Mewarisi sumber daya politik selama lebih dari tiga dekade pada era Orde Baru, menjadikan Partai Golkar bertahan pasca-1998. Partai Golkar bahkan tetap menjadi partai papan atas di politik nasional. Namun, pergulatan internal menggerogoti akar ”Beringin” dan menggoyahkan Golkar.
Pasca-1998, banyak pihak yang meramalkan Golkar akan tumbang bersamaan dengan lengsernya Soeharto. Namun, ramalan itu tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Di dalam buku The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Akbar Tandjung menegaskan tentang sumber daya yang menjadi modal utama Golkar mengarungi gelombang reformasi.
Sumber daya tersebut mencakup kemampuan finansial yang kuat, kepemilikan sumber daya manusia yang berpengalaman, dan tak kalah pentingnya adalah jaringan kekuasaan di legislatif dan eksekutif. Semua modal politik tersebut di satu sisi berhasil membuat Golkar bergeming di posisi pertama dan kedua perolehan suara nasional selama empat kali pemilu.
Di sisi lain, sumber daya politik tersebut juga tak mampu membendung penggerogotan akar Beringin. Berbagai friksi internal menyumbang goyahnya pohon Beringin. Hasil Pemilu 2019 merupakan bukti aktual. Dukungan pemilih terlihat semakin tergerus. Dalam pemilu inilah, suara dukungan untuk Golkar mencapai titik terendah dibandingkan hasil empat pemilu sebelumnya. Dibandingkan Pemilu 1999, selisih penurunan jumlah suara mencapai 27,43 persen.
Dengan Pemilu 2004 selisihnya jauh lebih besar (29,56 persen), mengingat saat itu Golkar menjadi pemenang pemilu. Dibandingkan Pemilu 2009, perolehan suara saat ini bertambah 14,62 persen. Namun, proporsi suara Golkar secara nasional tahun ini hanya 12,31 persen, lebih rendah dibandingkan 2009 yang 14,45 persen. Tahun ini juga jumlah dukungan berkurang 1,2 juta suara dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Sejalan dengan dukungan suara, penguasaan kursi parlemen di pemilu tahun ini turut anjlok. Dibandingkan lima tahun sebelumnya, jumlah kursi parlemen yang dikuasai Golkar berkurang 6 kursi.
Terdapat dua provinsi di mana Golkar kehilangan kursinya sama sekali, yaitu provinsi Sulawesi Barat dan Maluku. Sementara di enam provinsi kursi Golkar tetap ada, tetapi jumlahnya berkurang yaitu Gorontalo, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, NTT, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Friksi
Pergulatan di internal partai politik yang mengarah ke perpecahan ikut menyumbang pada penggerusan suara pendukung. Hal ini juga terjadi di Golkar. Satu per satu kader terbaik Golkar keluar dan membawa serta gerbong pendukung di kalangan internal partai serta basis massanya.
Pada pemilu pertama pada era reformasi, perpecahan terjadi di tubuh Golkar. Sejumlah kadernya mundur dan mendirikan partai politik baru, yaitu Edy Sudrajat dengan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang kemudian menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Mien Sugandhi memilih membentuk Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), sedangkan R Hartono dengan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Yapto Suryosumarno dengan Partai Patriot.
Pada 2004, seusai konvensi Partai Golkar untuk menentukan calon presiden, Prabowo Subianto yang kalah dari Wiranto dalam konvensi tersebut memutuskan keluar dan mendirikan Partai Gerindra.
Partai Gerindra yang cepat melejit karena dukungan finansial yang kuat dan sosok Prabowo, di tahun ini menggeser posisi kokoh Partai Golkar. Partai Golkar menjadi urutan ketiga dalam perolehan suara nasional.
Wiranto mengikuti jejak Prabowo. Setelah kalah dalam pemilu, Wiranto yang berpasangan dengan Salahuddin Wahid di Pemilu 2009, memutuskan mundur dan mendirikan partai baru, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Pengunduran diri Wiranto diikuti sejumlah kader Golkar, seperti mantan Sekjen Golkar Ary Mardjono, Tuti Alawiyah, dan Fuad Bawazier.
