupaten Brebes, Jateng masih terjadi hingga saat ini. Keterbatasan pengetahuan menjadi alasan praktik pemasungan terus terjadi.
Oleh
KRISTI UTAMI
·5 menit baca
BREBES, KOMPAS — Praktik pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kabupaten Brebes, Jateng masih terjadi hingga saat ini. Keterbatasan pengetahuan menjadi alasan praktik pemasungan terus terjadi.
Praktik pemasungan sebenarnya sudah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1977. Namun, di Brebes, praktik pemasungan dinilai masih sulit dinihilkan. Tak jarang, keluarga atau perawat di beberapa tempat pengobatan alternatif untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menjadi pelaku pemasungan terhadap ODGJ. Mereka beralasan, pemasungan adalah cara satu-satunya untuk mengendalikan ODGJ.
Tasori (50), warga Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, mengaku, memasung adalah satu-satunya cara yang efektif untuk mencegah perilaku destruktif adiknya, Indra (38). Jika tidak dipasung, Indra bisa sewaktu-waktu mengamuk serta menyakiti dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
”(Indra) kalau sedang kambuh sering menyakiti dirinya sendiri, menyerang orang-orang di sekitarnya, hingga merusak barang-barang. Jadi, kami terpaksa mengikat tangan dan kakinya dengan kain,” kata Tasori, saat ditemui Rabu (2/10/2019) malam di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes.
Tasori menuturkan, pihak keluarga tidak memiliki banyak pengetahuan tentang cara menangani ODGJ. Tasori mengaku dirinya juga tidak mengetahui bahwa pemasungan termasuk salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan tidak boleh dilakukan kepada ODGJ.
Menurut Tasori, Indra yang menderita gangguan jiwa sejak tahun 1999 itu sudah berpindah-pindah tempat pengobatan. Mulai dari rumah sakit jiwa, panti rehabilitasi berbasis keagamaan, hingga ke tempat praktik dukun. Di hampir semua tempat pengobatan tersebut Indra selalu dipasung.
Aman terkendali
Selain keluarga, perawat, kyai, dan dukun di tempat rehabilitasi maupun di tempat praktik dukun juga kerap melakukan pemasungan terhadap ODGJ. Dengan dalih untuk menjaga keamanan, perawat memasung para pasien.
Salah satu perawat di Yayasan Bina Lestari Mandiri Brebes Abdul Hadi mengatakan, di Bina Lestari Mandiri, para pasien dipasung setiap hari. Si pasien akan dibebaskan dari pasungan saat kondisinya dinilai sudah stabil oleh perawat ataupun kiai di tempat tersebut.
”Setiap pasien yang datang ke tempat ini selalu dipasung terlebih dahulu hingga beberapa hari. Standarnya memang begitu, bukan untuk menyiksa pasien, tetapi supaya situasi di sini aman terkendali,” kata Hadi.
Berdasarkan pantauan Kompas, kebanyakan pasien di Bina Lestari Mandiri dipasung kaki kiri atau kaki kanannya menggunakan rantai. Di beberapa ruangan, ada juga pasien yang tangan dan kakinya dipasung. Menurut Hadi, pasien yang dipasung tangan dan kakinya adalah pasien baru yang kondisinya belum stabil.
Di Bina Lestari Mandiri ada sekitar 14 ruangan yang ditempati oleh 25 ODGJ. Ruangan yang dihuni oleh satu pasien berukuran 2 meter x 3 meter. Sementara itu, ruangan yang diperuntukkan bagi dua pasien berukuran 4 meter x 6 meter.
Ruangan tempat para pasien tinggal setiap hari tersebut terasa sangat pengap. Aroma tidak sedap juga tercium di hampir seluruh ruangan pasien. Sebab, di ruangan tersebut pasien-pasien itu tidur, makan, minum, dan buang air kecil. Pasien hanya keluar ruangan saat akan buang air besar dan akan dimandikan.
Salah satu pasien, Siti komariah (35) mengatakan, sudah seminggu belakangan tubuhnya gatal-gatal. Siti mengaku digigit serangga karena kamarnya jarang dibersihkan. Jika rantai di kakinya dilepas, Siti ingin menyapu kamarnya sendiri. ”Kamar saya jarang dipel, jadi banyak serangga. Ini (rantainya) tolong dilepas, saya mau nyapu,” kata Siti sambil menunjuk kakinya yang dirantai.
Nonmedis
Selama dirawat di tempat ini, Siti mengaku dirinya tidak pernah diberi obat-obatan apa pun. Hal tersebut dibenarkan oleh salah satu pengurus Yayasan Bina Lestari Mandiri, Soleh Musyadad. Menurut Soleh, Bina Lestari Mandiri menggunakan cara nonmedis untuk mengobati pasien.
”Kami mengobati pasien dengan cara didoakan dan diberi air minum yang sudah didoakan. Obat medis memang tidak pernah kami berikan karena kami tidak punya obat-obatan dan kami juga tidak punya ilmu medis,” kata Soleh.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammad Choirul Anam menyatakan, stigma yang berkembang bahwa ODGJ mengganggu ketertiban, membahayakan lingkungan, dan suka mengamuk berpotensi menghambat akses layanan kesehatan yang diperlukan ODGJ. Contohnya, banyak orang memasung pengidap gangguan jiwa. Padahal, konsumsi obat secara rutin dan penanganan dengan tepat dibutuhkan untuk membantu pasien menjalani fungsinya sebagai orang berpengharapan dan berkemampuan seperti orang lain (Kompas, 21/2/2018).
Dinas Kesehatan Brebes mengakui, hingga saat ini, Brebes belum bebas dari pasung. Pada 2019, misalnya, tercatat setidaknya ada 53 kasus pemasungan. Jumlah tersebut di luar jumlah kasus yang tidak dilaporkan.
Menurut Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes Johan Assani, Brebes belum bebas pasung karena keterbatasan akses kepada pelayanan kesehatan. Johan mencontohkan, di RSUD Brebes hanya ada 3 kamar yang dikhususkan bagi pasien rawat inap gangguan jiwa. Selebihnya, beberapa puskesmas atau klinik pengobatan lain hanya melayani rawat jalan.
”Untuk itu, tahun ini Dinas Kesehatan Brebes sedang membangun sebuah puskesmas yang bisa memberikan layanan rawat inap bagi pasien gangguan jiwa. Saat sudah beroperasi pada 2020 nanti, puskesmas ini diperkirakan bisa menampung hingga 8 pasien rawat inap,” kata Johan.
Pada saat jumlah layanan kesehatan gangguan jiwa terbatas, jumlah penderita gangguan jiwa di Brebes terus merangkak naik. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, pada 2016, jumlah ODGJ di Brebes sebanyak 422. Jumlah tersebut terus meningkat pada 2017 mencapai 1.229 orang dan meningkat lagi pada 2018 menjadi 4.374 orang.