Terakhir adalah Surya Paloh. Pada Munas Golkar 2009, Surya Paloh kalah dari Aburizal Bakrie untuk memperebutkan kursi ketua umum. Merasa tidak puas, Paloh memilih keluar dan mendirikan ormas Nasional Demokrat yang kemudian menjadi Partai Nasdem. Saat ini, Nasdem terus merangsek naik dari partai papan bawah ke menengah.
Hingga saat ini, Golkar turut ”melahirkan” tujuh partai baru sejak 1999. Meski ada tiga parpol yang tak diketahui lagi eksistensinya saat ini, empat partai lainnya terbukti ada jejak politiknya. Hal ini memperlihatkan sumber daya manusia berikut jaringan politik Golkar yang disebut Akbar Tandjung di atas telah cukup teruji dalam pertarungan politik.
Di sisi lain, ironisnya, kelahiran partai baru diiringi oleh susutnya jumlah pemilih loyal Golkar. Hal ini diperparah oleh pertentangan dalam menentukan dukungan kepada capres-cawapres serta dualisme kepemimpinan.
Pada 2014, Golkar di bawah Aburizal Bakrie memutuskan mendukung Prabowo-Hatta. Namun, sebagian kader muda berkehendak lain karena Jusuf Kalla kembali menjadi cawapres, kali ini berpasangan dengan Joko Widodo.
Pertentangan berujung pemecatan. Nusron Wahid dan Agus Gumiwang dipecat karena mengabaikan instruksi partai. Meski secara resmi mendukung Prabowo-Hatta, sebagian kader dan pemilih Golkar justru bersikap berbeda. Akibatnya, perolehan suara pada 2014 turun.
Setelah itu, terjadi dualisme kepemimpinan antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Dualisme berakhir setelah Munaslub 2016 yang memilih Setya Novanto sebagai ketua umum. Namun, Golkar juga tersandera oleh kasus-kasus korupsi kadernya.
Setya Novanto, misalnya, terganjal megakorupsi e-KTP. Setelah Airlangga Hartarto terpilih menggantikan Setya Novanto di Munaslub akhir 2017, waktu yang tersisa sangat pendek untuk Pemilu 2019. Berbagai friksi tersebut menguras waktu dan tenaga para kader partai serta membelah dukungan pemilih. Akar Beringin pun terus tercerabut sehingga pohonnya goyah.
DPR baru
Tanggal 1 Oktober 2019, sebanyak 85 kader Golkar dilantik sebagai anggota DPR 2019-2024. Saat ini, penguasaan kursi parlemen oleh Golkar hampir berimbang antara wilayah Jawa (41 kursi) dan non-Jawa (43 kursi). Komposisi anggota DPR Golkar terdiri atas 20 persen perempuan politisi. Sementara proporsi status petahana (50,58 persen) dan nonpetahana (49,42 persen) berimbang.
Mereka yang bukan petahana sebagian merupakan figur publik seperti kepala daerah. Dedi Mulyadi, misalnya, pernah menjabat Bupati Purwakarta dua periode (2008-2018) dan Tubagus Haerul Jaman menjabat Wali Kota Serang 2011-2018. Figur lainnya adalah Lodewijk Paulus yang merupakan Danjen Kopassus 2009-2011. Mantan artis yang kini politisi Golkar Nurul Arifin dan Nusron Wahid bersama Nurul pernah menjadi anggota DPR 2009-2014.
Adapun Puteri Komarudin merupakan politisi muda yang juga anak Ade Komarudin, politisi Golkar yang duduk di parlemen selama lima periode. Meski Ade Komarudin sendiri tidak lagi masuk di parlemen. Bagaimanakah profil pemilih mereka? Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan dari aspek pendidikan, separuh lebih merupakan pemilih berpendidikan menengah dan tinggi serta laki-laki.
Adapun dari aspek usia, separuh lebih pemilih berasal dari Generasi X dan Baby Boomer (usia 41 tahun ke atas). Sementara generasi yang lebih muda sebagai pemilih Golkar diwakili oleh Milenial dewasa (31-40 tahun). Kelas sosial pemilih Golkar belum beranjak dari menengah bawah dengan kecenderungan orientasi nilai yang moderat. (Litbang Kompas)